Menjaga Jiwa Kota Bandung: Peran Pemuda dalam Merawat Budaya
Menjaga jiwa kota berarti memastikan setiap perubahan berpijak pada sejarah dan nilai-nilai yang membentuknya.

Encik Ryan Pradana Fekri
Praktisi Perencanaan Wilayah dan Kota serta Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITENAS Bandung.
29 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Setiap akhir Oktober, bangsa ini kembali mengenang peristiwa Sumpah Pemuda, salah satu tonggak penting dalam sejarah nasional. Namun, peringatan itu kerap berhenti pada seremoni dan slogan. Padahal, semangat yang terkandung di dalamnya selalu menuntut pembacaan baru sesuai konteks zaman. Jika pada 1928 para pemuda berjuang untuk menyatukan bangsa yang tercerai-berai oleh kolonialisme, maka tantangan generasi muda hari ini adalah menjaga kesatuan identitas di tengah derasnya arus globalisasi dan urbanisasi.
Konteks itu terasa nyata di Bandung, kota yang selama ini dikenal sebagai ruang pertemuan gagasan, kreativitas, dan keberagaman. Bandung pernah menjadi laboratorium sosial yang melahirkan berbagai gerakan penting dalam sejarah Indonesia: dari pergerakan mahasiswa, seni eksperimental, hingga solidaritas internasional dalam Konferensi Asia-Afrika 1955. Namun seiring waktu, wajah kota berubah cepat. Pertumbuhan ekonomi dan industri pariwisata telah menggeser fungsi ruang kota, sering kali dengan mengorbankan nilai sosial dan kultural yang menjadi identitas Bandung.
Pertumbuhan penduduk Bandung terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat, jumlah penduduk kota ini telah menembus 2.591.763 jiwa dengan kepadatan lebih dari 15.000 jiwa per kilometer persegi, menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia. Peningkatan ini mendorong kebutuhan hunian dan fasilitas ekonomi yang besar. Dalam sepuluh tahun terakhir, pembangunan gedung komersial meningkat lebih dari 30 persen, sementara ruang terbuka hijau justru menurun sekitar 10 persen.
Kawasan bersejarah seperti Braga, Dago, dan Cihampelas kini lebih dikenal sebagai pusat hiburan dan belanja. Banyak bangunan kolonial dan rumah-rumah lama yang menjadi saksi sejarah kota beralih fungsi menjadi kafe atau hotel. Fenomena gentrifikasi membuat warga lokal dan pelaku seni yang sebelumnya hidup di kawasan tersebut terdesak ke pinggiran. Identitas kota yang dahulu lekat dengan interaksi sosial dan budaya pelan-pelan bergeser menjadi budaya konsumtif yang berorientasi pada citra.
Perubahan ini tidak bisa dihindari, tetapi arah pengelolaannya bisa dipertanyakan. Apakah Bandung ingin tumbuh sekadar sebagai kota pariwisata, atau tetap menjadi kota gagasan dan kebudayaan seperti dulu? Pertanyaan ini penting, sebab pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa keseimbangan sosial dan kultural pada akhirnya akan melahirkan kota tanpa jati diri.
Baca Juga: Pemimpin Impian Pemuda dan Referensi Idealisme Kepemimpinan
Jejak Delegasi Seniman Jawa Barat di Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia 1957
Menulis untuk Perubahan, Advokasi Keadilan Iklim Bersama Pemuda Lintas Iman Kota Bandung
Relevansi Sumpah Pemuda di Kota
Sumpah Pemuda mengandung pesan tentang persatuan yang berakar pada kesadaran bersama, bukan pada keseragaman. Dalam konteks Bandung, semangat itu bisa diterjemahkan sebagai upaya menjaga keberagaman dan karakter lokal di tengah homogenisasi budaya global. Persatuan hari ini berarti mempertahankan ruang dialog dan kolaborasi antara berbagai kelompok warga kota, antara dunia modern dan tradisi, antara komersialisasi dan ekspresi budaya.
Menjadi pemuda Bandung hari ini tidak cukup hanya kreatif, tetapi juga harus kritis terhadap arah perubahan kota. Kreativitas yang tumbuh tanpa kesadaran sosial hanya akan melahirkan tren jangka pendek, bukan gerakan kebudayaan. Sebaliknya, kreativitas yang berpijak pada nilai dan sejarah lokal dapat memperkuat daya hidup kota.
