• Kolom
  • MULUNG TANJUNG #12: Hanjuang dan Handeuleum, Tanaman yang Erat dengan Urang Sunda

MULUNG TANJUNG #12: Hanjuang dan Handeuleum, Tanaman yang Erat dengan Urang Sunda

Tanaman hanjuang dan handeuleum memiliki tempat tersindiri dalam kultur Sunda. Kedua tanaman ini disebut-sebut di dongeng dan naskah kuno.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Tanaman hanjuang banyak tumbuh di sekitar permukiman warga Jawa Barat. (Foto: BRMP Pertanian)

13 November 2025


BandungBergerak“Urang teundeun di handeuleum sieum urang tèang di hanjuang siang. Paragi nyokot ninggalkeun.”

Pada tahun 1980 sampai tahun 1990-an, ketika siaran radio dalam masa jayanya sebagai sumber informasi dan hiburan, kalimat ini sangat akrab di telinga para penikmat siaran dongeng Sunda. Biasaya kalimat itu disampaikan di akhir acara sebagai penutup siaran dongeng yang menjadi hanca atau pekerjaan yang belum selesai dan harus dilanjutkan kembali pada waktu yang akan datang.

Handeuleum, si Ungu dengan Banyak Manfaat

Handeuleum dalam bahasa Sunda merujuk pada satu tanaman pagar yang bisa ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Tanaman dengan nama ilmiah Graptophylum pictum ini mampu tumbuh di lingkungan yang kering ataupun lembap.

Handeuleum adalah tanaman yang mempunyai daun tunggal bertangkai pendek, bertulang daun menyirip dan berwarna ungu. Warnanya yang unik membuatnya pantas untuk disejajarkan dalam deretan tanaman hias lainnya, tetapi selain itu ternyata banyak manfaat yang dapat diberikan oleh tanaman ini.

Dengan kandungan senyawa flavonoid, alkaloid, tanin, steroid, dan saponin, membuat handeuleum bersifat antioksidan, antiinflamasi, dan analgesic. Secara tradisional air rebusan handeuleum dipercaya mampu meredakan wasir, sembelit serta rasa nyeri (Badan Perakitan dan Modernsasi Pertanian). Handeuleum juga bisa digunakan untuk mengobati bisul, menurunkan kadar kolesterol, mengontrol gula darah, meredakan radang sendi, serta menjaga kesehatan ginjal.

Hanjuang, Tanaman Sederhana dengan Banyak Makna

Jika berkunjung ke perdesaan, kita sering menemukan pohon hanjuang yang difungsikan sebagai pagar di halaman umah-rumah penduduk. Hadirnya pohon hanjuang membuat suasana pedesaan terasa begitu kental dan sangat menyatu dengan alam sekitarnya. Hanjuang memberikan ketenangan tersendiri, terutama untuk mereka yang terbiasa dengan suasana hiruk-pikuk kehidupan di kota besar.

Hanjuang yang dikenal pula dengan nama pohon andong ini merupakan tanaman hias dari keluarga Asparagaceae memiliki nama ilmiah Cordyline fruticose, memang banyak digunakan masyaratat sebagai tanaman pagar. Selain itu daunnya sering digunakan sebagai salah satu pembungkus makanan selain daun pisang dan daun jati. Daun hanjuang yang memanjang dan cukup besar dengan warna hijau kemerahanlah yang membuatnya terpilih menjadi salah satu jenis tanaman hias yang ditanam d halaman.

Baca Juga: MULUNG TANJUNG #1: Senandung Kembang Liar di Bandung Baheula
Mulung Tanjung #11: Pamali, Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Beranjak Terlupakan

Filosofi Hanjuang dan Handeuleum dalam Budaya Sunda

Sastrawan serta akademisi Chye Retty Isnendes, dalam tulisan blognya yang berjudul “Ajip Rosidi: Hanjuang Siang Di Pelataran Zaman”, memakai handeuleum dan hanjuang sebagai analogi yang mengantar perbandingan antara dua sastrawan yaitu Yus Rusyana dan Ajip Rosidi. Chye menggunakan handeuleum untuk menggambarkan gaya tulisan Yus Rusyana dan hanjuang untuk gaya tulisan Ajip Rosidi.

“Pohon dan daun handeuleum bersemu coklat kemerahan, bahkan daun yang sudah tua bersemu hitam. Bagi saya, pohon itu diibaratkan pada malam yang hitam, tenteram, menyamarkan, dan penuh misteri. Pada malam yang dengan penuh kekuatan, sieum-nya sungguh indah dan hitamnya dinanti oleh semua mahluk untuk istirahat. Karena pada malam hari makhuk Tuhan menyusun kembali kekuatan dirinya, menumpahkan rasa cinta dan rindunya, bersujud bertahajud meminta ampunannya, setelah seharian bekerja dan berkarya. Sieum-pun menyiratkan tempat-tempat angker dan keramat, hanya manusia berani dan berhati jati yang mampu menyelaminya.”

