• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #93: Hujan yang Membawa Banjir di Cicalengka

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #93: Hujan yang Membawa Banjir di Cicalengka

Banjir di Cicalengka yang datang saban musim hujan menjadi pengingat bahwa ada hal-hal mendasar yang belum tersentuh tangan kebijakan.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka

Banjir Jalan Raya Barat Cicalengka (Kebon Kalapa). (Foto: Andrian Maldini Yudha)

3 November 2025


BandungBergerak.id – Tatkala langit menunduk dan meneteskan bening demi bening air ke bumi, manusia menyambutnya dengan keikhlasan yang nyaris religius. Hujan datang seperti doa yang dikabulkan setelah kemarau menuntaskan dahaganya –membawa aroma tanah, harapan, dan kehidupan baru.

Namun di Cicalengka, doa itu kini berubah menjadi cemas di dada warga. Sebab hujan yang dulu disyukuri, kini menimbulkan tanda tanya: adakah ia masih membawa berkah, atau justru menjadi isyarat bencana datang?

Perubahan ini tentu bukan tanpa sebab. Cicalengka kini tumbuh sebagai kota yang sibuk menata diri –penuh ambisi untuk disebut “berkembang”. Pabrik-pabrik berdiri di atas tanahnya, rel kereta membentang menghubungkan banyak tempat, dan jalan-jalan baru dibangun di berbagai titik. Namun di balik gegap kemajuan itu, ada hal yang terlewat: saluran air yang tersumbat, drainase yang tak berfungsi, dan sungai yang kehilangan arah alirannya.

Musim penghujan kini seperti cermin yang memantulkan sisi lain dari kemajuan itu. Di sejumlah titik, air meluap dan menenggelamkan jalan. Hujan yang mestinya membawa kesuburan, justru menimbulkan genangan dan kekhawatiran. Seolah-olah, di tanah yang sama tempat kemajuan ditanam, tumbuh pula benih persoalan. Akibatnya, setiap kali hujan deras turun, air kehilangan jalan pulang. Ia menggenang di jalanan dan menjelma banjir yang datang saban musim hujan.

Bagi warga, banjir bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan rutinitas yang datang tanpa undangan. Mereka tak lagi bertanya mengapa, melainkan sampai kapan. Di media sosial, unggahan warga memperlihatkan jalan tergenang, kendaraan tersendat, dan langkah-langkah yang kehilangan arah.

Dari balik jendela, warga hanya bisa menatap air yang perlahan naik, sementara suara hujan di atap terdengar seperti detak waktu yang memaksa mereka bersabar. Tak ada yang benar-benar marah karena banjir telah menjadi bagian dari keseharian. Namun di antara diam itu, terselip tanya yang tak kunjung menemukan jawaban: kenapa selalu begini?

Banjir, bagi sebagian orang, hanyalah urusan air. Tapi bagi warga Cicalengka, ia perlahan berubah menjadi cermin tentang bagaimana sesuatu yang dulu dianggap berkah bisa menjelma beban ketika keseimbangan alam diabaikan. Di sinilah wajah kota itu menampakkan paradoksnya: semakin giat menata diri, semakin ia kehilangan arah alirannya.

Mungkin di sinilah kisah Cicalengka layak ditelusuri lebih jauh: dari suara warga yang saban tahun berhadapan dengan air, dari jalan-jalan yang perlahan tenggelam, hingga ke akar persoalan yang tak kasat mata. Sebab di balik setiap genangan, selalu ada cerita yang belum selesai dan setiap tetes hujan membawa ingatan tentang apa yang belum sempat dibereskan.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #90: Cicalengka di Bawah Riuh Renovasi Jalan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #91: Ketika Anak-anak Cicalengka Harus Berangkat Sekolah Lebih Pagi
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #92: Menunggu Janji Fasilitas Olahraga di Cicalengka

