Jalan Panjang Membumikan Kebebasan Beragama dalam Pengalaman Bandung Raya
Kebebasan beragama di Bandung Raya bukanlah kisah tunggal tentang toleransi atau perdamaian. Ia adalah lanskap kehidupan yang penuh lapisan.

Arfi Pandu Dinata
Pegiat Dialog Lintas Iman. Penyuka Teologi dan Studi Agama.
11 November 2025
BandungBergerak.id – Kawasan Bandung Raya selalu menjadi lanskap yang menarik dalam perbincangan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Angka pelanggaran KBB yang tinggi di Jawa Barat kerap muncul dalam kacamata kawasan ini. Laporan media dan tindakan advokasi, bukan semata karena jumlah kasusnya tetapi karena posisinya sebagai pusat kekuasaan provinsi.
Sebuah ruang urban yang padat jejaring, penuh komunitas, dan lembaga pelaksana program intervensi sipil. Di sinilah paradoks itu tampak. Akses terhadap advokasi kebijakan yang terbuka, mudah menggandeng banyak massa muda dari kampus-kampus ternama, namun dengan gesekan identitas dan kepentingan ekonomi yang juga tinggi.
Kota Bandung, Cimahi, dan kabupaten sekitarnya seperti Bandung Barat dan Bandung menjadi titik silang antara urbanisasi, industrialisasi, pascakolonialitas, dan warisan peradaban Sunda Priangan. Di wilayah ini agama tidak hanya hadir sebagai institusi formal, melainkan juga sebagai denyut kehidupan sehari-hari. Dari kios pasar hingga ritual adat di lereng gunung. Karena itu, membicarakan kebebasan beragama di Bandung Raya bukan semata soal peraturan dan hak asasi, melainkan juga tentang ekonomi, ekologi, pengetahuan warga, dan kebudayaan yang membumi.
Baca Juga: Jawa Barat Kembali Memuncak di Daftar Provinsi dengan Jumlah Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyaninan Terbanyak di Indonesia
Moderasi Beragama dan Budaya Bangsa
Peran Kampus di Bandung Raya dalam Merawat Ruang Aman Kebebasan Beragama Berkeyakinan
Kesejahteraan Ekonomi
Masifnya penolakan gereja di Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa konflik keagamaan sering kali berkelindan dengan persoalan domestik. Misalnya, kisah Bang Emok (praktik rentenir), yang sebagiannya datang dari identitas laki-laki Batak kristiani yang meminjamkan uang kepada perempuan Sunda muslim, yang kemudian berubah menjadi lingkaran utang dan kekerasan domestik. Ketika konflik meluas, laki-laki Sunda muslim membangun basis menolak gereja dan identitas Kristen-Batak yang diasosiasikan dengan ancaman terhadap tatanan Islam-Sunda lokal. Dalam konteks ini, agama menjadi wadah ekspresi frustrasi ekonomi sekaligus simbol benturan sosial.
Perempuan Sunda muslim, seorang istri yang terlilit utang menjadi korban kekerasan domestik karena utang itu dibaca sebagai aib yang memiskinkan dan menghina maskulinitas suaminya. Kekerasan ini berakar pada struktur patriarki yang melihat perempuan sebagai penyebab kehancuran rumah tangga. Di sisi lain, perempuan-perempuan kristiani yang bagian dalam jemaat gereja harus menghadapi kerentanan lain. Relokasi rumah ibadah membuat mereka harus bangun lebih pagi, menyiapkan kebutuhan anak dan suami, dan menempuh jarak yang lebih jauh untuk beribadah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama di tingkat akar rumput tidak bisa dilepaskan dari masalah gender dan tentunya kesejahteraan. Di sinilah kita perlu berbicara tentang wacana yang sensitif terhadap kelas sosial, tidak hanya berhenti pada aspek hukum dan toleransi, tetapi harus menembus persoalan kerakyatan dan relasi kuasa.
Keadilan Ekologi
Di lereng Gunung Tangkuban Parahu, setiap tahun warga dari berbagai latar belakang menggelar ritus Ngertakeun Bumi Lamba. Sebuah perayaan spiritual dan tradisi. Di sana ada sesajen, parade budaya, doa dan mantra, serta simbol-simbol lokal yang menyatukan manusia dengan alam. Praktik ini melampaui sekat agama formal. Ada penghayat Kepercayaan, masyarakat adat, penganut Sunda Wiwitan, kesundaan, etnis lain, bahkan individu dan komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai spiritual tapi bukan agama. Dalam ritual ini, cinta tanah air bukan slogan ideologis, melainkan bahasa lain dari nasionalisme lokal.
Upacara semacam ini menunjukkan bahwa keadilan ekologis tidak bisa dilepaskan dari kebebasan beragama. Sebab bagi banyak warga di sekitar Bandung Raya, religiusitas terhadap alam adalah bagian dari kosmologi yang menolak kategorisasi agama resmi. Di sinilah letak kekayaan dan sekaligus kerentanannya. Agama warga yang cair ini sering dianggap sinkretik atau menyimpang, padahal justru di sanalah muncul etika ekologis yang hidup.
