• Buku
  • RESENSI BUKU: Paul Scholten, Arsitek Pendidikan Hukum di Hindia Belanda

RESENSI BUKU: Paul Scholten, Arsitek Pendidikan Hukum di Hindia Belanda

Paul Scholten membidani kelahiran Sekolah Tinggi Hukum Batavia yang melahirkan kaum intelektual bumiputra yang berhasil melepaskan Hindia Belanda dari penjajahan.

Buku berjudul Untuk Hukum dan Keadilan: Paul Scholten (1875–1946) merupakan biografi yang ditulis oleh Rogier Chrorus. (Foto: Cecep Burdansyah)

Penulis Cecep Burdansyah3 November 2025


BandungBergerak.id – Siapa arsitek pendidikan hukum di Hindia Belanda? Ya, Paul Scolten (1875–1946). Pria Belanda yang berpandangan moderat ini merupakan dewa hukum di Belanda, yang kemudian jadi arsitek pendidikan hukum di pemerintahan Hindia Belanda.

Paul seorang advokat dan aktivis politik di Belanda yang sebelumnya tidak pernah menginjakkan kaki di Hindia Belanda, tapi kemudian menapakkan jejaknya yang dalam di Hindia Belanda. Sejarah mencatat, ia hanya dua kali datang ke Hindia Belanda, tapi karyanya sangat monumental.

Berbeda dengan Cornelis Van Vollenhoven atau Christiaan Snoick Hurgronye, Boscha atau KF Folle yang mengukir namanya di Hindia Belanda karena memang mereka merupakan tokoh kunci yang membantu pemerintah Hindia Belanda, terutama dalam soal budaya dan hukum adat, Paul Scholten sama sekali orang asing.  Ia tidak punya pengalaman dikirim ke tanah jajahan. Tapi kejeniusannya dalam bidang hukum, membawanya datang ke Hindia Belanda.

Buku berjudul Untuk Hukum dan Keadilan: Paul Scholten (1875–1946) merupakan biografi yang ditulis oleh Rogier Chrorus, seorang yuris Belanda yang berkarier di bidang hukum di Belanda. Diterbitkan oleh Universitas Leiden, bekerja sama dengan KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia.

Biografi ini, seperti diakui juga oleh penulisnya, hadir sangat terlambat, yaitu ditulis pada tahun musim-musim Covid-19 tahun 2020. Buku ini terbit pertama kali tahun 2024, di saat hukum di Indonesia pada Januari 2026 akan memasuki babak baru, yaitu diberlakukannya KUHP versi nasional, meninggalkan KUHP lama versi Belanda.

Tetapi bagaimanapun Paul Scholten tetap orang yang sangat penting, baik dalam hukum di Belanda apalagi di Hindia Belanda (Indonesia). Dia dewanya ilmu hukum. Warisannya dalam ilmu hukum, terutama hukum perdata, sulit tergantikan. Meskipun beberapa masalah hukum perdata sudah diperbarui, landasannya tetap diwarnai hasil pemikiran Paul Scholten.

Satu keistimewaan dalam cara berpikir Paul Scholten adalah ia tidak mau terkurung dalam cara berpikir asas legalitas, sebuah asas formal yang terpaku kaku pada hukum tertulis atau terikat pada pasal-pasal. Padahal ciri khas hukum kontinental yang berakar di Eropa, yaitu di Prancis tempat asalnya dan berkembang di Belanda, yaitu asas legalitas. Paul menolak kejumudan tersebut. Ia berpandangan bahwa hukum harus dinamis, mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Model berpikir Paul Scholten ini dikenal dengan penemuan hukum. Ia berpendapat, asas formal atau hukum tertulis memang jadi pegangan dalam menangani persoalan hukum, tetapi tidak berarti putusan hakim harus kaku pada hukum tertulis. Hakim, setelah mengetahui hukum tertulisnya, harus pula melihat latar belakang mengapa sebuah kasus bisa terjadi. Ia bisa menerobos dari sekadar membaca pasal-pasal dalam asas formal. Di sinilah peran sosio legal menjadi penting. Dengan melibatkan ilmu sosial, hakim berusaha menemukan keadilan. Hukum tidak sekadar mesin pemutus kesalahan seperti dirumuskan oleh Hans Kelsen yang terkenal dengan teori hukum murninya.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Menjadi Orang Normal dalam Novel Si Bengkok Karya Ichikawa Saou
RESENSI BUKU: Saman, Kali ini Pertaruhan Milik Kita!
RESENSI BUKU: Setelah Boombox, Musik sebagai Hiburan dan Perlawanan

Usulan Creutzberg

Untuk memperkuat pengaruhnya di tanah jajahan, Pemerintah Hindia Belanda menginginkan lembaga pendidikan hukum di Hindia Belanda. Tujuannya untuk mendidik orang Belanda (Eropa) dan pribumi di bidang hukum demi memenuhi kebutuhan pegawai pemerintahan Hindia Belada. Keinginan ini sudah ada sejak Gubernur Jendral Hindia Belanda dijabat oleh Johan Paul Graaf van Limburg Stirum (1873–1948).

