Ratusan Murid SD di Lembang Keracunan MBG, Beberapa Anak Dirawat di Rumah Sakit karena Kejang-kejang
Para murid sekolah di Lembang tumbang usai menikmati makanan yang seharusnya menyehatkan. Orang tua berjaga di posko darurat, berharap anak-anak mereka segera pulih.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah30 Oktober 2025
BandungBergerak - Kasus keracunan setelah menyantap menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di Kabupaten Bandung Barat. Lebih dari 230 murid sekolah di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, mengalami gejala mual, pusing, dan diare usai menyantap menu MBG pada Selasa, 28 Oktober 2025. Hingga Rabu 29 Oktober 2025, ratusan siswa masih mendapat perawatan di posko darurat GOR Desa Cibodas, beberapa murid dirujuk ke RSUD Lembang karena mengalami kejang-kejang.
Salah satu siswa korban keracunan, Tita, siswi kelas 10 SMK PNC, merasakan mual, pusing, dan diare setelah sehari sebelumnya, Selasa, 28 Oktober 2025, mengonsusmsi menu MBG. Ia bolak-balik ke toilet karena diare sebelum akhirnya memutuskan pergi ke posko kesehatan di GOR Desa Cibodas, dengan mengendarai motor sendiri.
"Kerasanya tadi mual lemas, pusing, dan diare,” ujar Tita, Rabu, 29 Oktober 2025.
Menu MBG yang ia santap terdiri atas tempe, sayur, nasi, bola-bola ayam, dan buah lengkeng. Setelah tiba di posko, Tita semula berniat hanya memeriksakan diri. Namun dokter memutuskan ia perlu dirawat sementara karena diarenya belum reda.
“Tadi mah, niatnya mau diperiksa doang, cuman kata dokter harus dirawat untuk menguras diare,” katanya, dengan tangan terpasang infus.
Kakaknya, Tika, 21 tahun, mengatakan tidak menyangka adiknya akan sakit setelah menyantap makanan tersebut.
“Kemarin peristiwanya, tapi sekarang malah terasanya, jadi saya saranin dulu ke sini terus kami dan orang tua giliran berjaga,” jelas Tika.
Sibuk di Posko Darurat
Suasana GOR Desa Cibodas yang diubah menjadi posko kesehatan tampak sibuk. Tenaga kesehatan, relawan, dan orang tua silih berganti menjaga anak mereka yang dirawat. Selain para murid, petugas kesehatan juga merawat ibu hamil 7 bulan korban MBG.
Hingga Rabu sore sekitar pukul 15.00 WIB, sebagian pasien sudah menunjukkan kondisi membaik dan diperbolehkan pulang. Namun sejumlah siswa masih dirawat karena gejalanya belum pulih.
Ai, 45 tahun, warga setempat, juga membawa anak bungsunya yang duduk di kelas 5 SDN 2 Cibodas ke posko kesehatan karena mengalami gejala serupa.
“Hanya makan nasinya (MBG) aja,” kata Ai.
Menurut Ai, anaknya menyantap MBG pada Selasa pagi, tetapi gejala baru muncul keesokan harinya. Ia bergantian berjaga dengan suaminya di posko yang berada di belakang gedung desa.
Guru P3K Paruh Waktu SDN 2 Cibodas, Wisnu, menjelaskan pembagian makanan MBG dilakukan segera setelah makanan datang ke sekolah. Menu hari itu, kata dia, terdiri atas tempe, rolade daging, buah lengkeng, dan sayur.
“Harapan sebagai guru semoga tidak berulang karena seperti membunuh perlahan-lahan,” ujar Wisnu.
Wisnu menuturkan, dari sekitar 300 murid di SDN 2 Cibodas, terdapat 41 orang yang mengalami gejala keracunan. Sebanyak tujuh di antaranya dirujuk ke RSUD Lembang karena mengalami kejang-kejang. Ia juga mengingat, sebelumnya sempat menerima menu MBG yang sudah terasa basi dan sempat diganti dengan kue kering, susu, serta buah-buahan.