Pertanyaannya, apakah pemerintah daerah dan regulasi publik di Bandung Raya mampu membaca ekspresi-ekspresi sipil seperti ini sebagai renungan kritis, bukan sekadar tontonan budaya tahunan? Bisakah kebijakan lingkungan hidup dan kebudayaan melampaui batas-batas administratif sebagaimana gerakan warga melampaui sekat-sekat identitas untuk menegakkan keadilan ekologis?
Paradigma Warga
Di tengah kota Bandung sendiri, bentuk-bentuk agama rakyat terus bertahan di tengah gempuran standarisasi dan purifikasi agama. Salah satunya terlihat di Vihara Giri Toba (Sioe Sian Tong), tempat di mana perayaan Maulid Nabi dapat berdampingan dengan penghormatan kepada Wali Songo, altar Eyang Semar, bahkan para dewa dan leluhur Tionghoa. Di sini, batas antara vihara Buddha, kelenteng yang khas dengan Tridarma termasuk Konghucu dan Tao, serta “langgar” menjadi cair. Ia menunjukkan tentang pengetahuan keagamaan diproduksi di luar institusi resmi, melalui praktik, narasi lisan, dan ingatan setempat.
Namun praktik semacam ini kerap menghadapi kecurigaan dari otoritas agama, akademik, maupun negara. Keunikan lokal dituduh “menodai agama”, “sinkretisme yang memalukan”, atau “agama yang tidak murni”. Padahal justru dalam kefanaan bentuk dan keterbukaannya, agama warga seperti ini menjadi bukti bahwa keberagamaan rakyat masih hidup dan relevan.
Di tengah arus homogenisasi, mereka menunjukkan bahwa menjadi beragama bukan sekadar urusan percaya, tetapi juga menenun sejarah, melahirkan budaya, dan solidaritas yang mungkin senyap di tengah kota yang terus berubah. Ini mengingatkan kita bahwa kebebasan beragama bukan hanya hak untuk beribadah, melainkan juga hak untuk memahami religi secara kontekstual.
Kebudayaan dan Lokalitas
Di sisi timur Bandung, di Rancaekek, Candi Bojongmenje menjadi simbol lain dari pergulatan antara kebudayaan, lingkungan, dan regulasi publik. Situs purbakala ini terimpit di antara dua pabrik besar, sering terendam banjir, dan aksesnya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Sengketa lahan dan tumpang tindih kewenangan antara kabupaten dan provinsi menjadikannya rentan terhadap penggusuran.
Ironisnya, di tengah klaim tentang menjaga budaya lokal, situs ini justru menjadi bukti lemahnya perlindungan terhadap warisan leluhur. Beberapa warga Hindu, buddhis, penganut agama leluhur, atau sekalipun rakyat akar rumput masih rutin berdoa di sana, mengejawantahkan agamanya. Tetapi kehadiran mereka sering kali dicurigai dan direspons dengan ketegangan sosial.
Kasus ini menggambarkan bahwa kebudayaan dan kebebasan beragama di Bandung Raya tidak bisa dipisahkan dari politik ruang dan kepemilikan tanah. Jika pemerintah daerah hanya melihat kebudayaan sebagai festival atau ikon pariwisata, maka dimensi religius dan ekologisnya akan terus diabaikan. Padahal situs seperti Bojongmenje ini bisa menjadi titik temu bagi berbagai komunitas. Pegiat sejarah, lintas iman, pecinta alam, akademisi, pelaku budaya, dan warga biasa yang peduli pada kelestarian warisan lokal.
Yang Bisa Kita Renungi
Kebebasan beragama di Bandung Raya bukanlah kisah tunggal tentang toleransi atau perdamaian. Ia adalah lanskap kehidupan yang penuh lapisan, antara ekonomi, tata ruang dan kesemestaan, pengetahuan warga hingga budaya. Di tengah kompleksitas itu, sekarang kita mengerti bahwa ada area yang belum banyak dijelajah, belum banyak dicari tahu.
Ialah kisah rakyat kecil yang menunjukkan agama dengan jalan lain. Keberagamaan yang tumbuh dari bawah, dari pergumulan dengan pekerjaan, tanah, lokalitas, dan cara hidup yang apa adanya. Agama mereka bisa apa saja, tapi semuanya seolah sepakat bahwa lintas iman tidak melulu identitas yang mudah dikenali. Justru sebaliknya, mereka menunjukkan bahwa agama erat kaitannya dengan masalah-masalah yang “duniawi” yang sepintas lalu selalu dikebiri dari pemahaman kita soal agama.
Karena itu, tugas kita, tugas pemerintah di Bandung Raya seharusnya tidak berhenti pada seremonial agama-agama yang tampak di KTP. Semua harus berani menatap lebih dalam ke realitas kerakyatan yang membumi ini.
Negara perlu belajar dari cara warga menyatukan denyut religi dengan semua aspek kehidupan. Lalu pada akhirnya membangun kebebasan beragama yang bukan hanya legal, tetapi juga material, berakar, dan ekologis. Di sinilah kebebasan beragama menemukan bentuknya yang paling masuk akal untuk rakyat kecil, tidak lagi dikotomis, tidak lagi kolonial.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

