• Kolom
  • CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #18: Majalah Mangle, Penjaga Warisan Bahasa dan Sastra Sunda

CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #18: Majalah Mangle, Penjaga Warisan Bahasa dan Sastra Sunda

Lebih dari sekadar majalah, Mangle adalah cermin keteguhan sebuah budaya untuk tetap hidup di tengah arus perubahan.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Wajah Majalah Mangle era tahun 1960-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

1 November 2025


BandungBergerak.id – Dalam sejarah panjang pers berbahasa daerah di Indonesia, hanya sedikit media yang mampu bertahan lintas generasi. Di antara yang langka itu, Majalah Mangle berdiri sebagai saksi sekaligus penjaga napas kebudayaan Sunda menyatukan bahasa, sastra, dan jati diri dalam setiap lembarnya.

Bagi masyarakat Sunda, nama Mangle bukan sekadar judul sebuah majalah. Ia telah menjadi simbol perjalanan panjang budaya tulis dan suara bahasa ibu yang tetap bergema di tengah gempuran zaman.

Kata mangle sendiri bermakna “ranggeuyan kembang” untaian bunga. Nama yang indah, seindah gagasan yang menghiasi setiap halamannya sejak pertama kali terbit pada 21 November 1957 di Kota Bogor, sebelum kemudian berpusat di Bandung.

Di balik kelahirannya, hadir nama-nama penting dalam sejarah pers Sunda yaitu Oetoen Moechtar, E. Rohamina Sudarmika, Wahyu Wibisana, Sukanda Kartasasmita, Saleh Danasasmita, Utay Moechtar, dan Alibasah Kartapranata. Dari tangan merekalah Mangle tumbuh menjadi satu-satunya majalah berbahasa Sunda yang masih bertahan hingga hari ini sebuah capaian yang jarang diraih media daerah lain.

Sebelum Mangle hadir, denyut pers Sunda sejatinya telah terdengar sejak akhir abad ke-19. Menurut catatan, kala itu pernah terbit sejumlah majalah dan surat kabar seperti Sunda Almanak (1894) dan Panemu Guru (1906). Namun masa pendudukan Jepang membawa babak kelam, tidak ada satu pun media berbahasa Sunda yang diizinkan terbit. Pemerintahan militer Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan bahasa daerah, termasuk Sunda, dalam penerbitan.

Kebangkitan baru terjadi setelah Indonesia merdeka. Pada era 1950–1970-an, media berbahasa Sunda kembali bermekaran. Nama-nama seperti Pajajaran (1949), Panghegar (1952), Warga (1954), Candra (1954), Kiwari (1957), Sari (1963), Sangkuriang (1964), Campaka (1965), Kutawaringin (1966), Baranangsiang (1966), hingga Pelet (1966) turut meramaikan media cetak Sunda. Masa itu kemudian dikenang sebagai masa keemasan pers berbahasa daerah.

Namun, seiring berjalannya waktu, satu per satu media itu gugur. Kini, hanya Mangle dan Galura yang masih bertahan. Sementara nama-nama seperti Cupumanik, Seni Budaya, Ujung Galuh, Sunda Midang, Bina Da’wah, Iber, Balebat, Hanjuang Bodas, Logay, Panggugah, dan Sampurasun tinggal dikenang sebagai jejak sejarah.

Wajah Majalah Mangle era tahun 1990-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Wajah Majalah Mangle era tahun 1990-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #15: Melihat Kembali Poster Film di Surat Kabar GALA Bandung Tahun 1970-an
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #16: Jejak Surat Kabar Sunda, Senjata Pena Bernama Kudjang
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #17: Jejak 215 Tahun Bandung dalam Lembaran Koran Lawas

Wadah Berkembangnya Sastra Sunda Modern

Lebih dari sekadar media informasi, Mangle menjadi rumah bagi para pengarang Sunda. Di bawah kepemimpinan redaksi M.H. Rustandi Kartakusumah dan Gondewa, majalah ini melahirkan banyak penulis penting seperti Rahmat M. Sas Karana, Tatang Sukanda, Us Tiarsa dan Aam Amilia. Dari majalah inilah karya-karya sastra Sunda modern tumbuh, hidup, dan dikenal luas.

