Ancaman Kepunahan Lokal Jenis-jenis Burung Urban
Kawasan Bandung dan sekitarnya merupakan tempat tinggal lebih dari 50 jenis burung penetap. Ada kecenderungan keanekaragaman jenis-jenis burung telah merosot.

Johan Iskandar
Dosen, peneliti lingkungan, serta pegiat Birdwatching di Universitas Padjadjaran (Unpad). Penulis bukuKisah Birdwatching, ITB Press (2025)
6 November 2025
BandungBergerak.id – Ditilik dari sejarah lingkungan, sejatinya di masa lalu kawasan urban dan pinggiran (pasisian) Bandung memiliki aneka ragam jenis burung cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan kawasan Kota Bandung dan sekitarnya memiliki aneka ragam habitat burung, berupa ruang terbuka hijau seperti pekarangan, taman, hutan kota, vegetasi pinggiran sungai, kebun bambu, kebun campuran, empang, sawah, dan sawah rawa-rawa yang dapat mendukung bagi kehidupan beragam jenis burung di alam.
Jenis-jenis burung yang ada di kawasan urban dan pasisian Kota Bandung bukan saja golongan burung-burung penetap, tetapi juga beragam jenis burung migrasi yang biasa datang ketika musim dingin (winter) di negara tempat asalnya. Mereka datang ke kawasan Kota Bandung dan sekitarnya bertepatan dengan musim hujan. Misalnya, dikala musim hujan, biasanya rombongan burung layang-layang Asia (Hirundo rustica) kerap teramati terbang bergerombol di berbagai kawasan Bandung. Pada sore hari mereka berkelompok mencari pemondokan yang aman, seperti dulu biasa ditemukan bertengger bermalam bersama-sama di pepohonan mahoni kawasan Pabrik Coklat Ceres ataupun di pepohonan ki sabun di sekitar jembatan layang Mohamad Toha, Tol Cileunyi. Kelompokan burung tersebut juga kerap dapat diamati berdempet-dempetan agar badannya hangat di kabel-kabel listrik menjelang malam hari di Pasar Ciranjang, Cisokan. Burung layang Asia merupakan burung migrasi, biasa berbiak di belahan bumi utara di musim panas. Tetapi, ketika musim dingin, burung tersebut biasa migrasi ke belahan bumi selatan, ke berbagai kawasan Asia, Asia Tenggara, dan Indonesia, termasuk kawasan Bandung Raya. Mereka biasa kembali ke tempat asalnya dan berbiak di tempat asalnya di awal musim semi atau akhir musim hujan.
Kawasan lahan basah, seperti sawah dan rawa-rawa di Gedebage, Majalaya, dan Ciwidey, merupakan habitat penting tempat singgah berbagai jenis burung migrasi lahan basah, seperti tilil, ayam-ayaman, blekek, tikusan, entod leuncang dan lainnya. Sementara jenis-jenis burung migrasi daratnya, tercatat pula, di antaranya bentet loreng, elang alap nikon, alap-alap kawah, elang alap cina, dan sikep madu Asia. Jenis-jenis burung tersebut biasa dapat diamati di musim migrasi, musim hujan. Berdasarkan dokumentasi, tidak kurang dari 25 jenis burung migrasi yang pernah tercatat di kawasan urban Kota Bandung dan sekitarnya (Iskandar dan Iskandar, 2022).
Tidak hanya burung migrasi yang singgah musiman, kawasan urban Bandung dan sekitarnya merupakan tempat tinggal lebih dari 50 jenis burung penetap. Aneka ragam jenis burung memiliki berbagai fungsi penting di ekosistem urban. Jenis-jenis burung, selain umum dipelihara orang di sangkar-sangkar atau kandang dijadikan anggota keluarga, untuk dinikmati suaranya yang merdu, bulunya yang indah, dan tingkah lakunya menarik. Sesungguhnya aneka ragam jenis burung di alam memiliki fungsi ekologi penting, seperti membantu penyerbukan tanaman/tumbuhan, menyebarkan biji-bijian tumbuhan, membantu mengendalikan hama pertanian, indikator perubahan musim, indikator kualitas perairan dari pencemaran racun, bahan pendidikan dan penelitian, sebagai penambah keindahan dan kualitas lingkungan urban, juga penting guna obyek rekreasi di alam yang menyehatkan, berupa hobi mengamati burung di alam (birdwatching).
