RESENSI BUKU: Menolak Sejarah yang Disunting Kekuasaan
Buku Kronik Otoritarianisme Indonesia karya Zainal Arifin Mochtar & Muhidin M. Dahlan mengingatkan bahwa sejarah bukanlah brosur pencapaian negara.
Penulis Farhan M Adyatma10 November 2025
BandungBergerak.id – Beberapa bulan ke belakang, publik Indonesia dihebohkan dengan Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia akan dilakukan. Proyek tersebut dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan melibatkan lebih dari 100 sejarawan.
Hal yang menjadi kontroversial dari proyek ini adalah pernyataan Fadli Zon yang menyatakan bahwa sejarah Indonesia akan ditulis ulang dengan tone yang lebih positif. Dilansir dari Tempo, tone positif yang dimaksud adalah ingin menonjolkan pencapaian-pencapaian, prestasi-prestasi, dan peristiwa yang terjadi di Indonesia masa lalu. Bagi Fadli Zon, hal itu dilakukan untuk mempersatukan bangsa.
Komentar pro-kontra kemudian hadir menghujani proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia dan tentunya Fadli Zon. Dilansir dari Kompas.com, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) yakni Natalius Pigai mendukung gagasan penulisan ulang sejarah Indonesia dengan tone positif. Sementara itu, Anggota Komisi X DPR Fraksi PDI-P sekaligus pemimpin redaksi majalah Historia yakni Bonnie Triyana, menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia harus dituliskan dari semua sisi, bukan hanya tone positif saja. Lebih jauh, Bonnie Triyana menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah memasukkan sisi baik dan buruk dalam penulisan ulang sejarah Indonesia.
Di tengah kontroversi proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, hadir buku Kronik Otoritarianisme Indonesia: Dinamika 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia (2025) yang bisa dibilang menentang narasi tone positif dalam proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia. Zainal Arifin Mochtar (Uceng) sebagai pakar hukum tata negara dan Muhidin M. Dahlan sebagai dokumentator berkolaborasi untuk menghasilkan buku sejarah yang berjudul Kronik Otoritarianisme Indonesia ini.
Dalam buku ini, Zainal Arifin Mochtar menuliskan sejarah Indonesia selama sekitar 80 tahun (1945-2025) mulai dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga Pilpres 2024. Sementara itu, Muhidin M. Dahlan berkontribusi dalam memperkuat narasi buku ini melalui kurasi arsip kliping-kliping bersejarah dari majalah-majalah lama, surat kabar-surat kabar lama, dan buku-buku lama.
Ya, buku ini tidak hanya sekadar buku sejarah yang isinya hanya teks yang panjang dan membosankan. Pada buku ini terdapat arsip kliping-kliping yang cukup banyak –yang mengisi setengah dari buku ini– untuk membawa pembaca mengetahui melalui kliping sezaman mengenai apa yang terjadi pada Indonesia di masa lalu, khususnya mengenai dinamika sejarah ketatanegaraan Indonesia. Hal itulah yang menjadi keunggulan dari buku ini yang mungkin sulit ditemukan di buku-buku sejarah lain.
Sebagai pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar membedah sejarah Indonesia dari sisi hukum dengan analisis konstitusional yang jernih dan sistematis. Ia menunjukkan bagaimana konstitusi bisa diubah demi kepentingan rezim yang berkuasa, bagaimana demokrasi hanya tentang pertentangan kekuasaan, dan lembaga-lembaga negara menjadi medan perang antara kemurnian hukum dan logika kekuasaan yang melahirkan segala bentuk otoritarian (hlm. x).
Hal itu bisa dilihat ketika Indonesia berada di era Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959). Walaupun di era ini terdapat Pemilu 1955 yang dianggap sebagai pemilu yang “hampir mendekati demokratis”, kabinet di era ini selalu berumur pendek dan berganti-ganti secara cepat, mulai dari Kabinet Natsir hingga Kabinet Djuanda. Jatuh-bangun kabinet di era ini tentu terjadi dengan berbagai macam alasan.
