• Berita
  • Menelusuri Jenama Tempat di Cimahi

Menelusuri Jenama Tempat di Cimahi

Mengenal Cimahi lewat toponimi. Dari Leuwigajah hingga kampung-kampung tua: Nama yang Menyimpan cerita.

T Bachtiar, pakar geografi dan toponimi, di acara bedah buku Toponimi yang diselenggarakan komunitas Hayu Maca, di Perpustakaan Umum Kota Cimahi, Minggu, 26 Oktober 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah28 Oktober 2025


BandungBergerak - Jenama sebuah tempat di Jawa Barat tidak terlepas dari sejarah dan budaya yang menjadi ciri khas tempat tersebut. Sebutlah Leuwigajah di daerah selatan Cimahi. Dalam benak warga mungkin akan terlintas pertanyaan di mana letak leuwi (danau) dan gajah di Leuwigajah?

Pertanyaan itu dijawab T Bachtiar, pakar geografi dan toponimi, di acara bedah buku “Toponimi” yang diselenggarakan komunitas Hayu Maca, di Perpustakaan Umum Kota Cimahi, Minggu, 26 Oktober 2025. Acara ini merupakan rangkaian dari Parade Literasi Hayu Maca 2025.

T Bachtiar menjelaskan, dahulu Cimahi memiliki banyak leuwi atau danau atau situ yang keberadaannya kini sudah beralih fungsi. Berdasarkan peta wilayah Tjimahi tahun 1931 daerah Leuwigajah masih berupa leuwi dengan ukuran panjang. Namun danau ini terdesak oleh pesatnya pertumbuhan Kota Cimahi.

“Maksud saya ini semoga menjadi inspirasi bagi yang tinggal di Cimahi, di mana pun. Untuk membuktikan Leuwigajah itu dari mana? Coba dilihat, oh ternyata leuwi-nya ada, panjang banget,” kata pakar yang aktif di Kelompok Riset Cekungan Bandung, kepada para peserta bedah buku.

Ilmu toponimi, menurut T. Bachtiar, merupakan gerbang untuk memahami alam dan masyarakat. Ilmu ini melihat penamaan sebuah tempat dari beragam sisi, seperti politik, arus urbanisasi, kebiasaan masyarakat, hingga geografis.

Kota Cimahi yang merupakan bagian dari Bandung Raya memiliki banyak tempat dengan jenama air, seperti Leuwigajah. Ada juga nama-nama daerah dengan awalan ranca (rawa), seperti Rancamanyar dan Rancaekek di Kabupaten Bandung.

Penamaan itu memberi ciri bagaimana kondisi alam di daerah tersebut dan berimbas pada kehidupan sosial masyarakatnya. T. Bachtiar menyampaikan bahwa Jawa Barat memang terkenal dengan wilayah yang “hijau, sejuk, dan air berlimpah”.

Kondisi tersebut berpengaruh pada karakter orang-orang yang tinggal di sana. Melimpahnya kekayaan alam membuat ketersediaan pangan di Jawa Barat terjamin dan masyarakatnya bersifat terbuka kepada warga pendatang.

“Jadi inilah yang menyebabkan orang Jawa Barat khususnya Bandung, Cimahi dan sekitarnya egaliter,” katanya.

Pada dasarnya eksistensi sebuah ‘nama’ begitu penting. Ada satu contoh kasus yang dipaparkan untuk menunjukan seberapa penting nama sebuah tempat.

“Nama tempat itu jadi alat bagi dia seorang, seolah-olah itu dalam penguasaan dia,” ucap T. Bachtiar, mengomentari kasus rilisan peta baru dari Cina yang membuat India marah karena salah satu wilayahnya dicaplok oleh negeri tirai bambu.

Konteks penamaan yang mengikuti ciri khas wilayah juga turut dikemukakan oleh Malia Nur Alifa, periset mandiri sejarah Lembang. Ia memulai riset sejarah Lembang sejak tahun 2009 dan menemukan asal mula penamaan suatu tempat di kawasan Bandung utara tersebut.

Contoh, di Lembang terdapat Kampung Pangragajian. Kampung ini dulunya memang sentra penggergajian kayu. Pada tahun 1821-1853, pemerintah kolonial menjadikan wilayah Lembang sebagai tempat buangan orang yang dituduh pembuat onar di Batavia.