Pada masa jayanya di dekade 1970-an, Mangle mencapai oplah hingga 150 ribu eksemplar per bulan angka yang luar biasa bagi media berbahasa daerah. Setiap edisinya bukan hanya menyajikan berita dan hiburan, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap bahasa dan budaya Sunda.

Isi majalah sangat beragam dari tren fesyen, gaya hidup, hingga esai sastra dan carpon (carita pondok) padanan cerita pendek dalam Bahasa Indonesia. Sejumlah rubrik pun menjadi favorit pembaca, di antaranya Koropak Mangle, Lawang Saketeng, Istri Binangkit, Pangalaman Paramitra, dan Barakatak.

Bagi pembacanya, Mangle bukan sekadar bacaan, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.

Wajah Majalah Mangle era tahun 2000-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Wajah Majalah Mangle era tahun 2000-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Era Baru Mangle di Bawah Naungan Universitas Padjadjaran

Enam puluh delapan tahun setelah kelahirannya, Mangle memasuki babak baru. Universitas Padjadjaran (Unpad) kini resmi mengambil alih pengelolaan majalah berbahasa Sunda tertua di Indonesia itu. Langkah ini dijalankan melalui Pusat Budaya Sunda (PBS) Unpad, sebagai bagian dari pelaksanaan Statuta Unpad dalam bidang pengembangan kebudayaan daerah.

Pengelolaan Mangle secara resmi dimulai pada 20 Mei 2025, bertepatan dengan peresmian Pusat Budaya Sunda Unpad di Graha Sanusi Hardjadinata, Bandung. Lembaga ini merupakan pengembangan dari Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda (PDP-BS) yang telah berdiri sejak 2019.

Melalui langkah ini, Unpad menegaskan komitmennya untuk memperkuat peran bahasa dan budaya Sunda dalam kehidupan masyarakat. Mangle kini diarahkan menjadi majalah kebudayaan dan pengetahuan, bukan lagi media yang mengejar aktualitas berita.

Secara kelembagaan, Mangle tetap berada di bawah PT Mangle, sementara pengelolaan isi dan redaksional kini menjadi tanggung jawab Pusat Budaya Sunda Unpad. Majalah ini direncanakan terbit setiap bulan dalam bentuk cetak, dengan oplah sekitar 1.500 eksemplar dan harga jual 25 ribu rupiah.

Penulis memegang Majalah Mangle era tahun 1960-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Penulis memegang Majalah Mangle era tahun 1960-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Pembaruan juga dilakukan pada konsep dan tampilan. Ciri khas sampul yang selama ini menampilkan figur perempuan akan diganti dengan desain yang lebih merepresentasikan kebudayaan Sunda. Isi majalah akan menonjolkan karya penulis dari berbagai kalangan baik akademisi maupun masyarakat umum.

Dengan arah baru ini, Mangle diharapkan terus menjadi wadah pengembangan, penelitian, dan pelestarian bahasa serta budaya Sunda. Keberadaannya juga memperkuat peran Unpad sebagai pusat kebudayaan yang berakar pada kearifan lokal sekaligus memiliki daya saing global.

Kini, di tengah derasnya arus digital dan perubahan cara baca masyarakat, Mangle tetap teguh berdiri. Setiap lembarnya menjadi pengingat bahwa bahasa daerah bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan sumber kehidupan budaya yang terus menyala.

Lebih dari sekadar majalah, Mangle adalah cermin keteguhan sebuah budaya untuk tetap hidup di tengah arus perubahan. Selama bahasa Sunda masih diucapkan dan dibaca, untaian bunga bernama Mangle akan terus mekar di taman pers Indonesia tak layu oleh waktu.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//