Pada Pemilu 1955 yang memilih anggota Dewan Konstituante, nyatanya secara signifikan semakin menghasilkan politik yang terpecah-belah khususnya perpecahan ideologi yang berangsur sangat tajam. Pihak Islam menginginkan Dewan Konstituante untuk memperkenalkan elemen doktrin politik-Islam yang sempat dihapus pada UUD 1945 sebelum diproklamasikan. Sementara itu, di pihak nasionalis, ide menjadikan Indonesia sebagai negara agama tidak mereka terima. Pihak nasionalis lebih memilih supaya Indonesia tetap mempertahankan ideologi negara yang berorientasi sekuler dengan Pancasila sebagai dasar negara (hlm. 275).
Baca Juga: RESENSI BUKU: Saman, Kali ini Pertaruhan Milik Kita!
RESENSI BUKU: Setelah Boombox, Musik sebagai Hiburan dan Perlawanan
RESENSI BUKU: Paul Scholten, Arsitek Pendidikan Hukum di Hindia Belanda
Titik Balik Otoritarianisme di Indonesia
Melihat konflik-konflik yang tidak kunjung usai di Konstituante dan gagalnya Konstituante dalam merumuskan dasar negara, akhirnya Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada intinya, dekret tersebut berisi tentang pembubaran Konstituante, pernyataan bahwa Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 dan tidak lagi menggunakan UUDS 1950, serta pembentukan MPRS, DPRS, dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara) (hlm. 296).
Indonesia pun akhirnya masuk ke era yang disebut sebagai era Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada era Demokrasi Terpimpin ini, peran partai politik relatif lebih kecil dibandingkan pada era Demokrasi Parlementer (1950-1959). Aktivitas anggota partai sangat dibatasi, dan menjadi salah satu target berbagai macam kontrol militer. Sejak tahun 1959, pegawai negeri sipil (PNS) senior juga dilarang bergabung atau menjadi anggota partai politik (hlm. 297-298).
Pada tahun 1960, DPRS diberhentikan kinerjanya karena DPRS tidak mau menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan untuk tahun 1960. “Penghentian kinerja” DPRS ditetapkan melalui Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 tentang Pembaharuan Susunan Dewan Perwakilan Rakyat yang dikeluarkan pada 5 Maret 1960 (hlm. 328).
Bagi Moh. Yamin, Penetapan Presiden tersebut bermakna pembubaran DPRS. Senada dengan itu, Mohammad Tolchah Mansoer (dalam disertasinya) menyatakan bahwa "penghentian" ini bermakna DPR sudah bubar, karena kenyataannya tidak ada lembaga yang bertugas dalam masalah DPR seperti ditentukan UUD. Sedangkan menurut Ismail Suny, memaknai “penghentian” ini sesuai dengan prinsip dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPR tidak dapat dibubarkan. Sehingga berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960, yang dibekukan adalah anggota DPR dengan mereka yang tidak boleh menghadiri rapat, bukan lembaganya –dalam hal ini DPR– yang dibekukan (hlm. 329-330).
Tidak lama kemudian, ditetapkan Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960 tentang Susunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Kata “Gotong-Royong” dalam DPR-GR tidak memiliki arti secara yuridis. Nama tersebut diberikan oleh Presiden dengan tujuan agar DPR dapat bekerja lebih baik dan dapat lebih erat dengan Presiden. Maksud dari “dapat lebih erat dengan Presiden” di sini adalah DPR-GR dijalankan sesuai dengan kehendak Presiden (hlm. 331).
DPR-GR (DPR) yang dikonstruksikan UUD 1945 sebagai lembaga perwakilan justru beralih fungsi menjadi lembaga yang lebih melayani kepentingan eksekutif ketimbang melayani kepentingan rakyat. Oleh karena itu, posisi DPR di era ini sering disebut sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pemberi “stempel” karena posisinya yang selalu berada di bawah bayangan kekuasaan eksekutif (hlm. 332). Sederhananya, fungsi DPR di era Demokrasi Terpimpin menjadi sangat lemah terutama jika dibandingkan dengan era Demokrasi Parlementer (1950-1959).
