Menurunnya Keanekaragaman Pangan Tradisional
Di dalam membuat keberagaman pangan lokal, penduduk perdesaan menciptakan suatu sistem biokultural, yakni praktik budaya lokal membuat aneka ragam penganan lokal.

Johan Iskandar
Dosen, peneliti lingkungan, serta pegiat Birdwatching di Universitas Padjadjaran (Unpad). Penulis bukuKisah Birdwatching, ITB Press (2025)
27 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Pada setiap tanggal 16 Oktober, warga dunia secara global biasa memperingati Hari Pangan Sedunia. Penulis masih ingat lebih dari satu dekade yang lalu, tepatnya tahun 2012, gubernur Jawa Barat saat itu dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia mencanangkan untuk mendorong agar masyarakat dapat mengurangi konsumsi pangan beras dan menyarankan pula untuk penganekaragaman pangan non-beras. Pasalnya, sejak dilaksanakannya program memodernkan usaha tani sawah di Indonesia lewat Program Revolusi Hijau di awal tahun 1970-an, konsumsi beras oleh masyarakat di Tatar Sunda sangat tinggi. Pada pertengahan tahun 2000-an, misalnya, konsumsi beras di Tatar Sunda berkisar 130-140 kg per orang per tahun. Padahal periode yang sama di negara-negara lain, Malaysia, misalnya konsumsi beras oleh masyarakat hanya 80 kg/kapita/tahun. Di negara lainnya, di Brunai 80 kg/kapita/tahun, Jepang 60 kg/kapita/tahun, serta rata-rata dunia 60 kg/kapita/tahun.
Selain itu, terjadi pula penurunan aneka ragam pangan tradisional non-beras oleh masyarakat. Padahal di masa lalu, secara tradisi penduduk perdesaan di Tatar Sunda sudah memiliki kebiasaan mengonsumsi aneka ragam pangan lokal non-beras buatan penduduk desa sendiri.
Baca Juga: Berbagi Kisah Mengamati Burung di Habitatnya di Bandung Timur
Macan Tutul versus Manusia
Sistem Pekarangan dan Mitigasi Perubahan Iklim
Aneka Ragam Pangan Lokal
Sejatinya di masa lalu, masyarakat perdesaan di Tatar Sunda memiliki pola makan yang tidak sepenuhnya bergantung pada beras. Hal tersebut dapat dicerminkan misalnya dari kebiasaan penduduk perdesaan, selain biasa mengonsumsi pangan pokok nasi. Tetapi biasa pula mengonsumsi tambahan aneka ragam penganan tradisional. Penduduk perdesaan umumnya mengonsumsi nasi dua kali pada setiap harinya. Sarapan pagi (tuang enjing) dan makan sore hari (tuang sonten). Mereka hanya kadang-kadang saja untuk makan nasi di siang hari (ngawadang). Apabila mereka makan nasi siang, biasanya penduduk tidak pernah masak nasi secara khusus, tetapi biasanya mengonsumsi nasi sisa makan pagi hari.
Penduduk perdesaan selain biasa mengonsumsi nasi sebagai makan utama dalam kesehariannya, mereka biasa pula mengonsumsi aneka ragam penganan tradisional. Aneka penganan tersebut sebagai tambahan makan pokok nasi yang biasa disajikan pada acara minum atau ngopi yaitu minum/ngopi pagi (ngaleueut enjing), minum/ngopi siang (ngaleueut siang), dan minum/ngopi sore (ngaleueut sonten).
Pada acara ngaleueut enjing, ngaleueut siang, dan ngaleueut sonten, biasanya disajikan minuman dan aneka ragam penganan tradisional. Minuman biasanya berupa air yang telah dimasak (cai bodas atau cai herang) disimpan di teko dan disediakan cangkir atau gelas. Selain itu, biasa pula minuman berupa air teh tanpa gula (cai entéh pait), air kopi dengan gula kawung (cai kopi), dan air kopi ditambah susu (cai kopi susu). Sementara penganannya sangat beraneka ragam yang dibuat dari beras hingga macam-macam bahan non-beras.
