Mulung Tanjung #11: Pamali, Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Beranjak Terlupakan
Orang tua Sunda zaman dulu menggunakan istilah pamali sebagai bagian dari pendidikan untuk anak-anaknya. Dewasa ini budaya pamai mulai ditinggalkan.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
29 Oktober 2025
BandungBergerak - Bagi urang Sunda, ataupun bukan urang Sunda yang banyak berinteraksi dengan masyarakat Sunda, bisa jadi akrab dengan istilah pamali. Pamali sering diartikan sebagai larangan atau pantangan untuk hal-hal yang dianggap tabu atau bertentangan dengan adab, norma, dan atau etika.
Namun saat ini budaya pamali jarang terdengar dan digunakan. Alasannya banyak, di antaranya sudah tidak sesuai zaman, out of date, tidak kekinian, dan tidak masuk logika. Padahal budaya pamali ini ternyata mempunyai kontribusi besar pada keberlangsungan cara bermasyarakat di tatar Sunda. Budaya pamali pun menjadi salah satu upaya untuk menjaga tatanan sosial, keharmonisan kelurga, dan masyarakat, serta hubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Abdullah Mustappa dalam pengantar buku Sambel Jaér karya Asep Ruhimat (2006), hal-hal yang berkaitan dengan hilangnya tali paranti atau tradisi ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Sunda saja, tapi juga terjadi di berbagai tempat lain. Dan tali paranti atau tradisi urang Sunda yang satu per satu mulai menghilang itu menjadi satu hal yang sangat disayangkan. Padahal banyak tradisi yang justru besar manfaatnya untuk kehidupan.
Mulai Pudarnya Budaya Pamali
Lunturnya budaya pamali bisa jadi karena peran para orang tua. Orang tua saat ini terdiri dari generasi yang beragam, mulai dari generasi milenial (lahir sekitar 1981-1996), generasi Z ( lahir sekirat 1997-2012), dan sebagian kecil lagi dari generasi X (lahir sekitar 1965-1979) yang mungkin sudah memasuki masa kakek nenek. Mereka mungkin tidak begitu akrab dengan nilai pamali yang hidup secara turun-temurun di lingkungan keluarga Sunda.
Sebagai orang tua, generasi milenial dan generasi Z cenderung lebih selektif dan adaptif walaupun tidak serta merta menolak tradisi. Mereka cenderung menggabungkan nilai-nilai tradisi dengan nilai- nilai modern, memodifikasi penerapannya agar relevan dengan kehidupan di zaman sekarang, serta menghindari tradisi-tradisi yang dinggap kuno.
Hal lain adalah tumbuhnya keluarga-keluarga multikultural yang mengharapkan inklusivitas dan keberagaman. Salah satu jalan yang mereka ambil adalah bersikap netral dalam menerapkan tradisi untuk menghargai berbagai kultur yang ada di dalam keluarga. Namun, banyak juga yang tetap menjalankan tradisi untuk menghormati orang tua, menjaga keharmonisan keluarga, atau menyesuaikan diri dengan lingkungan tertentu, meski tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai Pamali dalam Masyarakat Sunda
Ada banyak pamali dalam kehidupan masyarakat Sunda yang berkaitan dengan banyak hal, misalnya tentang tatakrama, makanan, kegiatan sehari-hari, dan banyak lagi. Berikut beberapa diantaranya:
Ulah diuk dina meja bisi loba hutang (jangan duduk di meja, nanti banyak hutang); Ulah ngadiukan bantal bisi bisul (jangan duduk di bantal, nanti bisul); Ulah motongan kuku peuting-peuting bisi pondok umur (jangan memotong kuku waktu malam, nanti pendek umur, cepat meninggal); Ulah kaluar waktu sareupna bisi aya sandekala (jangan keluar di waktu maghrib, nanti ada mahluk halus);
Ulah sare lalangiran matak paeh indung (jangan tidur tengkurap sambil mengenkat kaki, nanti ibunya meninggal); Ulah dahar bari sare, bisi gede hulu (jangan maka sambil tiduran, nanti kepalanya besar); Ulah dahar dina coet, bisi meunangkeun aki-aki (jangan makan di dalam cobek, nanti menikah dengan kakek-kakek) .
Dan masih banyak sekali contoh pamali yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Baca Juga: Mulung Tanjung #9: Berbahasa Sunda tidak Harus jadi Cameuh
Mulung Tanjung #10: Menikmati Gending Karesmen si Kabayan Jadi Dukun di Unpad
Pamali Sebagai Kontrol Sosial
Ketika masih kecil, remaja sampai dewasa pun penulis masih sering diingatkan orang tua dengan berbagai pamali. Sebagai anak kecil tidak ada yang bisa dilakukan selain patuh dan tunduk pada apa yang dikatakan orang tua. Beranjak remaja, mulai banyak pertentangan dan pertanyaan mengenai berbagai kalimat pamali yang dipandang tidak masuk akal, tidak tercapai logika, aneh, dan sebagainya. Saat dewasa bersikap lebih jauh lagi, mulai menentang dan meremehkan.
Padahal banyak yang tidak kita sadari dan kita pahami dari hadirnya tradisi pamali ini. Dalam banyak hal ternyata pamali mengandung ajaran tak tertulis tentang tatakrama serta perilaku seseorang dalam bermasyarakat. Pamali mempunyai tujuan agar kita mengutamakan kehati-hatian dalam bersikap, waspada, saling menghormati, dan melakukan sesuatu sesuai waktu dan tempatnya. Banyak pamali yang pada dasarnya merupakan pengajaran budi pekerti, misalnya saja larangan duduk di atas meja yang konon akan menyebabkan banyak hutang. Nilai budi pekertinya adalah mengajarkan bahwa duduk di atas meja itu tidak pantas, karena tidak sopan, serta menggunakan benda tidak sesuai dengan gunanya.
Larangan duduk di atas bantal, jelas karena bantal digunakan untuk kepala bukan untuk diduduki. Larangan memotong kuku di malam hari, lebih karena kondisi Zaman dulu penerangan pada malam hari sangat terbatas, penggunaan alat memotong kuku pun belum seaman saat ini, jadi bisa saja menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Lalu mengapa orang tua zaman dahulu menggunakan kata-kata yang sering membuat ketakutan, seperti nanti celaka, atau nanti bisulan, dan sebagainya? Orang tua zaman dulu memiliki pemikiran sederhana, bahwa hal mistis atau rasa takut sangat kuat untuk membuat seseorang terutama anak kecil untuk patuh, tanpa banyak membantah. Dan memang untuk anak kecil zaman baheula, ya mungkin sampai generasi X, pamali itu adalah magic word yang membuat patuh tanpa bantahan. Bagaimana dengan anak-anak masa kini?
Bagaimanapun budaya pamali merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda yang diakui atau tidak mempunyai peran penting sebagai kearifan lokal yang menjaga keharmonisan dan bahkan keseimbangan alam. Sangat disayangkan jika suatu saat nanti, generasi turunan urang Sunda abai dan lupa akan tradisi ini. Semoga kita masih bisa menggunakan tradisi pamali pada saat ini, dengan kondisi-kondisi yang berlaku sekarang.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