Menjelang malam, antara pukul 16.00–18.00 WIB, posko kembali ramai didatangi warga. Beberapa pasien lama kembali mengeluhkan gejala yang berulang, sementara sejumlah siswa lain baru datang dengan keluhan serupa. Petugas kesehatan memeriksa kondisi mereka, sementara relawan yang semula sudah pulang kembali bekerja menyiapkan ambulans dan tempat tidur tambahan.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan (Plt. Kadinkes) Kabupaten Bandung Barat, Lia N. Sukandar, menyebutkan total terdapat 236 pasien yang ditangani hingga Kamis pagi, 30 Oktober 2025.
“Sebanyak 222 (pasien) sudah sembuh atau pulang,” katanya saat dikonfirmasi.
Dari jumlah tersebut, enam orang masih dirawat di RSUD Lembang dan delapan lainnya di Posko Desa Cibodas. Dinas Kesehatan juga telah mengambil sampel makanan MBG yang dikonsumsi korban untuk diperiksa di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat.
Menu yang diuji terdiri dari nasi putih, bola-bola ayam, tempe goreng, serta tumis sayuran berisi wortel, kembang kol, dan jagung muda. Makanan tersebut didistribusikan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Cibodas 2 Kecamatan Lembang.
Kepala Desa Cibodas, Dindin Sukaya, mengatakan sebagian besar korban telah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang.
“Sekarang yang tinggal dirawat di sini jumlahnya ada 10 orang. Anak-anak, ibu hamil, dan guru semuanya alhamdulillah sudah dinyatakan sehat,” jelas Dindin.
Ia menambahkan, tenaga kesehatan masih disiagakan untuk mengantisipasi kemungkinan penambahan pasien.
“Sampai sore ini tenaga kesehatan masih lengkap, mudah-mudahan sisa pasien yang masih dirawat segera pulih dan dipulangkan,” ujarnya.
Sebelumnya, kasus keracunan MBG berulang-ulang terjadi di wilayah Kabupaten Bandung Barat. Tanggal 22 September 2025 keracunan menimpa ratusan murid di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas. Tiga pekan kemudian, 14 Oktober 2025 giliran ratusan murid dari SMPN 1 Cisarua yang menjadi korban keracunan MBG.
Baca Juga: Malam Panik di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat: Ketika Makan Bergizi Gratis Berujung ke Posko Darurat
Cerita dari MBG Cipongkor, Mengapa Keracunan Massal Berulang?
Dampak Psikologis Keracunan pada Korban
Kasus keracunan MBG yang berulang di Bandung Barat menimbulkan dampak psikologis bagi orang tua siswa. Rasa cemas dan trauma muncul setelah beberapa kali insiden serupa terjadi.
Psikiater Elvine Gunawan menjelaskan, secara psikologis orang tua memiliki insting alami untuk melindungi anaknya. Karena itu, kasus keracunan di lingkungan sekolah menimbulkan ketakutan dan resistensi terhadap program makanan bergizi.
“Ketika kasus seperti ini terjadi berulang, orang tua jadi ragu dan cenderung menolak anaknya mengonsumsi makanan yang dianggap berisiko,” kata Elvine, Rabu, 15 Oktober 2025.
Menurutnya, tekanan muncul karena makanan yang seharusnya menyehatkan justru membahayakan anak.
“Ketika rasa takut sudah muncul, kewaspadaan orang tua meningkat. Namun jika pengawasan dan evaluasi makanan masih lemah, kepercayaan akan makin berkurang,” ungkapnya.
Elvine menilai, bagi orang tua yang anaknya terdampak langsung hingga dirawat di rumah sakit, trauma bisa muncul karena melihat anak yang semula sehat tiba-tiba sakit. Ia menyarankan agar orang tua tetap waspada dengan cara yang sehat, seperti mengetahui sumber pengolahan makanan anak dan memastikan sekolah memiliki prosedur pemeriksaan makanan berisiko.
“Keterlibatan orang tua dapat membuat sekolah lebih peduli terhadap keamanan makanan anak-anak,” ujarnya.
Ia juga menyarankan penyedia layanan makanan bergizi gratis perlu memperbaiki komunikasi ke murid dan orang tua. Menurutnya, orang tua dan anak merupakan korban, sehingga penyedia harus mampu menjelaskan secara terbuka bahwa produk yang diberikan aman dan sesuai standar.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