Berdasarkan hasil kajian etnogastronomi –suatu kajian pengetahuan penduduk tentang kebiasaan makan masyarakat tradisional yang terkait erat dengan pengelolaan agrobiodiversitas dan sumber daya alam lokal– di perdesaan Paseh, Majalaya, Jawa Barat tahun 1980-an, telah dapat didokumentasikan tidak kurang dari 93 ragam pangan tradisional dan minuman yang biasa disajikan untuk ngopi pagi, siang, dan sore hari bagi penduduk (Igarashi, 1985). Dari 93 pangan dan minuman tradisional tersebut, bahannya berasal dari 17 jenis dari 13 famili tanaman, termasuk padi, singkong, ubi jalar, hui, jagung, talas, kalapa, kawung, dan lainnya. Penganan dari bahan beras misalnya, dikenal seperti kueh ali agrem, angleng, apem, bandros, beuleum ketan, goreng ketan, bodeng, borondong, bubur ketan, bugis, dawet, jalabria, kueh ladu, opak ketan, peuyeum ketan, uras/leupeut, dan wajit.
Di samping beras/padi, tercatat pula 16 jenis tanaman lainnya, non padi, sebagai bahan pangan dan minuman tradisional untuk ngopi. Misalnya, singkong (sampeu) biasa diolah menjadi aneka ragam penganan, seperti beuleun sampeu, bubuy sampeu, goréng sampeu, beuleum peuyeum sampeu, goréng peuyeum sampeu (cimplung), bubur oyék sampeu, comro, misro, goréng oyék sampeu, dan kiripik sampeu. Ubi jalar (hui boléd) biasa dibuat penganan dan disajikan berupa beuleum hui, bubuy hui, kulub hui, seupan boléd, dan goreng hui. Sementara dari bahan jagung (jagong), biasa disajikan penganan khas, seperti beuleum jagong, goréng jagong, kulub jagong, sangray jagong, dan urab jagong.
Di dalam membuat keberagaman pangan lokal, penduduk perdesaan menciptakan suatu sistem biokultural, yakni praktik budaya lokal membuat aneka ragam penganan lokal. Sistem tersebut dilandasi pengetahuan ekologi tradisional, berkelindan dengan aspek lingustik lokal, serta terkait erat pula dengan aneka ragam tanaman (keragaman biologi) yang dibudidayakan penduduk di berbagai tipe agroekosistem di perdesaan seperti huma, sawah, pekarangan, kebun dan talun.
Penurunan Aneka Ragam Penganan Lokal
Intesifikasi dan memodernkan usaha tani sawah lewat program Revolusi Hijau diawali di tahun 1970-an menyebabkan produksi padi sawah meningkat dengan adanya pemberian berbagai asupan dari luar sangat tinggi, berupa benih padi, pupuk anorganik, dan pestisida sintesis hasil pabrikan. Namun imbasnya, beberapa pengaruh negatif juga terjadi, di antaranya punahnya aneka ragam varietas padi lokal.
