MALIPIR #39: Pacul dan Kerbau
Munding (kerbau) bagi kaum tani bukan semata-mata alat produksi. Munding juga bahkan jadi semacam anggota keluarga.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
27 Oktober 2025
BandungBergerak – Dari sejarah sastra Sunda, saya teringat dua karya: cerpen "Pacul" karya Caraka dan sajak "Tai Munding (Kotoran Kerbau)" karya Rahmat M. Sas. Karana.
Karya Caraka terdapat dalam kumpulan cerpen Néangan yang pertama kali terbit pada 1962, sementara sajak Rahmat digubah pada 1976 dan masuk antologi Puisi Sunda Selepas Perang Dunia Kedua (1979). Jarak waktu di antara keduanya sekitar dua dasawarsa.
Cerpen “Pacul” melukiskan keruntuhan budaya tani ketika anak-anak desa masuk sekolah kemudian pergi ke kota dan ogah jadi petani. Adapun sajak itu melukiskan apa yang terjadi ketika anak-anak sekolah menemukan kotoran kerbau di jalan menuju sekolah.
Kedua tulisan tersebut terlintas dalam benak saya ketika saya mengisi jurnal harian sehabis berbincang-bincang dengan mahasiswa di kelas seputar karya lain lagi, yakni Max Havelaar, novel abad ke-19 dari Multatuli, terutama bagian kisah cinta "Saijah dan Adinda".
Ada sejenis tautan tematis – kalau boleh saya pakai istilah demikian – di antara kedua karya tadi, juga dengan kisah yang saya sebutkan belakangan. Itulah tema pemiskinan petani dan keruntuhan budaya tani.
Untuk konteks Indonesia, simbol buat budaya tani, kalau bukan pacul, tentu saja kerbau. Lewat simbol itulah, kita bisa mengingat lagi apa yang tersuarakan melalui warisan sastra tadi.
Baca Juga: MALIPIR #38: Bermain di Halaman
MALIPIR #37: Sengit dan Asih
Munding Mitologis hingga Alat Produksi
Istilah Sunda buat "kerbau" adalah munding. Dalam tradisi lisan, nama ini lazim melekat pada sosok mitologis, misalnya Mundinglaya di Kusumah dan Munding Kawati. Tokoh-tokoh dengan nama itu merupakan pahlawan dalam carita pantun.
Sebagai hewan, munding di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia memainkan peranan amat penting pada masanya. Hewan ini jadi sejenis alat produksi dalam sejarah pertanian. Dengan munding, petani membajak sawah.
Salah satu insiden yang sangat menentukan jalannya cerita "Saijah dan Adinda" adalah perampasan munding milik ayah Saijah oleh kaki tangan pembesar korup. Pengisapan demikian telah menyebabkan pemiskinan petani. Saijah sendiri terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk mencari penghidupan di luar pulau.
Sesungguhnya, munding bagi kaum tani bukan semata-mata alat produksi. Munding juga bahkan jadi semacam anggota keluarga. Kenyataan ini terwartakan dalam memoar Ahmad Djajadiningrat dari Banten.
Sebagai aristokrat dan pejabat pemerintah setempat, Ahmad pernah mengadakan observasi diam-diam ketika mendapat instruksi untuk menyingkirkan atau bahkan membinasakan kawanan lembu sehubungan dengan berjangkitnya wabah ternak (veepest).
Dari pengamatan Ahmad, kita mendapatkan cerita mengharukan mengenai munding bernama Dungkul. Semua anggota sebuah keluarga petani berkumpul pada suatu malam untuk mengucapkan perpisahan kepada Dungkul.
Dalam kisah Saijah pun ada satu insiden yang menunjukkan betapa loyalnya sang munding kepada keluarga petani. Saijah kecil hampir saja diterkam harimau sekiranya munding yang sedang dia gembalakan tidak segera menghadang hewan buas itu dengan tanduknya.
Tradisi lukisan elok dari zaman kolonial sering menampilkan citraan munding, lengkap dengan anak gembala di punggungnya. Citraan itu pula yang dijadikan logo sebuah perusahaan penerbitan dan media besar di Jakarta.
Dalam tradisi sastra, saya kira, munding merupakan simbol kedaulatan sekaligus penderitaan kaum tani.
Dalam cerpen Caraka, yang kaya dengan rincian etnografis, kita pun bisa mengingat lagi alat-alat kerja yang melekat pada citraan munding seperti sawed dan wuluku, juga kegiatan petani yang terpaut padanya seperti mideur.
Saya tidak tahu, kenapa partai politik yang gemar main retorika tentang wong cilik, lebih suka memajang gambar banteng ketimbang gambar munding.
Saya hanya teringat memoar Mia Bustam. Di situ disinggung-singgung gerutu ibu kandung pelukis dan politisi S. Sudjojono: kenapa lambang partai rakyat kecil malah palu dan arit, bukannya pacul?
Sekolah dan Nasib Kaum Tani
Cerpen "Pacul" menyuarakan pandangan seorang petani bersahaja mengenai kelangsungan hidup pertanian. Ia menyalahkan sekolah, sebab gara-gara masuk sekolah, kedua anaknya lebih suka bekerja di kota. Yang sulung, lelaki, jadi tentara berpangkat kopral. Adiknya, perempuan, menjanda lalu melacurkan diri. Lagi pula, di mata kaum muda, kecilnya pendapatan hasil tani tidak sebanding dengan jerih payah dan modal yang mesti dicurahkan.
Gambaran anak-anak desa yang berangkat ke sekolah saya dapatkan dari sajak Rahmat tadi. Dari segi pokok persajakannya, karya yang satu ini kiranya sukar dicarikan bandingannya. Jarang terjadi kotoran kerbau dibawa ke dalam istana puisi.
Sang penyair memanusiakan sesuatu yang cenderung "pada mikangéwa (dibenci)". Ketika menemukan kotoran itu teronggok di tengah jalan, "barudak sakola (anak-anak sekolah)" dalam sajak itu sepertinya terdorong berbuat iseng. Salah seorang di antaranya menyepak benda itu sambil berteriak, "Hura!"
Dalam imajinasi saya, anak-anak yang menyepak tahi kerbau dalam sajak Rahmat pada saatnya kelak kiranya tidak akan jadi petani, sebagaimana anak-anak dalam cerpen Caraka. Barangkali mereka seperti Kang Rahmat sendiri, yang pada saatnya berkiprah di Bandung, jauh dari kampung halamannya di Cijulang.
Cerpen Caraka, yang juga diselingi siulan "Impian Semalam" – lagu terkenal pada tahun 1960-an gubahan Oey Yok Siang – itu memang tidak melupakan sekolah pertanian. Namun, kata si empunya cerita, sekolah demikian hanya melahirkan mantri, bukannya petani yang benar-benar mau turun ke sawah.
Citraan pacul dalam cerita ini jadi simbol keruntuhan. Tadinya perkakas itu biasa dipakai oleh si anak sulung selagi masih tinggal di desa dan sewaktu-waktu membantu sang ayah. Sejak anaknya pergi, lama pacul itu terselip di dinding leuit (lumbung). Akhirnya, doran (gagang)-nya lapuk dan patah, jatuh ke tanah.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

