• Opini
  • Bumerang Politik Gimmick

Bumerang Politik Gimmick

Gelombang protes Gen Z memberi peringatan bahwa gimmick tanpa hasil nyata akan membawa risiko besar bagi elite politik. Tanpa reformasi nyata, ia akan jadi bumerang.

Ari Ganjar Herdiansah

Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Populisme menjadi realitas politik kita saat ini. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

28 Oktober 2025


BandungBergerakDi era tarian TikTok, reels Instagram, dan tagar X, politik tidak lagi terbatas pada kampanye di lapangan, debat di televisi, atau tulisan di spanduk. Kini, para politisi justru mengandalkan gimmick di media sosial, antara lain video singkat, meme lucu, atau simbol budaya yang disukai Gen Z, sebagai segmen pemilih yang signifikan.

Data YouGov Indonesia Media Consumption Report 2025 menunjukkan bahwa Gen Z menghabiskan lebih dari 3 jam per hari untuk mengonsumsi konten media sosial. Di arena inilah, video singkat, meme jenaka, atau simbol budaya yang relevan menjadi senjata kampanye paling efektif.

Fenomena ini bukan sekadar tren global, tapi sebuah formula kemenangan bagi para kontestan pemilu. Contoh paling jelas adalah kemenangan Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. di Filipina. Melalui romantisme di TikTok, dengan musik disko dan potongan video masa lalu, Marcos berhasil menciptakan citra baru tentang kejayaan era ayahnya, meski penuh catatan kelam.

Investigasi Reuters (2024) mengonfirmasi bahwa TikTok berperan besar dalam “memutihkan” sejarah otoriter keluarga Marcos. Tagar #BBM2022 dan #MarcosLegacy ditonton 1,5 miliar tayangan. Hasilnya, Marcos menang telak dengan 31,6 juta suara pada Mei 2022.

Jika di Filipina gimmick dipakai untuk memoles masa lalu, di Argentina ia dipakai untuk menghancurkan status quo. Javier Milei membawa gergaji mesin ke panggung kampanye sebagai simbol janji memangkas belanja negara. Video singkatnya yang penuh teriakan “Afuera!” (keluar!) kepada elite politik lama menjadi viral di TikTok.

Hasil poling Zuban y Córdoba (2023) mencatat bahwa Milei meraih lebih dari 40 persen interaksi online di TikTok dan Instagram dari pemilih di bawah 30 tahun. Gimmick Milei berhasil. Ia menang pada 2023 dan mengakhiri dominasi panjang Partai Peronis.

Indonesia pun punya kisah serupa lewat Prabowo Subianto. Setelah sekian lama dikritik karena terkait penculikan aktivis 1998, ia tiba-tiba menjelma menjadi “kakek gemoy” yang lucu. Jogetannya yang kaku diiringi musik “jedag-jedug” di TikTok dan Instagram secara efektif menetralkan citra masa lalunya bagi pemilih muda.

Menurut survei Indikator Politik (2024), tingkat dukungan terhadap Prabowo-Gibran di kalangan pemilih muda mencapai 71 persen. Analisis Drone Emprit juga mencatat bahwa konten bertema “gemoy” mendominasi percakapan di TikTok pada masa kampanye Pilpres 2024.

Kuasa Algoritma

Meski bukan satu-satunya faktor kemenangan pemilu, peran media sosial dalam membentuk opini publik tidak diragukan lagi. Kunci keberhasilan gimmick ini terletak pada algoritma media sosial. Platform seperti TikTok atau Instagram lebih menyukai konten yang menghibur, mengejutkan, atau sedang tren, ketimbang yang topik yang substantif.

Politisi pun cepat beradaptasi. Selain menyampaikan visi panjang lebar melalui media konvensional, mereka pun memodifikasi cuplikan budaya populer: gaya K-pop, meme, atau karakter Marvel.