Direktur Departemen van Onderwijs en Erediennst (Departemen Pendidikan dan Agama), Karel Frederick Creutzberg mengirimkan nota berisi usulan pendirian Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Hindia Belanda. Usulan ini rupanya baru dieksekusi setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Dirk Fock (1858–1941).

Lalu terjadi beberapa kali diskusi, bahkan sangat alot, siapa orang yang tepat untuk mewujudkan Sekolah Tinggi Hukum itu. Nama-nama ahli hukum terkemuka bermunculan, dan selalu didominasi oleh para ilmuwan hukum dari Universitas Leiden. Karena Leiden saat itu jadi jangkarnya Hindia Belanda, nama Cornelis van Vollenhoven (1874–1933) yang dikenal sebagai maestro hukum adat di Hindia Belanda, muncul ke permukaan.

Tapi reputasinya dalam hukum adat di Hindia Belanda tidak otomatis membuat Vollenhoven mendapat dukungan Gubernur Jenderal Dirk Fock. Fock yang pernah jadi pengacara di Semarang sama sekali tak terkesan dengan bidang kajian hukum adat, malah ia memandang hukum adat sebagai penghalang usaha Belanda membaratkan masyarakat Hindia Belanda.

Setelah berputar-putar antara Universitas Leiden dan beberapa universitas lainnya di Belanda, pilihan akhirnya jatuh kepada seorang yuris dari Universitas Amsterdam.  Sosok itu dianggap yuris yang berpengalaman baik sebagai pengacara maupun sebagai ilmuwan. Dia adalah Paul Scholten.

Paul pun bersedia. Tugas tersebut ia anggap sebagai tantangan baru, dan itu akan menjadikannya pengalaman baru, ia akan menginjakkan kaki di Hindia Belanda. Ia berangkat pertama kali ke Hindia Belanda pada 16 Januari 1924 dengan menumpang kapal uap Johan de Wit. Keberangkatan yang pertama ini untuk mempersiapkan pendirian Rechtshogeschool. Di Batavia ia bertemu dengan sang pengusul, Creutsberg, untuk mendiskusikan segala sesuatunya sampai matang. Beberapa tempat diusulkan, di antaranya di Yogyakarta. Namun kemudian ditetapkan di Batavia.

Sekolah Tinggi Hukum ini tujuannya untuk mencetak sumber daya manusia, terutama dari kalangan pribumi untuk ditetapkan sebagai tenaga profesional di Pemerintahan Hindia Belanda. Setelah semuanya matang, Paul Scholten sempat pulang dulu ke Belanda. Lalu ia datang lagi ke Hindia Belanda bersama istrinya, untuk meresmikan berdirinya Sekolah Tinggi Hukum Batavia.

Maka diresmikanlah sekolah hukum yang pertama di Hindia Belanda itu pada hari Selasa 28 Oktober 1924 berdasarkan Ordonansi tertanggal 9 Oktober 1924 dalam upacara yang megah. Yang bertindak meresmikan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr Dirk Fock, disaksikan para guru besar sekolah itu, antara lain Prof Dr Husein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di Belanda yang juga jadi dosen di Sekolah Tinggi Hukum Batavia.

Sekolah Tinggi Hukum Batavia ini gagal meneruskan perjalanannya, karena yang semula mau mencetak sumber saya manusia berpendidikan yang mengabdi pada Pemerintah Hindia Belanda, malah membangkitkan rasa nasionalisme mahasiswa pribuminya dan setelah lulus menolak jadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Mereka malah jadi aktivis pergerakan untuk memerdekakan diri, seperti halnya Soepomo, lulusan Sekolah Tinggi Hukum Batavia yang dikenal jadi melawan penjajah bersama Sukarno.

Dari rumahnya di Belanda, Paul Scholten menyaksikan perjalanan STH Batavia dengan perasaan bangga. Karena, bagi dia sebagai seorang demokrat, sekolah itu justru berhasil melahirkan kaum intelektual yang bisa melepaskan negerinya dari cengkeraman penjajah. STH Batavia kemudian menjelma jadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

*Resensi ini dipersembahkan buat NN yang tengah merampungkan studi doktoral di UPI.

**Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//