• Opini
  • Tentang Mimpi Piala Dunia dan Luka yang Tak Pernah Sembuh

Tentang Mimpi Piala Dunia dan Luka yang Tak Pernah Sembuh

Sepak bola dijadikan alat produksi nasionalisme yang steril dari kesadaran kelas. Ia memobilisasi emosi rakyat, tetapi menyingkirkan kesadaran politik mereka.

Rio

Guru pendamping khusus (shadow teacher) salah satu sekolah swasta di Bandung

Sepak bola. (Foto: Ilustrasi oleh Arfan Audryansyah)

3 November 2025


BandungBergerak.id – Eduardo Galeano pernah menulis bahwa sepak bola adalah “cermin dunia,” tempat ketimpangan dan harapan manusia dipentaskan dalam bentuk paling kasat mata. Dalam Soccer in Sun and Shadow (1997), ia menggambarkan bagaimana permainan yang lahir dari kegembiraan rakyat itu perlahan direbut oleh kekuasaan ekonomi dan politik hingga menjadi industri yang mengatur gairah sekaligus kekecewaan massal. Kalimat pembukanya –“The ball dreams of being free”– bukan sekadar metafora estetis, melainkan pernyataan politik, bahwa bola, sebagaimana manusia, hidup dalam struktur yang menindas kebebasannya.

Kegagalan Indonesia di kualifikasi Piala Dunia bukanlah sekadar hasil pertandingan. Ia mencerminkan relasi kuasa yang mengatur bagaimana sepak bola dijalankan, dimaknai, dan dikomodifikasi. Setiap kali timnas kalah, publik disuguhi narasi yang sama, evaluasi dan pembenahan. Namun di balik retorika itu, ada sistem yang tak pernah berubah, sistem yang menjadikan sepak bola sebagai panggung simbolik untuk menutupi luka yang lebih dalam.

Baca Juga: Sepak Bola adalah Perlawanan
Pertandingan Sepak Bola Tanpa Suporter adalah Kegagalan Pemerintah Memenuhi Hak Warga Negara
Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Bandung: Pertandingan Sepak Bola Rakyat vs Elite di Depan Gedung Sate, Menyalakan Lilin Solidaritas untuk Sukahaji di Taman Cikapayang

Sepak Bola sebagai Ideologi Nasionalisme Semu

Dalam imajinasi nasional, Piala Dunia bukan sekadar turnamen, ia adalah proyek ideologis. Setiap empat tahun, euforia global ini menyatukan bangsa-bangsa dalam ilusi kesetaraan, padahal ia dibangun di atas ketimpangan ekonomi yang tajam. Di Indonesia, mimpi tampil di Piala Dunia diproduksi sebagai bentuk patriotisme baru –“bukti bahwa kita bisa sejajar dengan dunia”. Namun sebagaimana dikatakan Galeano, “The ball has been kidnapped by the owners of the world.” Dalam konteks kita, para “pemilik” itu bukan hanya FIFA atau sponsor, melainkan juga oligarki lokal yang menguasai federasi, media, dan bahkan identitas masyarakat itu sendiri.

Sepak bola dijadikan alat produksi nasionalisme yang steril dari kesadaran kelas. Ia memobilisasi emosi rakyat, tetapi menyingkirkan kesadaran politik mereka. Ketika timnas menang, pemerintah merayakannya sebagai simbol “kebangkitan bangsa.” Ketika kalah, rakyatlah yang diminta “lebih sabar”. Dalam logika ini, sepak bola berfungsi sebagaimana dijelaskan Louis Althusser dalam Ideology and Ideological State Apparatuses (1970), sebuah mekanisme yang menciptakan kepatuhan melalui kesenangan. Althusser menulis, “Ideology represents the imaginary relationship of individuals to their real conditions of existence.” Dengan kata lain, ideologi bekerja bukan melalui paksaan, melainkan lewat kenikmatan dan ritual yang membuat rakyat merasa terlibat padahal sedang diarahkan untuk taat.

Narasi seperti “Garuda di Dadaku” menjadi contoh paling nyata dari ideologi nasionalisme semu itu. Slogan ini mengubah cinta tanah air menjadi komoditas emosi, patriotisme yang dikurasi dan dijual kembali dalam bentuk nyanyian stadion, tagar, sampai kampanye politik. Ia menyalurkan kebanggaan kolektif tanpa kesadaran kritis, menjadikan nasionalisme sebatas perayaan simbolik tanpa refleksi sosial. Di balik seruan “Garuda di Dadaku”, ada mekanisme yang membuat rakyat merasa memiliki bangsa, tetapi tidak memiliki kuasa atas arah bangsa itu sendiri.

Simon Kuper, dalam Football Against the Enemy (1994), menegaskan: “Football is never just football. It is always connected with power, money, and identity.” Kalimat itu menjelaskan bagaimana sepak bola tak pernah berdiri netral, ia selalu menjadi cermin dari kekuasaan yang mengaturnya. Di Indonesia, permainan rakyat ini justru menjadi alat integrasi ideologis, tempat konflik sosial dan ketimpangan ekonomi disublimasi menjadi nasionalisme simbolik. Bola yang seharusnya menjadi bahasa solidaritas justru dijadikan alat untuk menutupi ketimpangan itu sendiri.