Baca Juga: Macan Tutul versus Manusia
Sistem Pekarangan dan Mitigasi Perubahan Iklim
Menurunnya Keanekaragaman Pangan Tradisional
Kepunahan Lokal
Meskipun di masa lalu, kawasan urban dan pasisian Kota Bandung memiliki aneka ragam jenis burung cukup tinggi. Tetapi, dewasa ini ada kecenderungan bahwa keanekaan jenis-jenis burung tersebut telah merosot. Dilik dari sejarah ekologi, misalnya burung gagak (Corvus enca), burung hitam pemakan segala jenis (ominivora) ini, di masa lalu pernah tercatat populasinya cukup banyak di Kota Bandung. Burung tersebut biasanya hidup secara soliter, berpasangan, ataupun berkelompok kecil biasa hinggap di atap-atap rumah penduduk warga Kota Bandung. Burung gagak bahkan sering iseng suka mencuri daging dendeng yang dijemur di atap rumah penduduk. Konsekuensinya, burung gagak kurang disenangi oleh warga kota, terutama oleh penduduk yang biasa menjemur daging dendeng di atap rumah (Haryoto Kunto, 1986). Pada saat ini, burung gagak sudah sulit ditemukan di kawasan urban, bahkan mungkin tidak bakal dapat diamati lagi. Pasalnya, burung tersebut telah punah secara lokal di kawasan urban Bandung.
Jenis burung lainnya, burung gelatik (Padda oryzivora), burung yang memiliki tubuh berukuran kecil, dengan warna bulu indah menawan warna abu-abu, pada bagian kepala hitam dengan pipi putih dan paruh merah, yang merupakan burung endemik di Pulau Jawa, Kangean, dan Bali, di masa lalu pernah tercatat di habitat sawah kawasan Sabuga Kota Bandung. Tetapi, dewasa ini pengaruh dari maraknya perburuan burung gelatik untuk diperdagangkan di pasar-pasar burung dan untuk di ekspor ke luar negeri, burung kecil mungil ini tidak ditemukan lagi dan punah di alam Kota Bandung. Kecuali kini burung gelatik tersebut masih umum ditemukan di pasar burung jadi bahan perdagangan. Padahal, menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) burung ini termasuk kategori terancam kehidupannya di alam, dan tidak bebas untuk diperdagangkan di ekspor ke mancanegara tanpa izin pemerintah.
Jenis burung lainnya, burung bincarung atau kepodang (Orioulus chinensis), burung indah warna umum bulunya kuning, dengan warna strip hitam melewati tengkuk dan mata, serta paruh merah jambu, pada era tahun 1980-an masih bisa diamati hinggap di pepohonan tinggi kawasan Kampus Fsip Dago Unpad. Tetapi, kini burung tersebut sudah sulit dapat diamati di taman-taman Kota Bandung karena burung tersebut sudah langka atau punah secara lokal di kawasan urban Bandung. Karena burung ini banyak diburu dan diperdagangkan di pasar burung.
Tidak hanya itu, di kawasan kota Bandung pada masa lalu, burung pacikrak atau ciblek (Pinia familiaris) juga masih sangat umum di temukan di pagar-pagar pekarangan taman Kota Bandung. Selain itu, jenis burung tersebut juga biasa ditemukan di semak-semak belukar kawasan pasisian Kota Bandung bagian utara. Kekhasan tingkah laku burung tersebut, seperti biasa hidup berpasangan dan kicauannya sangat keras dan ramai, menandakan kehadirannya di ekosistem urban. Dewasa ini, jenis burung ciblek jarang atau bahkan tidak pernah lagi terlihat atau terdengar suaranya yang khas meriah. Hal tersebut dikarenakan jenis burung tersebut telah langka atau telah punah secara lokal di kawasan urban Bandung dan sekitarnya. Faktor penyebab kelangkaan atau kepunahannya, di antaranya karena jenis burung tersebut marak diburu secara liar karena laku diperjual belikan di pasar burung dengan harga cukup mahal. Harga jual burung ciblek terdongkrak naik, di antaranya karena jenis burung tersebut banyak dipelihara dan dijadikan sebagai pengisi suara guna pengisi jenis-jenis burung kicau untuk kontes burung kicau. Padahal di masa lalu, jenis burung tersebut cukup banyak populasinya, karena jarang diburu, dipelihara, dan diperdagangkan di pasar-pasar burung.