Lalu tentang hanjuang, Chye menulis:

“Daun hanjuang berwarna hijau, merah, hijau-gading, dan merah ati, bahkan katanya ada yang berwarna putih (Cupumanik, No. 46). Walaupun beraneka warnanya, tetapi sangat jelas dan terang, tidak sieum seperti handeuleum. Kenekawarnaannya diumpamakan waktu siang, karena matahari membawa terang, dan tampaklah dunia penuh warna. Pada siang semua menjadi jelas, tidak ada yang samar atau tak terlihat: kebaikan atau keburukannya. Pada siang semua makhluk bekerja dan memberdayakan kekuatan dirinya. Pada siang, manusia berusaha, menyandarkan dan mencapai cita-cita besarnya.”

Handeuleum memang selalu disandingkan dengan kata sieum, dan hanjuang bersanding dengan kata siang.

Di lain kesempatan, saya pun menemukan hal menarik tentang makna handeuleum dan hanjuang bagi masyarakat Sunda.

“Namun  bagi masyarakat Sunda, “hanjuang” dianggap tanaman yang istimewa tidak hanya dimanfaat dan dimaknai secara fisik saja, tetapi dimaknai pula dari dimensi sosiokultural, yaitu bagaimana masyarakat Sunda memaknai dan mengimplementasikan leksikon “hanjuang” sebagai budaya. Dalam ranah bahasa “hanjuang” sering dibandingkan dengan kata “handeuleum” atau daun wungu atau daun ungu (graptophylum pictum griff). Penggunaan ini tidak hanya digunakan pada zaman sekarang saja, namun bukti sejarah dan filologi dalam Wangsit Siliwangi (401 Masehi) ditemukan kalimat yang berbunyi ”…. saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang“ (…..rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, atapnya dirimbuni oleh pohon handeuleum dan bertiang hanjuang). Kata “hanjuang” dalam kalimat tersebut merujuk pada tanaman yang memiliki morfologi yang telah disebutkan di atas. Sesuai dengan sifat pohon “hanjuang” yang berbatang kuat seperti dalam kalimat ditihangan ku hanjuang (bertiang “hanjuang”). 

Makna “hanjuang” dalam konteks kalimat tersebut merujuk pada tiang sebuah bangunan. Tiang sebagai salah satu elemen bangunan berfungsi sebagai penyangga bagian atas bangunan tersebut. Bangunan tanpa tiang akan roboh. Sebuah tiang harus menggunakan kayu yang kuat. Oleh karena itu,

“hanjuang” bagi masyarakat Sunda dianggap tanaman yang kuat dan keramat” (The Socio-Cultural Values Of The Lexeme ‘Hanjuang’ In The Sundanese Language: A Study In Ethnolinguistics - Nani Sunarni).

Dalam beberapa sumber juga disebutkan bahwa hanjuang adalah salah satu tanaman yang digunakan untuk sawen tulak bala, yaitu cara tradisional untuk menolak kekuatan gaib atau serangan wabah penyakit. Penggunaan hanjuang sebagai batas pagar pun mempunyai makna perlindungan untuk para penghuni dari kekuatan roh jahat berupa guna-guna dan santet yang datang dari luar rumah.

Dan dalam sejarah kerajaaan Sumedanglarang, hanjuang berperan sebagai totonden atau penanda kekalahan atau kemenangan perang. Hal ini tertulis pada prasasti di situs pohon hanjuang yang terletak di Dusun Pangjeleran, Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara, dan konon pohon hanjuang tersebut ditanam oleh Jaya Perkosa sebagai pertanda hasil dalam perang yang disampaikan  kepada Prabu Geusan Ulun.  

"Kula nanjeurkeun ieu tangkal hanjuang // Ciri asih ka Prabu Geusan Ulun // Meun Seug ieu tangkal hanjuang daunna subur // Ciciren kula unggul // Tapi meun seug ieu tangkal hanjuang // Layu atau perang // Ciciren kula ka soran di palagan [Saya menandaskan pohon hanjuang ini, sebagai tanda kasih sayang kepada Prabu Geusan Ulun. Kalau semisal pohon hanjuang ini daunnya subuh, itu pertanda saya menang. Tapi kalau semisal pohon hanjuang ini layu atau perang, itu pertanda saya kalah di medan perang]" ±1585.

Dan makna ungkapan “urang teundeun di handeuleum sieum urang tèang di hanjuang siang. Paragi nyokot ninggalkeun”, yang saya tulis di awal tulisan ini adalah menunda atau menyimpan apa yang sedang dilakukan, untuk dilanjutkan kembali di masa yang akan datang, sampai pembicaraan dinyatakan selesai atau menemukan kesepakatan. Cag...!

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//