Politik Pelupaan dan Luka Kolektif

Kegagalan sepak bola Indonesia tidak semata disebabkan oleh kurangnya bakat atau dana, melainkan oleh logika kekuasaan yang mengatur tubuh, ruang, dan ingatan. Stadion bukan lagi ruang publik, melainkan arena kontrol. Kita mengingat tragedi Kanjuruhan, 135 nyawa melayang di bawah gas air mata, dan negara gagal bertanggung jawab. Namun seperti biasa, ingatan itu segera digantikan oleh pertandingan berikutnya. Liga kembali berjalan, dan kita kembali bersorak.

Inilah yang disebut politics of forgetting. Paul Connerton dalam How Societies Remember (1989) menulis bahwa kekuasaan mempertahankan dirinya bukan hanya melalui apa yang diingat, tetapi juga melalui apa yang dipaksa untuk dilupakan, “Societies remember and forget in patterned ways that sustain existing power structures.” Lupa bukan sekadar hilangnya ingatan, melainkan strategi ideologis –cara untuk meniadakan tanggung jawab dan mensterilkan sejarah dari potensi perlawanan. Dalam konteks sepak bola Indonesia, politics of forgetting bekerja dengan sempurna. Tragedi, korupsi, dan penyelewengan terus berulang karena ingatan kolektif rakyat selalu diputus oleh euforia pertandingan berikutnya. Setiap musim baru, setiap kemenangan kecil, menjadi “rekonsiliasi semu” antara rakyat dan sistem yang menindasnya.

Logika pelupaan ini tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari cara kekuasaan, mengatur bagaimana rakyat mengalami dan mengingat sepak bola. Seperti dicatat Galeano, permainan yang lahir dari kegembiraan rakyat itu di Amerika Latin telah direbut oleh struktur ekonomi yang menjadikannya komoditas. Pola itu kini bekerja pula di Indonesia, di mana sepak bola tak lagi digerakkan oleh semangat kolektif rakyat, melainkan oleh kepentingan elit. Sepak bola pun menjelma dari ruang perayaan rakyat menjadi instrumen kekuasaan yang diam-diam membentuk cara rakyat mencintai negaranya.

Kapitalisme Emosional dan Konsumsi Nasionalisme

Fenomena ini sejalan dengan konsep emotional capitalism, sebagaimana dikemukakan oleh Eva Illouz dalam Cold Intimacies: The Making of Emotional Capitalism (2007), yaitu sistem ekonomi dan budaya yang mengubah afeksi publik menjadi komoditas. Illouz menulis, “Emotional capitalism is a culture in which emotional and economic discourses and practices mutually shape each other, producing what might be called a new emotional style of capitalism.

Dalam konteks sepak bola, emotional capitalism bekerja dengan memonetisasi dukungan, gairah, dan kekecewaan. Setiap bentuk cinta terhadap timnas dikonversi menjadi penjualan tiket, merchandise, hak siar, dan bahkan legitimasi politik. Sepak bola menjadi bisnis yang menguntungkan justru karena ia mampu mengubah harapan rakyat menjadi nilai tukar. Lebih jauh, ia juga menjadi alat hegemoni ideologis; rasa bangga, kecewa, dan cinta terhadap Timnas diarahkan untuk menopang narasi bahwa negara ini “masih punya harapan”, meski struktur dasarnya tetap timpang.

Dalam bentuk inilah sepak bola berfungsi sebagai katarsis kolektif. Ia menunda kemarahan sosial terhadap ketimpangan ekonomi, korupsi, dan kekerasan negara. Kita boleh marah di stadion, tetapi tidak di jalan. Kita boleh menuntut pelatih diganti, tetapi tidak berani menuntut sistem diubah. Sepak bola bekerja sebagai mesin pengalih kesadaran, menyalurkan energi politik rakyat ke jalur yang paling aman bagi kekuasaan. Namun di balik fungsi ideologis itu, masih tersisa sesuatu yang tak bisa sepenuhnya dikendalikan –mimpi.

Bola, Rakyat, dan Rekonstruksi Mimpi

Seperti kata Galeano, bola selalu bermimpi untuk menjadi bebas dari kekuasaan yang mengurungnya dalam iklan, kompetisi, dan politik elite. Dalam konteks Indonesia, mimpi itu adalah alegori dari rakyat sendiri, mereka yang terus berharap, meski berkali-kali dikecewakan. Setiap kali Timnas bermain, jutaan orang kembali percaya, seolah lapangan hijau adalah satu-satunya tempat di mana munculnya sebuah harapan.

Namun sepak bola tidak akan pernah benar-benar bebas selama mereka yang menguasainya tunduk pada logika pasar dan patronase politik. Dan luka-luka kolektif yang tak pernah disembuhkan membuat mimpi Piala Dunia tetap hanyalah mimpi, bukan karena kita kalah di lapangan, tetapi karena dasar mimpi itu sendiri telah dirusak.

Maka mimpi itu harus disusun ulang. Dimulai dari lapangan di sudut kota yang tak diubah menjadi gedung tinggi. Dari stadion yang tak lagi menjadi kuburan bagi mereka yang hanya ingin menonton. Dari perempuan yang bisa hadir di tribun tanpa rasa takut. Dan dari anak-anak kecil yang menendang bola di gang sempit tanpa cemas rumahnya akan digusur. Hanya dari situ mimpi Piala Dunia bisa lahir kembali, bukan sebagai simbol semu, tetapi sebagai cermin dari kebebasan, keadilan, dan harapan yang nyata bagi rakyat.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//