Bandung memiliki warisan budaya Sunda yang kaya, dari bahasa, musik tradisional, hingga kuliner. Namun di banyak sekolah dan ruang publik, ekspresi budaya lokal ini kian jarang tampil. Generasi muda memiliki potensi besar menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi, memperkenalkan nilai lokal dalam bentuk baru yang relevan dengan era digital.
Berbagai komunitas di Bandung telah membuktikan bahwa pelestarian budaya tidak selalu bergantung pada pemerintah. Komunitas Aleut misalnya, rutin mengajak warga menelusuri jejak sejarah Kota Bandung dengan cara yang edukatif. Komunitas lain seperti Kawan Bergerak atau Bandung Bergerak mengangkat kisah-kisah ruang kota melalui media digital. Dalam bidang seni, kelompok mural, teater kampus, dan musisi independen memanfaatkan ruang publik untuk menyuarakan identitas dan kritik sosial.
Kegiatan ini mungkin sederhana, tetapi berdampak besar dalam membangun kesadaran kolektif warga muda tentang pentingnya merawat ingatan kota. Mereka menunjukkan bahwa budaya tidak selalu berbentuk acara formal atau pertunjukan besar, melainkan praktik sehari-hari yang menjaga hubungan antara manusia, ruang, dan nilai.
Sayangnya, sebagian besar gerakan komunitas tersebut masih bekerja dengan dukungan terbatas. Banyak di antara mereka mengandalkan dana pribadi dan ruang yang dipinjam secara informal. Pemerintah daerah dapat mengambil peran strategis dengan memperkuat ekosistem kreatif berbasis komunitas, bukan melalui intervensi top-down, melainkan dengan memberi akses ruang, pendanaan kompetitif, dan perlindungan hukum terhadap inisiatif warga.
Ruang Publik dan Akses Budaya
Ruang publik adalah elemen penting dalam menjaga budaya kota. Bandung memiliki taman kota, jalur pedestrian, dan fasilitas publik yang relatif baik dibanding banyak kota lain. Namun sebagian besar ruang ini belum dikelola sebagai ruang sosial yang inklusif. Banyak taman hanya berfungsi estetis tanpa aktivitas kebudayaan yang melibatkan warga.
Ruang publik yang hidup seharusnya menjadi tempat warga bertemu, berdiskusi, dan mengekspresikan diri. Pemuda dapat menjadi penggerak untuk menghidupkan kembali ruang-ruang itu, misalnya dengan mengadakan pameran foto sejarah, pertunjukan musik lokal, atau kegiatan edukatif di ruang terbuka. Upaya semacam ini tidak memerlukan anggaran besar, tetapi membutuhkan kemauan kolaboratif antara komunitas, sekolah, dan pemerintah daerah.
Nasionalisme Kultural dari Bandung
Bandung memiliki posisi simbolik dalam sejarah nasional. Dari kota inilah muncul berbagai ide pembebasan dan solidaritas antarbangsa. Semangat itu dapat diterjemahkan ulang sebagai nasionalisme kultural, yakni kecintaan pada kota dan bangsa melalui upaya konkret untuk menjaga budaya lokal. Nasionalisme semacam ini tidak lahir dari seremonial, tetapi dari partisipasi aktif dalam kehidupan sosial.
Generasi muda Bandung memiliki peluang besar untuk mempraktikkan nasionalisme kultural ini. Dengan menggabungkan kreativitas, teknologi, dan nilai lokal, mereka dapat menciptakan bentuk baru kebudayaan urban yang tetap berakar pada sejarah. Musik, film pendek, desain, dan literasi digital bisa menjadi sarana efektif memperkenalkan Bandung sebagai kota dengan identitas yang kuat sekaligus terbuka terhadap inovasi.
Bandung tidak kekurangan energi muda maupun ide segar. Yang dibutuhkan sekarang adalah arah yang jelas dan dukungan yang konsisten agar kreativitas tumbuh sejalan dengan nilai kebersamaan dan keberlanjutan budaya. Menjaga jiwa kota berarti memastikan setiap perubahan berpijak pada sejarah dan nilai-nilai yang membentuknya. Dengan begitu, Bandung akan tetap menjadi kota yang hidup berkat nilai dan budaya warganya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