Tim kampanye bahkan memantau halaman “For You Page” TikTok untuk tahu tren apa yang disukai Gen Z. Di Filipina, tim Marcos menyewa kreator digital untuk membuat meme setiap hari. Di Indonesia, tim Prabowo-Gibran menggerakkan ratusan akun fanpage yang membanjiri TikTok dengan meme “gemoy.”

Baca Juga: Pilkada Tidak Langsung via DPRD, Maslahat atau Mudarat?
Demokrasi Santun: Militerisme dan Minimnya Ruang Oposisi

Perlawanan Politik Gimmick

Namun, tidak selamanya orang terpengaruh politik gimmick. Banyak kalangan kelas menengah terdidik justru melihat gimmick ini sebagai cara instan yang tidak mendidik.

Generasi Z, yang semula menjadi target utama kampanye politik di media sosial, kini menggunakan platform yang sama untuk mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap pemerintah ketika berbagai kebijakan dianggap merugikan atau kinerja pemerintahan dinilai buruk.

Sebagai contoh, di Filipina pada 2025, pemuda yang pernah menjadi basis dukungan Marcos Jr. melalui konten TikTok pro-Marcos kini memanfaatkan platform tersebut untuk mengorganisir protes massal terhadap skandal korupsi flood-control projects, di mana dana publik diduga disalahgunakan untuk kepentingan keluarga elite, memicu ribuan demonstran di Manila dan tuntutan mundur presiden.

Di Argentina, pemilih muda yang terpikat oleh video viral Milei di TikTok seperti “Afuera!” kini menggunakan media sosial untuk memobilisasi pemogokan nasional dan protes petani pada 2024–2025 terhadap pemotongan anggaran drastis yang menyebabkan inflasi tinggi dan kemiskinan melonjak, termasuk demonstrasi besar di Buenos Aires yang menentang kebijakan anti-woke dan ekonomi libertariannya.

Sementara di Indonesia, Gen Z memanfaatkan platform TikTok untuk mengorganisir protes terhadap kebijakan elite seperti kenaikan gaji legislator pada Agustus 2025. Gelombang protes di berbagai kota memaksa pemerintah untuk membatalkan kenaikan gaji (meskipun uang reses kemudian naik dari 400 juta rupiah menjadi 700 juta rupiah) dan bahkan hingga reshuffle kabinet.

Semua ini menunjukkan bahwa politik gimmick tidak berbanding lurus dengan kinerja pemerintah sebagai pertanggung jawaban moral atas dukungan publik yang luas. Politik gimmick cenderung melahirkan pemimpin populis yang sibuk menguatkan kekuasaan, merangkul lawan politik demi stabilitas, dan lupa dengan agenda reformasi.

Politik gimmick bisa membantu memenangkan pemilu, tapi tidak menjamin politisi dapat mengelola negara dengan baik. Setelah berkuasa, mereka tetap dituntut memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan murah, lapangan kerja, dan layanan kesehatan. Gagal melakukannya berarti siap-siap menghadapi badai kritik yang sama cepatnya dengan viralitas yang dulu mengangkat mereka.

Penutup

Dengan demikian, akankah politik gimmick bertahan lama? Sejauh ini jawabannya masih ambigu. Di satu sisi, gimmick masih ampuh untuk menarik perhatian di tengah banjir informasi. Tapi di sisi lain, protes di Manila, Buenos Aires, dan Jakarta menunjukkan bahwa orang muda juga bisa menggunakan media sosial untuk melawan politisi yang dianggap culas.

Politik memang selalu punya sisi hiburan. Tapi era media sosial sekarang berbeda. Kecepatan, jangkauan, dan pengaruhnya jauh lebih besar. Dari Manila, Buenos Aires, hingga Jakarta, kampanye di media sosial terbukti bisa membantu memenangkan pemilu.

Namun, gelombang protes yang dipimpin Gen Z memberi peringatan bahwa gimmick tanpa hasil nyata akan membawa risiko besar. Untuk saat ini, gimmick mungkin masih jalan pintas menuju kemenangan pemilu. Tapi tanpa reformasi nyata, cepat atau lambat ia akan jadi bumerang.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//