Berlari Mengejar Kemajuan, tapi Tersandung di Genangan

Dilansir dari media lokal melalui akun Instagram @igcicalengka_, tampak sebuah video yang memperlihatkan ruas Jalan Raya Barat Cicalengka. atau yang akrab disebut warga sebagai Kebon Kalapa, terendam banjir. Air menutup sebagian badan jalan, sementara kendaraan tampak berjejal mencari celah untuk melintas. Jalur ini sejatinya merupakan penghubung vital antara Parakan Muncang dan pusat Cicalengka, namun kini berubah menjadi genangan yang memperlambat segalanya. Suara klakson bersahutan, langkah orang melambat, dan wajah-wajah pengendara memantulkan rasa lelah yang seragam.

Ekspresi dan komentar warga Cicalengka membanjiri beranda media sosial, memenuhi setiap kolom pada unggahan yang menampilkan kabar tentang genangan air itu. Tersirat nada kecewa dan keheranan yang sama, mengapa kini air menggenang di tempat yang dulu tak pernah disentuh banjir? Banyak yang menyayangkan, sebab wilayah itu bukan sembarang titik di peta Cicalengka; di sanalah denyut kehidupan kota berdetak –pabrik-pabrik berdiri, deretan ruko berjejer, dan aktivitas sehari-hari berputar tanpa henti. Kini, semua seolah terhenti di antara riak air yang tak diundang, seperti napas kota yang tersengal oleh beban yang diciptakannya sendiri.

Dengan getir, warga melontarkan kritik yang dikemas dalam guyonan. Daerah yang tergenang itu mereka sebut sebagai “Coconut Garden Water Boom”, karena airnya yang keruh dan bergelombang. Di jalan itu, ombak kecil berkejaran, menciptakan ilusi seperti wahana air sungguhan. Setiap kendaraan yang melintas tampak memecah gelombang, meninggalkan cipratan yang seolah menertawakan ironi bahwa di tengah geliat pembangunan, kota ini justru menciptakan taman airnya sendiri –bukan sebagai destinasi wisata, melainkan sebagai potret yang getir dari kemajuan yang alpa menata alirannya.

Asumsi dan dugaan warga pun berkelindan, mencoba menafsir musabab banjir yang melanda Jalan Raya Barat Cicalengka. Ada yang berpendapat, genangan itu lahir dari proyek penggalian dan instalasi kabel listrik bawah tanah yang dilakukan PLN beberapa waktu lalu sehingga menutup jalur air yang semestinya mengalir bebas. Ada pula yang menilai penyebabnya terletak pada kurangnya saluran parit untuk menampung derasnya hujan. Sementara sebagian lain beranggapan tumpukan sampah menjadi biang keladi  air yang mestinya menepi, kini menggenangi jalan.

Tentu, banjir itu tak hanya membawa air, tapi juga jeda dalam denyut kehidupan warga. Roda-roda kendaraan yang biasanya melaju ringan kini terpaksa menapak pelan, berjuang menembus genangan yang menelan jalan. Arus lalu lintas tersendat, kemacetan mengular panjang seperti kesabaran yang diuji di bawah langit kelabu. Setiap klakson terdengar bagai keluh kecil yang tenggelam di antara riuh hujan dan air yang tak kunjung surut.

Warga  kini hidup dalam ironi yang basah. Setiap kali hujan turun, mereka tahu: air akan datang membawa kenangan yang sama –genangan, kemacetan, dan rasa lelah yang tak sempat mengering. Pemerintah memang kerap hadir dengan ucap penataan, rencana drainase, atau proyek perbaikan, tetapi semua itu sering berhenti di atas kertas, tak sampai ke tanah yang sesungguhnya menanggung beban. Di tengah derasnya pembangunan yang mengubah wajah kota, warga justru merasa kian jauh dari perlindungan yang mereka butuhkan. Maka setiap kali langit mendung, mereka tak lagi menatap awan dengan doa, melainkan dengan tanya yang pahit: sampai kapan kota ini harus belajar dari banjir yang sama?

