Lahirnya Kota-kota Tua di Asia Barat
Iklim yang lebih hangat dan lembap terbentuk dengan surutnya gletser terakhir 12 ribu tahun lalu mendorong perubahan radikal perkembangan sosial dan ekonomi manusia.

Johan Arif
Peneliti Geoarkeologi & Lingkungan di ITB, Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.
29 September 2025
BandungBergerak.id – Kota adalah tempat yang dihuni manusia karena memiliki sesuatu untuk ditawarkan. Daya tariknya sering kali bersifat ekonomi, dengan sumber penghidupan yang berbasis pada sumber daya alam atau lokasi geografis yang menguntungkan untuk perdagangan atau faktor ekologi yang mendorong kemakmuran pertanian. Daya tariknya juga bisa bersifat militer atau ideologis.
Faktor-faktor ekonomi, ideologis dan yang lainnya ini dapat berubah atau menghilang seiring waktu. Sebuah pelabuhan mungkin terisi lumpur, sehingga daerah tersebut menjadi sumber penyakit malaria, sehingga mematikan perdagangan dan pertanian.
Dengan demikian, kota dicirikan oleh fungsi-fungsi yang dijalankannya. Fungsi-fungsi tersebut dapat mencakup peran seremonial atau ritual, yang di dalamnya kota dapat dipahami sebagai pusat alam semesta atau berfungsi sebagai pusat administrasi, pusat komersial, atau kombinasi dari semuanya. Apa pun fungsinya, fungsi-fungsi tersebut mencerminkan peran dominan kota dalam suatu masyarakat. Bahkan, menurut Mumford (1938), kota adalah "titik konsentrasi bagi kekuatan dan budaya suatu komunitas".
Dalam Al-Qur’an, kota diungkapkan sebagai qoryatin dan al quraa (lihat surat Al Hajj 22:45 & Al Qashash 28:59). Qoryah –dalam Al Hajj 22:45– adalah bentuk tunggal sedangkan quro bentuk jamak, yang artinya suatu tempat yang ramai dan penduduknya sudah mempunyai budaya yang cukup tinggi atau mereka sudah mempunyai peradaban. Peradaban dalam arti yang sederhana adalah keadaan masyarakat manusia yang maju, dimana telah mencapai tingkat budaya, ilmu pengetahuan, industri dan pemerintahan yang tinggi.
Gambaran yang diungkapkan dalam surat Al Hajj 22:45 ini, secara garis besarnya cocok dengan definisi yang buat oleh Childe tahun 1950. Menurut Childe ada sepuluh hal yang dianggap sebagai definisi/ciri dari suatu kota yang paling awal/tua. Kesepuluh ciri tersebut adalah (i) jumlah penduduknya banyak; (ii) masyarakatnya beragam dan sudah mempunyai stratifikasi sosial, misalnya adanya golongan orang kaya, golongan orang miskin, ada pejabat dan rakyat jelata; (iii) mata-pencahariannya juga beragam, tetapi pada umumnya bertani dan sudah berkembang golongan ahli (undagi) dan lain-lain; (iv) hasil usaha kegiatan dari masyarakat ditarik pajaknya oleh raja, pendeta atau pejabat yang berwenang; (v) ada data/catatan yang tertulis, misalnya prasasti, yang memberitakan aktivitas ekonomi, mitos, kehebatan raja dan lain-lain; (vi) adanya ahli ramal, misalnya ahli ramal cuaca yang biasanya berkaitan dengan masalah pertanian; (vii) terdapat bangunan-bangunan monumental seperti candi, piramid, tempat peribadatan dan lain-lain; (viii) adanya patung para tokoh masyarakat; (ix) sudah terbentuk perdagangan luar negeri, dan (x) adanya kluster-kluster dalam masyarakat, misalnya para undagi bertempat tinggal di suatu kawasan tertentu dan demikian pula para pendeta, pemuka masyarakat, petani dan seterusnya.
Kisah dalam Al-Qur’an, menceritakan adanya korelasi antara kemakmuran di suatu kota dengan munculnya budaya penyembahan berhala –bisa benda mati misalnya patung atau benda hidup, karena cara pandang manusia yang bersifat materialism –bertumpu kepada hawa nafsu– dan tidak percaya kepada hari akhirat (lihat Al Jaatsiyah 45: 23&24, 32). Artinya, makin makmur suatu kota, maka masyarakatnya makin banyak berpaham materialism dan tidak percaya kepada kehidupan setelah mati. Tetapi, walaupun mereka tidak percaya kepada hari akhirat, dalam kehidupan sehari-harinya terutama yang berhubungan dengan keberuntungan (ekonomi dan lain-lain) mereka masih memerlukan perantara yaitu berhala yang dianggap sebagai Tuhan. Budaya ini dinamakan paganism (lihat Yaasin 36:74, Al Ahqaaf 46:28)
Jika kita melihat ke belakang ke masyarakat yang hidup Sebelum Masehi (SM), masyarakat suatu kota yang menganut budaya atau paham paganism kehidupannya tidak kekal. Artinya, kota dan masyarakatnya sejalan dengan waktu lambat laun akan lenyap, dengan cara dihancurkan Allah SWT. Tetapi, sebelum dihancurkan, Allah SWT menurunkan utusan-utusannya yaitu para nabi, untuk memperingati bahwa budaya dan paham tersebut adalah salah/sesat (lihat Al Qashash 28:59, Al Anaam 6:56)
Kapan munculnya kota itu? Berdasarkan surat Al Israa 17:17, munculnya suatu kota adalah setelah zamannya Nabi Nuh AS. Nabi Nuh AS hidup di kawasan Asia Barat dan cikal bakal kota di kawasan ini dimulai sejak zaman pra-tembikar (pre pottery) Neolitik sekitar 9.5–8.5 ribu tahun lalu yaitu di daerah Fertile Crescent dan Anatolia.

Baca Juga: Sangiran, Salah Satu Situs Tujuan Pariwisata Kebumian
Evolusi Warna Kulit Manusia
Memahami Gempa Bumi sebagai Bencana Alam Geologi
Kota-kota Tua
Jika kita mengacu pada definisi sepuluh ciri yang dikemukakan oleh Childe (1950) tentang kota, maka kota-kota tua itu ada di Asia Barat.
Kota-kota ini tidak muncul begitu saja, melainkan berkembang dari pengalaman kota-kota dan desa-desa yang dibangun di lokasi-lokasi yang secara ekologis menguntungkan di seluruh Asia Barat selama 5 ribu tahun sebelumnya. Dengan surutnya gletser terakhir sekitar 12 ribu tahun lalu, iklim yang lebih hangat dan lembap terbentuk, yang terbukti menguntungkan bagi perubahan radikal dalam perkembangan sosial dan ekonomi manusia. Zaman ini, yang dikenal sebagai periode Neolitikum, di mana manusia khususnya perempuan pertama kali mengorganisir diri dalam permukiman yang tidak berpindah-pindah dan mengendalikan reproduksi dan eksploitasi tumbuhan dan hewan.
Banyak dari sepuluh karakteristik kota yang dikemukakan Childe (1950) muncul di kota-kota dan desa-desa pada periode yang panjang di Asia Barat, seperti Jericho (di Palestina), Çayönü & Çatalhöyük (keduanya di Turki) dan Göbekli Tepe (juga di Turki).
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel Johan Arif, atau tulisan-tulisan lain tentang Situs Geologi