• Narasi
  • Geowisata ke Fomasi Lidah di Bojonegoro

Geowisata ke Fomasi Lidah di Bojonegoro

Jawa Timur Jawa Timur kaya akan potensi geowisata yang belum tersingkap. Sebut saja Formasi Lidah, Jalur Cilili, dan Jalur Drenges.

Johan Arif

Peneliti Geoarkeologi & Lingkungan di ITB, Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Tiga satuan tektono-fisiografi di wilayah Jawa Tengah & Jawa Timur. (Sumber: van Bemmelen, 1949)

9 November 2025


BandungBergerakGeowisata (geotourism) mulai dikenalkan pada tahun 1990-an oleh Tom Hose, seorang geolog dari Inggris. Tetapi wisata yang berkaitan dengan bumi sebenarnya sudah ada sejak abad ke-18, karena aktivitas seorang ahli geologi yang berada di luar ruangan sering menemukan hal-hal atau pemandangan yang menarik untuk diteliti seperti bentang alam dan batuan (lihat: Adz Dzaariyat 51:20). Dengan demikian, geowisata bisa dikatagorikan sebagai wisata pendidikan geologi. Tujuannya adalah agar manusia memahami bagaimana bumi terbentuk dan berevolusi sebagai wujud untuk mengerti tanda-tanda keesaan Sang Pencipta bumi ini (lihat: Al Baqarah 2:164).

Tulisan ini berkaitan dengan aktivitas geowisata ke salah satu formasi batuan sedimen yaitu Formasi Lidah di Bojonegoro Jawa Timur.

Formasi Lidah

Formasi merupakan unit dasar stratigrafi, yang mempelajari urutan perlapisan batuan sedimen. Formasi Lidah merupakan (perlapisan) batuan sedimen yang tersebar di zona Rembang dan Randublatung. Zona Rembang dan zona Randublatung adalah satuan tektono-fisiografi yang dicetuskan oleh van Bemmelen tahun 1959.

Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur ada tiga satuan tektono-fisiografi yang berupa jalur-jalur pegunungan dan dataran rendah yang memanjang dalam arah barat-timur, yaitu Zona Rembang, Zona Randublatung, dan Zona Kendeng. Formasi Lidah di wilayah Bojonegoro terdapat di Zona Randublatung.

Ada banyak fenomena alam yang menarik yang dapat kita lihat di dalam Formasi Lidah ini. Formasi Lidah diendapkan di laut yang agak terlindung dengan kedalaman sekitar 200-300 meter dan berangsur menjadi dangkal ke arah atas yaitu sekitar 20-50 meter. Jadi, dari aspek lingkungan terbentuknya batuan sedimen ini, Formasi Lidah ini kaya akan fenomena-fenomena kehidupan bawah laut di paparan benua (continental shelf). Ini semua merupakan aset untuk dijadikan "geowisata".

Orang bisa pergi ke luar angkasa untuk mencari tahu bagaimana kehidupan di bulan, planet Mars, dsb. Tetapi masih banyak yang belum kita ketahui bagaimana fenomena di dasar laut di bumi kita sendiri.

Berdasarkan kedalamannya, dasar laut bisa dibagi menjadi lima zona yaitu zona litoral, zona paparan benua (continental shelf), zona lereng benua (continental slope), zona lereng benua yang lebar dan landai (continental rise), dan zona abyssal (zona yang sangat dalam dengan kedalaman lebih dari 3500 meter).

Zona litoral dengan kedalaman antara 5-20 meter adalah wilayah pertemuan antara laut dan benua; ditandai oleh banyaknya arus pantai yang sering berubah posisi. Di zona ini cahaya dapat menembus ke dasar sehingga memungkinkan tumbuhnya beragam macam tumbuhan.

Berdasarkan kedalamannya juga, wilayah laut dibagi dua yaitu zona Neritik dan zona Pelagik. Zona Neriktik adalah wilayah perairan dangkal yang terletak dekat dengan pantai. Kedalaman dari zona ini berkisar antara 50 hingga 200 meter, sedangkan zona Pelagik – yang dikenal juga sebagai lautan terbuka – adalah wilayah lautan di luar wilayah pesisir. Zona Neritik umumnya kaya akan oksigen, menerima banyak sinar matahari, suhunya relatif stabil, memiliki tekanan air rendah, dan tingkat salinitas stabil, sehingga sangat cocok untuk proses fotosintesa, sedangkan zona Pelagik miskin akan nutrisi.Morfologi dasar laut bisa di bagi berdasarkan kedalamannya. (Sumber: Dokumen Penulis)

Morfologi dasar laut bisa di bagi berdasarkan kedalamannya. (Sumber: Dokumen Penulis)

Baca Juga: Lahirnya Kota-kota Tua di Asia Barat
Memahami Gempa Bumi sebagai Bencana Alam Geologi

Jalur Cilili

Lokasi ini terletak di sungai Gandong, wilayah Desa Ngrejeng/Mojodelik Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro. Di lokasi ini kita bisa mengamati fenomena hutan bakau (mangrove) purba.

Hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai spesies ikan dan kerang. Hutan rawa ini tumbuh di zona intertidal (kedalaman antara 0-5m) hingga zona litoral di daerah tropis dan subtropis. Zona intertidal – disebut juga sebagai zona transisi atau zona pasang surut – mempunyai empa sifat yaitu salinitas tinggi yang ditandai dengan banyaknya mineral gypsum, suplay air yang tidak menerus ada, sering terkena badai, dan terpengaruh oleh sinar matahari sehingga suhunya bisa sangat ekstrem dari sangat panas hingga mendekati titik beku di iklim yang sangat dingin. Keempat faktor inilah yang menjadikan zona intertidal sebagai lingkungan ekstrem untuk hidup.

Hutan mangrove termasuk langka. Luasnya secara global – di mana sekitar setengahnya berada di Asia Tenggara – hanya mewakili kurang dari 1 persen dari hutan hujan tropis di seluruh dunia. Pun luasnya hanya kurang dari 0.4 persen dari total hutan global. Mangrove diakui sebagai salah satu dari tiga habitat utama "karbon biru" dan merupakan salah satu hutan paling kaya karbon di daerah tropis. Karbon biru adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada konsep pengurangan emisi CO2.

Fosil tulang ikan. (Sumber: Dokumen Penulis)
Fosil tulang ikan. (Sumber: Dokumen Penulis)

Keterangan gambar: Fosil tulang ikan (?), fosil thalassina (mud lobster) & kepiting. Thalassina anomala dijumpai sekarang diperairan Indo-Pacifik yang hidup di hutan bakau. Jadi dengan ditemukannya Thalassina anomala di Sungai Kalitidu Kecamatan Kalitidu maka kawasan disekitar Kalitidu tersebut berupa rawa-rawa dengan hutan bakaunya.

Jalur Drenges

Lokasi ini terletak di sebelah tenggara Bojonegoro, di sepanjang kali Sumbang. Hal yang menarik di sini salah satunya adalah fenomena geologi berupa terdapatnya kongkresi atau nodul yaitu batuan yang berbentuk bulat. Pembentukan kongkresi atau nodul ini masih menjadi pertanyaan di kalangan ahli. Walaupun demikian, beberapa hipotesa sudah diajukan.

Kenampakan batuan sedimen diurutkan berdasarkan asal-usulnya yaitu (1) kenampakan yang terbentuk saat sedimen terakumulasi; (2) kenampakan yang terbentuk setelah sedimen diendapkan hingga menjadi batuan (disebut juga proses diagenesa); (3) kenampakan yang berkembang kapan saja setelah teakumulasi dan diagenesa; dan (4) kenampakan yang terbentuk saat batuan tersingkap di permukaan.

Asal kongkresi dari batu pasir. (Sumber: Dokumen Penulis)
Asal kongkresi dari batu pasir. (Sumber: Dokumen Penulis)

Keterangan gambar kongkresi dari batupasir:
A. Kalsium & karbonat terlarut dalam air pori dari endapan pasir yang tidak terkonsolidasi membentuk massa CaCO3 yang menyatukan butiran pasir menjadi konkresi (warna biru).
B. Bentuk area tersemen bola yang mengembang karena lebih banyak endapan CaCO3 di ruang antara butiran pasir.
C. Berat sedimen di atasnya memadatkan pasir menjadi batuan (sandstone) karena butiran pasir saling mengunci (warna kuning).

Proses diagenesa berjalan sangat lama mungkin ribuan atau jutaan tahun. Awalnya air di antara butiran sedimen memiliki komposisi air laut, namun dengan cepat mulai berubah. Bahan tanaman di dalam sedimen mulai membusuk dan air menjadi lebih asam. CaCO3 dan bahan dari sebagian besar kerang laut, bereaksi dengan air asam dengan melarutkan, melepaskan ion kalsium dan karbonat ke dalam air di antara butiran pasir. Dekomposisi bahan organik juga mengurangi oksigen terlarut dalam air yang terperangkap di antara butiran sedimen di dasar laut. Akibatnya, besi dalam butiran mineral menjadi lebih mudah larut dan menambah komponen lain pada air yang terperangkap dalam sedimen.

Dari Formasi Lidah, Jalur Cilili, dan Jalur Drenges di Bojonegoro, Jawa Timur semua menunjukkan bahwa negeri ini memiliki kekayaan melimpah geowisata.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel Johan Arif, atau tulisan-tulisan lain tentang Situs Geologi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//