Orde Baru dan Pelestarian Otoritarianisme
Pada era Orde Baru (1967-1998), otoritarianisme justru semakin lestari. Pada pertengahan tahun 1970-an, pemerintahan Orde Baru menyatakan bahwa pentingnya “pendidikan Pancasila”. Dari situ, muncul Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau yang kerap disebut P4. Pegawai negeri sipil (PNS) di era Orde Baru ini diwajibkan menghadiri kursus penataran P4 selama dua minggu yang membahas satu hal, yakni Pancasila sebagai ideologi Indonesia (hlm. 388). Pancasila kemudian menjelma menjadi ideologi tunggal di Indonesia dan ideologi “asing” adalah hal yang tidak disukai oleh Orde Baru, khususnya Presiden Soeharto.
Pada tahun 1983-1985, DPR secara perlahan menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1985, pemerintah Orde Baru meresmikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penerapan Pancasila sebagai asas tunggal pun juga dilakukan secara represif. Dari situ, muncul reaksi dari kalangan organisasi keagamaan, universitas, dan masjid. Peristiwa-peristiwa seperti Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989) adalah bentuk reaksi –khususnya dari kelompok Islam– untuk menentang Pancasila sebagai asas tunggal dan kemudian diredam oleh pemerintah dengan represif melalui militer.
Tidak hanya itu, setelah Pemilu 1971, fusi partai dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Fusi partai adalah penyederhanaan jumlah partai. Dari situ, lahir dua partai dan satu golongan, ada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari beberapa partai nasionalis, ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari beberapa partai Islam, dan Golongan Karya (Golkar) yang tetap bertahan tanpa mengalami fusi.
Golkar di era Orde Baru ini menjadi “partai pemerintah”. Pemilu 1977 menjadi pemilu pertama yang hanya diikuti tiga peserta, yakni PDI, PPP, dan Golkar. Pemilu 1977 sejatinya adalah pemilu yang “diinginkan” oleh pemerintah dalam bentuk sebuah pemilu yang efektif dan efisien secara ekonomi dan “jinak” secara ideologi (hlm. 452). Fusi partai ini bertahan hingga Pemilu 1997 dan pada Pemilu 1999 sudah tidak berlaku lagi.
Penutup
Seperti yang sudah dibilang sebelumnya, buku ini menuliskan sejarah Indonesia selama sekitar 80 tahun (1945-2025) mulai dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga Pilpres 2024. Saya melihat bahwa buku ini bisa menjadi kontra narasi terhadap buku yang akan rilis dari hasil proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia yang kabarnya akan ditulis dengan tone positif.
Sedikit catatan kekurangan untuk buku ini, yakni pada halaman kliping yang tidak menyertakan nomor halaman. Bagi saya, hal tersebut menyulitkan dalam penggunaan buku ini untuk keperluan resensi, pengutipan (sebagai sumber), dan sejenisnya. Selain itu, pembahasan peristiwa di buku ini menjelaskan per peristiwa secara detail tetapi mengabaikan urutan waktu terjadinya peristiwa tersebut. Konsekuensinya, terdapat pembahasan peristiwa yang terkesan loncat-loncat dan tidak sesuai dengan urutan waktu. Contohnya di bab 3 mengenai Orde Baru, pembahasan Pancasila sebagai asas tunggal (1985) lebih dulu dibahas ketimbang pembahasan mengenai fusi partai (1973).
Walaupun begitu, buku hasil kolaborasi Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan ini berhasil membongkar dinamika otoritarianisme dalam 80 tahun ketatanegaraan Indonesia. Pada akhirnya, buku ini membuat pembaca menjadi sadar jika otoritarianisme sejatinya tidak pernah mati, ia bisa hidup serta beradaptasi dalam era demokrasi hari ini dengan cara meniru praktik-praktik yang terlihat “demokrasi”, tetapi sejatinya justru otoriter.
Informasi Buku
Judul buku: Kronik Otoritarianisme Indonesia: Dinamika 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia
Penulis: Zainal Arifin Mochtar & Muhidin M. Dahlan
Penerbit: EA Books
Tanggal terbit: Mei 2025
Tebal halaman: xii + 694 halaman
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