Pada masa sebelum Program Revolusi Hijau, telah dapat didokumentasi 60 varietas (landraces) padi lokal yang biasa dibudidayakan di sawah oleh para petani Rancakalong, Sumedang. Aneka ragam padi tersebut diklasifikasikan oleh penduduk (folk classification) berdasarkan sifat ekologi, morfologi biji padi dan warna beras, warna jerami, dan kuliner rasa nasi (Iskandar, 2018). Berdasarkan sifat ekologi, misalnya aneka ragam padi, dibedakan berdasarkan kecocokannya di lahan-lahan sawah di bukit-bukit gunung (sawah gunung), sawah hamparan luas (sawah lega) di dataran rendah (sawah landeuh), di sawah kering kurang subur (cengkar), sawah tanah subur berair (ledok), dan sawah berpaya (ranca). Selain itu, aneka ragam varietas padi tersebut diklasifikasikan berdasarkan umur panen padi, yaitu kelompok varietas padi memiliki masa umur panen lebih lambat (pare leuir), biasanya umur panen rata-rata 5-6 bulan. Contohnya, paré leuir molog dan paré leuir peuteuy. Sementara kelompok varietas padi lainnya, memiliki umur relatif singkat (hawara), sekitar 4-5 bulan. Contohnya, paré hawara belang, hawara geulis, hawara gadog, hawara kalapa, dan hawara tamiang. Berdasarkan kerontokan gabah padi dapat dibedakan menjadi berbagai varietas padi tahan rontok (ranggeuyan) dan berbulu (paré bulu), seperti pare racik, pare rayot dan pare mataram. Selain itu, varietas lainnya varietas padi mudah rontok (séngon) dan tidak berbulu (torondol). Contohnya, paré torondol, omas, dan gembang. Demikian pula, varietas padi lokal tersebut juga dapat dibedakan berdasarkan ukuran gabahnya. Contohnya, biji gabah ukuran kecil (alit), sedang (sedeng) dan besar (ageung). Warna gabahnya dapat dibedakan menjadi gabah kuning (konéng), gabah putih (bodas) dan gabah hitam (hideung). Gabah yang telah ditumbuk menjadi beras (beas), dapat dibedakan menjadi beras putih jernih (bodas hérang), putih susu (bodas susu), merah (beureum), dan hitam (hideung). Sementara berdasarkan keliketan dan cita rasa/kuliner nasi, aneka ragam varietas padi dapat dibedakan menjadi padi ketan (pare ketan) yang nasinya liket dan padi biasa (paré biasa) yang nasinya agak liket (pulen), serta tidak liket (béar). Pada umumnya, nasi pulen lebih enak rasanya. Nasi bear biasanya rasanya kurang enak. Cita rasa nasi tersebut biasanya dipengaruhi oleh kandungan kadar amilosanya. Pada umunya berbagai varietas padi lokal rasa nasinya enak. Mengingat kadar amilopektin-amilosanya rendah sekitar 6-10 persen.
Dengan adanya aneka ragam varietas padi lokal tersebut, maka penduduk perdesaan memanfaatkan hasil padi tersebut, selain untuk bahan pangan pokok juga untuk keperluan sosial budaya lainnya. Misalnya, bahan upacara adat, membuat kue-kue tradisional, dan bahan obat tradisional.
Pengaruh intensifikasi dan memodernkan usaha tanaman padi sawah menyebabkan berbagai varietas padi lokal punah. Misalnya, kini para petani sawah, tidak banyak lagi yang menanam varietas padi lokal. Karena itu, tidaklah heran bahwa kini varietas padi lokal di Rancakalong, dapat didokumentasikan hanya tinggal 20 varietas saja. Tidak hanya itu, aneka ragam pangan lokal, yang dibuat dari berbagai jenis tanaman padi dan non-padi, banyak terdesak pula oleh pangan dari luar/kota, seperti mi, bihun, roti, dan aneka ragam kue kering, yang dibuat dari bahan terigu dari tanaman gandum (Triticum aestivum). Jenis tanam tersebut tidak dibudidayakan di dalam negeri, tapi ditanam di negara lain yang memiliki iklim sedang.
Penganan berupa mi telah mendominasi pangan keseharian bagi penduduk, sebaliknya aneka ragam penganan tradisional hasil karya budaya lokal yang terkait erat dengan keanekaragaman hayati lokal dan berkelindan dengan linguistik penduduk cenderung ditinggalkan. Konsekuensinya, pengaruh dari kian langkanya aneka ragam tradisional yang terdesak oleh gempuran pangan dari luar/kota, dapat berpengaruh pada ketahanan pangan penduduk perdesaan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

