• Kolom
  • MALIPIR #38: Bermain di Halaman

MALIPIR #38: Bermain di Halaman

Buat mereka yang mencintai buku, istilah-istilah teknis yang terpaut pada halaman pada gilirannya jadi nama lembaga atau malah jadi jenama.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Ilustrasi buku bacaan umumnya seperti sebuah bangunan yang terdiri dari sekian ruangan. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

20 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Para pembaca buku tidak pernah melanggar batas. Perhatian mereka tercurah ke dalam halaman buku. Kebebasan mereka adalah bergerak dari satu ke lain halaman, juga dari satu ke lain buku. Di luar margin, seakan-akan, hanya ada kekacauan kata dan suara, tanpa komposisi.

Istilah halaman dalam bahasa Indonesia punya kembarannya, yaitu pagina. Adapun pagina –leluhur istilah page dalam bahasa Inggris– merupakan istilah Latin yang akarnya adalah pangere. Konon, arti harfiah pangere adalah "menentukan batas-batas kebun".

Kata halaman sendiri, tentu saja, mendua makna: ruang terbuka di sekitar rumahmu alias pekarangan dan ruang wacana dalam buku yang jadi pusat perhatianmu. Namun, buat saya, keduanya tetap menyatu, sebab membaca buku tidak ubahnya dengan bermain di halaman. Itulah kegiatan yang menimbulkan rasa senang di waktu luang.

Citraan tentang anak-anak yang membaca buku di pekarangan rasanya tidak akan hilang. Lagi pula, bab pertama Alice's Adventure in Wonderland, misalnya, dibuka dengan pemandangan Alice dan kakaknya yang sedang membaca buku di tepi parit.

Baca Juga: MALIPIR #35: Buku itu Kamu Pinjam?
MALIPIR #36: Pengalaman Membaca
MALIPIR #37: Sengit dan Asih

Istilah Grafika

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita dapati istilah halaman dipasangkan dengan sejumlah kata lain, khususnya yang jadi istilah teknis dalam bidang percetakan. Di situ, misalnya, kita temukan istilah halaman setengah judul alias halaman francis, yakni halaman depan buku yang hanya mencantumkan judul buku. Itu berbeda dari halaman judul yang memuat judul, nama penulis, identitas penerbit, dan sebagainya.

Buat mereka yang mencintai buku, istilah-istilah teknis yang terpaut pada halaman pada gilirannya jadi nama lembaga atau malah jadi jenama. Sebut, misalnya, catatan pinggir yang jadi judul berjilid-jilid koleksi kolom majalah karya penyair Goenawan Mohamad. Ada pula marjin kiri yang jadi nama penerbit buku di Jakarta. Di Bandung, tidak jauh dari rumah saya, ada komunitas penyalur buku yang menamakan diri Halaman Ganjil.

Istilah catatan pinggir menyiratkan sejenis resonansi dari suara utama yang terdengar di ruangan tengah. Istilah marjin kiri menyiratkan pendirian di salah satu sisi, sebagai alternatif dari pendirian di sebelah kanan. Adapun istilah halaman ganjil bisa menyiratkan keadaan yang tidak lazim atau bisa juga menyiratkan pasangan yang lumrah bagi halaman genap.

Kalau kita membaca buku fisik lazimnya tangan kita memegang dua halaman: kiri dan kanan. Pasangan halaman itulah yang disebut leaf dalam bahasa Inggris. Istilah leaf sendiri, sudah pasti, punya arti harfiah "daun". Lagi-lagi, saya suka dengan istilah ini. Setiap kali mendengar orang memakai istilah yang satu ini selalu tergambar dalam benak saya sebentuk daun dengan kedua sisinya yang simetris, kiri dan kanan, seperti simetri gunungan di jagat wayang. Dengan kata lain, barang yang disebut buku tidak ubahnya dengan sekian lembaran daun yang diikat jadi satu.

Rasanya, tidak pernah saya melipat salah satu halaman demi halaman lain yang sedang dibaca. Perbuatan seperti itu tidak ubahnya dengan melipat salah satu sisi daun. Lebih baik saya tempatkan jempol salah satu tangan saya di antara kedua halaman buku. Pantas saja banyak netizen nyinyir ketika seorang kandidat presiden Indonesia mengunggah foto dirinya sedang membaca How Democracies Die di gerbong kereta dengan melipat salah satu halamannya. Ah, dia tidak terpilih.

Saya pun termasuk peminat buku yang suka membiarkan halaman bersih, tanpa lipatan, coretan, atau highlights. Ketimbang membuat lipatan di sudut halaman (dog ear), lebih baik saya memakai marka pustaka (bookmark) buat menandai batas baca. Kalau perlu mencatat –dan sebetulnya selalu perlu–, daripada mencoreti halaman, saya lebih suka mengisi notes. Lagi pula, catatan terpisah kan bisa dibikin sketch note tersendiri.

Matan dan Syarah

Buku-buku klasik yang dibaca di pesantren, biasa disebut "kitab kuning" –karena umumnya dicetak dalam kertas agak kuning–, memperlihatkan halaman nan unik. Pada tiap-tiap halamannya hadir dua wacana yang bertetangga, satu di tengah, yang lain di pinggir. Kalau saya tidak keliru, teks utama (matan) hadir seperti catatan pinggir, sedangkan komentar (syarah) dari penulis buku berada di tengah. Buat saya, itu semacam pekarangan tempat merayakan kegembiraan tafsir.

Kitab-kitab pegon, yakni buku beraksara Arab tapi berbahasa Sunda, Jawa, atau Indonesia, tak kurang pula menariknya. Di setiap halamannya saya lihat ada tumpukan bahasa. Di bawah setiap baris kalimat berbahasa Arab terdapat tulisan pegon dari penyusun kitab yang memberitahukan arti setiap patah kata. Itulah yang disebut logat. Sejatinya, kegiatan membuat logat atau ngalogat lazim dikerjakan oleh para santri di bawah supervisi kiainya setiap kali mereka membaca halaman demi halaman kitab. Namun, belakangan para ajengan memudahkan urusan dengan mencetak dan menerbitkan kitab klasik beserta logatnya sekalian.

Tradisi ngalogat, saya kira, terbilang ajaib. Dalam tradisi itu, berbahasa asing dilakukan sambil menerjemahkannya, sebagaimana membaca dilakukan sambil menulis. Bukan main! Saya tidak tahu, sejauh mana tradisi itu masih berjalan dewasa ini. Yang jelas, semangat, daya tahan, dan kesanggupan yang tersirat dari kegiatan demikian sungguh tidak ternilai bagi kelangsungan hidup dan perkembangan literasi.

Itu sebabnya boleh dong saya ikut khawatir ketika belakangan tersiar kabar bahwa kalangan elite santri ramai-ramai terjun ke kubangan pertambangan lengkap dengan main sogok-sogokannya sekalian. Waduh! Ampun, kiai, tidakkah ada baiknya kembali ke pondok, membuka kitab lagi, dan menemani kaum muda merayakan kegembiraan membaca, menulis, dan tafsir-menafsir?

Mungkin saya berlebihan. Yang pasti, saya hanya berharap bahwa mereka yang beranjak dari lingkungan literat tetap memelihara kegembiraaan untuk bermain di halaman.

***

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//