Sama halnya dengan kasus di kawasan urban, keanekaragaman jenis burung di kawasan pasisian Kota Bandung juga cenderung merosot. Pada tahun 1980-an, misalnya, ketika gedung-gedung di kampus Unpad Jatinangor baru saja usai dibangun. Penulis masih bisa menyaksikan dengan mudah aneka ragam burung yang biasa hidup di lahan terbuka rerumputan dan semak-semak belukar. Burung-burung puyuh tegalan (Turnix suscitator), contohnya, pada masa itu masih cukup banyak ditemukan. Burung tersebut biasa mencari pakan di rerumputan dan di semak belukar, serta biasa bersarang di permukaan tanah. Burung-burung puyuh tegalan biasa terbang pindah-pindah tempat di kawasan terbuka kampus karena terganggu oleh orang yang melintas. Jenis burung lainnya, burung decu (Saxcicola caprata) masih sering terlihat hinggap di patok-patok kayu atau bambu di lahan terbuka. Bahkan, pada masa lalu ada pasangan burung decu bersarang di permukaan tanah di kawasan tegalan terbuka kawasan kampus. Pada saat itu, masa berbiak burung tersebut, mulai membuat bersarang, bertelur, mengeram, hingga menetas, dan anak keluar dari sarangnya telah dijadikan obyek penelitian dan bahan tugas akhir atau skripsi oleh seorang mahasiswa biologi. Tidak hanya itu, di kawasan tegalan dan semak-semak belukar sekitar gedung-gedung kampus, biasa pula marak terdengar suara-suara khas, jenis-jenis burung bubut besar (Centropus sinensis) dan bubut alang-alang (Centropus bengalensis). Jenis-jenis burung tersebut memang gemar hidupnya di habitat semak-semak belukar.
Dewasa ini, berbeda dengan kondisi di masa lalu, puyuh tegalan, decu, bubut besar, dan bubut alang-alang, telah jarang terlihat atau terdengar suaranya, karena diduga jenis-jenis burung tersebut telah punah secara lokal di kawasan kampus Jatinangor. Salah satu penyebabnya adalah akibat rusak atau hilangnya habitat mereka, karena lahan terbuka dan semak-semak belukarnya telah dialihfungsikan menjadi lahan terbangun.
Dilik dari berbagai kasus punahnya jenis-jenis burung di kawasan urban Bandung dan sekitarnya, penyebabnya bukan karena bencana alam, seperti erupsi gunung api, dan sebagainya. Tetapi utamanya karena ulah manusia yang tidak bijaksana terhadap lingkungan dan aneka ragam jenis burung. Oleh karena itu, selama perilaku manusia tidak berubah memperlakukan lingkungan atau ekosistem, maka keberlanjutan kehidupan jenis-jenis burung di ekosistem sulit untuk dipertahankan. Padahal, hilangnya aneka ragam jenis burung alam atau ekosistem dapat merugikan bagi manusia. Mengingat hilangnya suatu jenis burung dapat menyebabkan hilangnya pula pengetahuan dan praktik budaya penduduk yang berhubungan dengan burung dan linguistiknya, seperti nama lokal burung. Karena berdasarkan teori biocultural system terdapat hubungan yang sangat erat antara praktik budaya, lingustik, dan aneka ragam hayati. Dengan kata lain, bahwa punahnya suatu jenis (diversitas) burung sangat berpengaruh pada praktik budaya, serta linguistik dan pengetahuan lokal masyarakat tentang aneka ragam burung.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

