Komunitas BOAS, Penyedia Ruang Aman untuk Didengar
Metode peer counseling yang dijalankan oleh BOAS bisa menjadi alternatif bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses terhadap pendampingan psikologi profesional.

Dini Laila Syifa Az Zahra
Peserta Kelas Liar
4 November 2025
BandungBergerak.id – BOAS Peduli Generasi, atau biasanya disebut BOAS, adalah sebuah komunitas yang menyediakan ruang aman untuk bercerita, mendapatkan konseling, saling mendukung, dan merajut relasi yang sehat. Nama “BOAS” sendiri merupakan singkatan dari Bantu Orang Aku Senang, mencerminkan semangat sederhana untuk menolong sesama dengan hati yang peduli. Komunitas ini lahir dari meningkatnya kebutuhan akan pendampingan psikologis, khususnya di kalangan anak muda yang kian rentan sejak masa pandemi.
Awalnya, BOAS ada sebagai bentuk dukungan untuk memenuhi kebutuhan Yayasan Rumah RUTH akan pendampingan psikologis bagi perempuan korban kekerasan seksual dan wanita dengan kehamilan tidak diinginkan (KTD). Namun, karena permintaan konseling semakin banyak, akhirnya berdirilah BOAS Peduli Generasi yang menargetkan generasi muda sebagai sasaran utama. Salah satu relawan, Lael, mengatakan bahwa mereka berharap dengan menyediakan ruang aman untuk didengar, mereka berharap agar semua orang tidak merasa sendiri dalam menghadapi masalah yang sedang mereka hadapi.
Sejak Mei 2025, saya mulai mengikuti acara yang diadakan BOAS karena merasa butuh tempat untuk bercerita dengan aman di mana saya bisa didengar tanpa takut dihakimi. Selain itu, saya juga memang ingin bertemu orang baru dan menjalin relasi baru yang sehat di luar kampus. Namun, semakin lama saya terlibat, saya menyadari bahwa BOAS bukan sekadar ruang untuk bercerita, melainkan komunitas yang benar-benar menghadirkan rasa aman, penerimaan, dan kepedulian.
Baca Juga: Komunitas Orang-orang Muda yang Bertani
Komunitas Kompilasi Unpad Menggunjingkan Transparan dalam Penggunaan AI
Bukan Bioskop, Tetapi Komunitas Layar Tancap
Akses Layanan Psikolog
Di tengah hiruk pikuk kehidupan kota yang serba cepat, akses ke layanan psikolog sering kali terbatas karena biaya yang relatif tinggi, terutama bagi mahasiswa yang memiliki keterbatasan finansial. Kondisi ini membuat banyak orang kesulitan untuk mendapatkan pendampingan profesional ketika menghadapi masalah sehari-hari. Dalam situasi seperti itu, metode peer counseling yang dijalankan oleh BOAS menjadi alternatif bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses terhadap pendampingan psikologi profesional. Melalui pendekatan ini, mahasiswa bisa saling mendukung, berbagi pengalaman, dan menemukan ruang aman untuk bercerita tanpa harus terbebani oleh biaya yang mahal. Kehadiran peer counseling bukan hanya menjadi solusi praktis, tetapi juga membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar memahami diri sendiri dan orang lain dengan lebih baik.
Setelah mengikuti acaranya secara rutin sebulan dua kali, saya merasa acara ini layak mendapatkan publikasi yang lebih baik lagi agar semakin banyak orang yang bisa datang dan ikut serta. Peserta dari kegiatan BOAS ini datang dari berbagai latar belakang. Namun, tidak ada sekat yang membatasi, tidak ada rasa “ini hanya untuk kelompok tertentu.” Justru yang saya temui adalah suasana yang hangat, ramah, dan penuh penerimaan.
