• Kolom
  • CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #19: Membaca Jakarta Lewat Pos Kota

CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #19: Membaca Jakarta Lewat Pos Kota

Lebih dari setengah abad setelah pertama kali terbit, Pos Kota masih menjadi saksi hidup perjalanan Jakarta. Menulis dengan bahasa yang dekat dengan pembacanya.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Halaman muka surat kabar Pos Kota yang menonjolkan berita-berita kriminal. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

8 November 2025


BandungBergerak.id – Pada masa ketika surat kabar masih menjadi jendela utama dunia, lahirlah sebuah koran yang tidak menulis dari balik gedung tinggi atau ruang redaksi berpendingin udara. Ia lahir dari jalan-jalan becek, dari pasar yang riuh, dari terminal yang tak pernah tidur. Ia tidak berbicara dengan bahasa kaum terpelajar, melainkan dengan suara rakyat kecil yang hidup di jantung kota. Namanya Pos Kota, koran rakyat yang tumbuh dari denyut Jakarta dan menjadi legenda di antara pembacanya.

Di tengah gegap gempita pers nasional era Orde Baru, Pos Kota tampil berbeda. Ia tidak berpretensi intelektual, tidak juga menjadi corong kekuasaan. Ia memilih jalan yang lebih sederhana yaitu jalan rakyat. Jalan yang berdebu, berisik, tapi jujur.

Pendiri Pos Kota adalah Harmoko, sosok yang kelak dikenal luas sebagai Menteri Penerangan di masa Orde Baru. Tapi sebelum menjadi pejabat, ia adalah wartawan yang gemar turun ke jalan. Bersama empat rekannya yaitu Is Anwar Datuk Rajo Perak, Jahja Surjawinata, Tahar S. Abiyasa, dan Pansa Tampubolon, mereka mendirikan PT Media Antarkota Jaya, perusahaan yang kelak melahirkan Pos Kota.

Sebelum menulis berita, Harmoko melakukan survei sederhana tapi tajam. Ia menyusuri Tanjung Priok, Jatinegara, Tanah Abang, dan Senen. Ia berbincang dengan sopir angkot, pedagang kaki lima, tukang ojek, dan warga biasa. Dari obrolan di warung kopi itulah lahir gagasan besar yaitu membuat koran yang tidak menggurui rakyat, tapi menceritakan kehidupan mereka sendiri.

Dan pada 15 April 1970, Pos Kota resmi terbit untuk pertama kalinya dengan semboyan "Berita rakyat untuk rakyat".

Edisi perdana Pos Kota hanya dicetak 3.500 eksemplar. Tapi sambutannya luar biasa. Dalam hitungan bulan, oplahnya melesat menjadi 30.000–60.000 eksemplar per bulan.

Gaya visualnya mudah dikenali berupa huruf besar-besar, judul mencolok, tata letak ramai, dan foto-foto yang berani. Bagi pembaca yang sering mangkal di terminal dan pasar, Pos Kota adalah bacaan yang mudah dicerna, langsung ke pokok perkara, tanpa basa-basi.

Memasuki awal 2000-an, koran ini mencapai masa keemasan. Menurut survei Nielsen Media Research yang dikutip dari Majalah Cakram (Mei–Juni 2005), tiras Pos Kota menembus 600.000 eksemplar per hari, dengan pembaca mencapai 2,5 juta orang. Angka yang fantastis, bahkan sempat melampaui Koran Kompas dalam jumlah pembaca harian.

Tampilan surat kabar Pos Kota pada era 1990-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Tampilan surat kabar Pos Kota pada era 1990-an. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Melihat Jakarta dari Pinggiran

Bagi banyak orang, membaca Pos Kota di pagi hari seperti membuka cermin kota berita kriminal, gosip, olahraga, kisah lucu dan getir, semuanya tersaji dalam satu napas. Daya tarik Pos Kota ada ada rubrik-rubrik khasnya.

Lembaran Bergambar (Lembergar), misalnya, adalah tempat lahirnya trio komik legendaris: Doyok, Otoy, dan Ali Oncom. Doyok dikenal sebagai pria asal Yogyakarta yang kritis dan nyinyir. Ada sosok Otoy, sahabat konyol yang setia. Dan Ali Oncom, sosok polos yang sering jadi korban keadaan.

Ketiganya bukan sekadar tokoh lucu, tapi potret rakyat urban yang nyindir, tertawa, dan bertahan hidup di tengah kerasnya kota.

Ada juga rubrik “Nah Ini Dia!”, yang penuh satire dan nakal, menyorot kehidupan sosial dengan gaya khas rakyat Jakarta.

Selain itu, rubrik-rubrik seperti Megapolitan, Daerah, Nasional, Luar Negeri, Ekonomi, Olahraga, Kriminal, Lifestyle, dan Hiburan membuat Pos Kota tak hanya lucu dan ringan, tapi juga lengkap dan informatif.

Rubrik Lembaran Bergambar Pos Kota yang memuat kartun, karikatur, serta kisah lucu tokoh Doyok, Otoy, dan Ali Oncom. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Rubrik Lembaran Bergambar Pos Kota yang memuat kartun, karikatur, serta kisah lucu tokoh Doyok, Otoy, dan Ali Oncom. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Seiring waktu, Pos Kota menyesuaikan diri dengan era digital. Kini, koran ini bisa diakses lewat layar ponsel dan media sosial. Cakupan beritanya meluas mencakup politik, bisnis, hingga hiburan. Tapi satu hal tak berubah yaitu jiwa kerakyatannya.

Pos Kota tetap menulis dan menyoroti Jakarta dari pinggiran. Tetap bicara dengan bahasa yang dekat dengan pembacanya.

Bagi pembaca lama, Pos Kota bukan hanya surat kabar, tapi teman hidup. Halaman depannya adalah etalase kehidupan urban, tempat di mana tawa, tangis, dan tragedi bercampur dalam satu ruang.

Lebih dari setengah abad setelah pertama kali terbit, Pos Kota masih menjadi saksi hidup perjalanan rakyat Jakarta, dari masa becak dan terminal, hingga era ojek online dan media sosial.

Dalam setiap judul besarnya, dalam setiap humor di Lembergar-nya, kita membaca bukan sekadar berita, tapi jiwa kota yang tak pernah berhenti bergerak. Dan di sanalah, Pos Kota masih berdiri, koran rakyat sejati dari Jakarta.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//