Cicalengka Berbenah, tapi Banjir Tak Menyerah

Ada dua wajah yang saling berlawanan bila kita menatap Cicalengka hari ini. Pada satu sisi, tampak kota yang sedang berbenah –membangun jalan, menegakkan pabrik, menata diri agar tampak layak disebut “maju.” Namun pada sisi lainnya, ada wajah yang muram dan basah –wajah yang menunduk setiap kali hujan turun, menanggung beban banjir yang datang saban musim tanpa pernah benar-benar pergi. Di antara dua wajah itu, Cicalengka seperti berdiri di depan cermin retak: separuh ingin tumbuh, separuh lagi tenggelam oleh air yang menuntut penataan yang tak kunjung hadir. Sebuah paradoks yang terasa begitu nyata, sekaligus menyedihkan.

Sejatinya, geliat pembangunan memang membawa manfaat bagi kemajuan suatu daerah –ia menjanjikan kemaslahatan, membuka ruang ekonomi, dan memberi harapan baru bagi warganya. Namun, di balik cahaya kemajuan itu, ada bayang-bayang persoalan yang tak boleh diabaikan. Cicalengka adalah buktinya: banjir yang datang saban musim hujan seolah menjadi pengingat bahwa ada hal-hal mendasar yang belum tersentuh tangan kebijakan. Pemerintah setempat seharusnya tidak terlalu larut dalam euforia pembangunan fisik semata, sebab kemajuan sejati bukan hanya tentang berdirinya infrastruktur, tetapi juga tentang seberapa tanggap mereka menjawab keluhan rakyat yang setiap tahun harus akrab dengan kebanjiran.

Barangkali, yang paling dibutuhkan Cicalengka hari ini bukan sekadar pembangunan yang menjulang, melainkan kesadaran yang mengakar. Kesadaran bahwa setiap jengkal tanah memiliki daya tampungnya sendiri, setiap aliran air memiliki hak jalannya sendiri, dan setiap keputusan pembangunan harus berdialog dengan alam, bukan menutup mulutnya dengan semen. Sebab kota yang tumbuh tanpa mendengar bisikan lingkungannya, lambat laun akan tenggelam dalam gema kesalahannya sendiri.

Solusi mungkin tidak sesederhana memperbaiki saluran drainase atau mengeruk sungai yang mampet, melainkan menata ulang cara pandang terhadap ruang hidup. Pemerintah dan warga perlu berjalan beriringan, bukan sekadar menunggu dan menyalahkan. Butuh keberanian untuk menunda proyek yang mengabaikan keseimbangan, dan kebijaksanaan untuk menanam kembali yang telah hilang. Sebab air, sebagaimana manusia, hanya ingin pulang pada tempat yang seharusnya ia berada.

Pada akhirnya, banjir di Cicalengka bukan semata urusan curah hujan, melainkan curah kesadaran. Di sanalah ukuran sejati dari kemajuan diuji –bukan dari berapa panjang jalan yang telah diaspal, melainkan dari seberapa dalam kepedulian yang ditanam. Sebab kota yang belajar dari air akan mengerti: bahwa setiap genangan adalah cermin dari kelalaian, dan setiap aliran adalah pesan tentang keseimbangan. Jika suatu hari Cicalengka mampu menjawab pertanyaan “sampai kapan” dengan tindakan, bukan sekadar harapan, maka hujan akan kembali turun sebagai berkah, bukan beban. Ia akan jatuh lembut di tanah yang sadar akan batasnya, mengalir tenang di kota yang belajar dari lukanya. Sebab kota yang berani bercermin pada air, pada akhirnya akan menemukan dirinya sendiri –bukan hanya kering dari genangan, tetapi juga jernih dari kesalahan, dan teduh dalam keinsafan.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//