“Dibuang ke Lembang, akhirnya berharap pemerintah kolonial itulah dia dibuang ke Lembang kali dimakan maung gitu ya, atau mati kelaparan gitu,” cerita Malia.

Di luar dugaan, para pembuat onar tersebut justru membuka usaha di Pangragajian dengan membuka perusahaan penggergajian kayu. Bahkan mereka jadi kaya karena usahanya itu.

Malia mengapresiasi terbitnya buku Toponimi karya T. Bachtiar. Menurutnya, buku ini kaya akan riset dan sejarah. Melalui buku ini T. Bachtiar memaparkan hasil penelitian terhadap nama-nama tempat di Jawa Barat.

Baca Juga: Kesenian dan Literasi untuk Kota Cimahi
Susah Payah Kaum Penghayat Bandung dan Cimahi dalam Meraih Kesetaraan

Bahan presentasi bedah buku Toponimi yang diselenggarakan komunitas Hayu Maca, di Perpustakaan Umum Kota Cimahi, Minggu, 26 Oktober 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)
Bahan presentasi bedah buku Toponimi yang diselenggarakan komunitas Hayu Maca, di Perpustakaan Umum Kota Cimahi, Minggu, 26 Oktober 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Komunitas Hayu Maca 

Parade Literasi Hayu Maca 2025 merupakan kegiatan untuk menyambut ulang tahun ke-9 komunitas baca dan literasi yang berbasis di Kota Cimahi bernama Hayu Maca. Komunitas ini berfokus pada literasi keluarga.

Asri Sudarmiyanti, co-founder komunitas Hayu Maca, menyampaikan bahwa kegiatan Parade Literasi ini sudah berlangsung sejak bulan September 2025. Kegiatan yang dilaksanakan dua kali selama dua bulan, antara lain, workshop menulis, workshop nature journaling, workshop read loud, dan Bedah Buku Toponimi. Semua kegiatan ini didukung oleh Badan Bahasa.

Hayu Maca sudah berdiri sejak 2016 lalu dan berawal dari melapak buku di tiap akhir pekan di Taman Kartini, Kota Cimahi.

“Tiap hari Minggu gitu dulu tuh rame di sana. Kita kayak ngelapak terus eh berkembang menjadi komunitas yang tiap minggu kita bikin kegiatan,” terang Asri, saat ditemui BandungBergerak setelah acara bedah buku.

Selain melapak, ada kegiatan yang bernama Babagi. Siapa pun dapat menjadi narasumbernya. Jika ia ingin berbagi pengetahuan memasak, maka ia akan membawa peralatannya dan mengajar bagaimana caranya memasak pada anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, komunitas Hayu Maca semakin besar dengan koleksi buku mereka semakin bertambah. Melihat hal tersebut membuat mereka berpikir bahwa tidak akan efektif dan kondusif lagi untuk melapak dengan jumlah buku yang semakin banyak.

Ditambah pandemi yang membatasi kegiatan di luar rumah, mereka pun memikirkan bagaimana Hayu Maca dapat menjadi sebuah perpustakaan komunitas.

Setelah pandemi, Asri dan kawan-kawan komunitas akhirnya mendirikan sebuah perpustakaan yang diberi nama Perpustakaan Hayu Maca dan berlokasi di wilayah Baros.

“Buku-buku sumbangan dari semua orang gitu setelah dikumpulkan tuh ada lebih dari 5.000 buku gitu. Dan sekarang bisa dipinjam buat umum,” ujar Asri.

Meski begitu, karena berbasis relawan, perpustakaan ini hanya buka di akhir pekan saja, dari jam 10.00 WIB - 15.00 WIB. Selama menjadi bagian Hayu Maca, Asri melihat bahwa geliat literasi di Kota Cimahi sangat tinggi. Namun permasalahannya terletak pada akses masyarakat ke tempat-tempat literasi yang tidak sebanyak di Kota Bandung.

Asri juga baru mendirikan perpustakaan dan toko buku Imakata. Salah satu pengunjungnya bersyukur dengan adanya Imakata di Kota Cimahi.

“Mereka tuh pada bilang, ‘Iya, selama ini aku tuh harus ke Bandung.’ Jauh banget,” ungkap Asri.

Pelanggannya merupakan orang Padalarang dan perlu berjuang menempuh puluhan kilometer untuk dapat meminjam buku di daerah Dago, misalnya. Asri berharap Pemerintah Kota Cimahi ke depannya dapat membuka banyak akses ke dunia literasi.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//