Pendiri BOAS, Charles Wong, bahkan membagikan mimpinya agar gerakan ini bisa meluas ke seluruh Indonesia. Ia mengucapkan hal tersebut dalam Camp Healed to Heal, sebuah acara yang ingin mengingatkan bahwa sebelum bisa menolong orang lain, kita sendiri perlu lebih dulu dipulihkan. Camp yang dilaksanakan pada tanggal 19 hingga 20 september 2025 ini terdiri dari tiga rangkaian: Discovering Father’s Heart, Healed to Heal, dan The Unique You. Masing-masing dirancang untuk menyentuh sisi terdalam diri peserta, mulai dari mengenali luka lama, belajar menerima diri, hingga menemukan keunikan pribadi yang bisa menjadi kekuatan. Bagi saya, semua rangkaian ini terasa menyenangkan dan menenangkan, seolah saya benar-benar diberi ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa topeng apa pun.
Salah satu momen paling berkesan adalah sesi malam hari. Kami diminta duduk dalam kelompok kecil untuk saling bercerita tentang pergumulan masing-masing. Setiap kelompok didampingi satu fasilitator, yaitu relawan BOAS sendiri. Saya masih ingat betul bagaimana suasana malam itu: hangat, jujur, penuh empati, dan tanpa rasa takut untuk dihakimi. “Ruang aman” yang selama ini hanya saya dengar sebagai konsep, benar-benar nyata dalam pengalaman itu.
Program dan kegiatan yang dilakukan oleh BOAS ini didukung oleh berbagai instansi serta universitas, hal ini dibuktikan dengan melakukan kerja sama MBKM dan menerima mahasiswa magang, pembukaan volunteer dan lain-lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa BOAS tidak hanya dipandang sebagai wadah sosial dan spiritual, tetapi juga diakui sebagai bagian dari proses pembelajaran akademik sekaligus pengembangan kapasitas generasi muda.
Ruang Pulih
Mengikuti camp ini membuat saya semakin yakin dengan apa yang dulu saya tulis di miniriset: BOAS adalah contoh bagaimana kasih bisa hadir dalam ruang publik, bukan hanya dalam bentuk pelayanan gerakan keagamaan, tapi sebagai kekuatan sosial yang nyata. Di sana, saya menemukan bahwa pulih dan memulihkan adalah perjalanan yang bisa ditempuh bersama, dalam sebuah komunitas yang benar-benar peduli.
Dalam wawancara pada 29 Oktober 2025, Lael Neisha, salah satu relawan BOAS, menjelaskan bahwa program konseling gratis yang diadakan sepanjang bulan Oktober merupakan bentuk partisipasi komunitas dalam memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia. Ia menuturkan bahwa inisiatif ini muncul dari keprihatinan terhadap kesenjangan besar antara banyaknya masyarakat yang membutuhkan bantuan psikologis dan terbatasnya jumlah tenaga konselor profesional. “Jumlah orang yang membutuhkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga yang tersedia,” ungkapnya.
Kegiatan ini diawali dengan layanan konseling gratis selama bulan Oktober, yang kemudian dilanjutkan dengan program konseling berbayar berbiaya terjangkau. “Kalau di pasaran biasanya tarif konseling mencapai sekitar Rp350.000, di BOAS hanya dikenakan Rp100.000,” tambah Lael.
Dalam pelaksanaannya, BOAS melibatkan para relawan sebagai konselor. Dari total sepuluh konselor, satu merupakan psikolog, satu psikiater, tiga telah memiliki sertifikasi dari negara, dan sisanya merupakan relawan yang telah mengikuti pelatihan konseling internal BOAS. Hingga akhir Oktober, tercatat ada sepuluh klien yang mengikuti sesi konseling dengan rentang usia antara 17 hingga 28 tahun. Program ini sendiri masih terus membuka pendaftaran sepanjang bulan Oktober 2025.
Menutup wawancara, Lael menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat membantu semakin banyak orang untuk lebih memahami dan merasakan emosinya. “Kami ingin setiap orang bisa belajar mengenali dan menerima perasaannya sendiri, karena dari sanalah proses pemulihan sejati dimulai,” ujarnya penuh harap.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

                                