MULUNG TANJUNG #1: Senandung Kembang Liar di Bandung Baheula
Dari anak-anak sampai orang tua memiliki kebiasaan memungut kembang atau biji-bijian seperti kanari, ganitri, dan tanjung yang tumbuh di Kota Bandung.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
1 September 2024
BandungBergerak.id - Bandung, suatu hari di tahun 1959. Hari menjelang senja, hujan baru saja reda. Dua anak perempuan kakak beradik berjalan beriringan di sepanjang Jalan Pasirkaliki. Mereka dalam perjalanan pulang dari sekolahnya di Zending, Jalan Pasirkaliki adalah salah satu rute pulang yang sering mereka tempuh menuju tempat tinggal mereka di kawasan Kebon Kawung.
Masa itu Jalan Pasirkaliki cukup sepi. Kendaraan masih sangat jarang, sesekali oplet menuju Lembang, atau delman, sepeda, dan beberapa gerobak pengangkut barang melintas di sana. Setiap hari Datisah (12 tahun) dan adiknya Ucih (9 tahun), dua anak perempuan tersebut, berjalan kaki menuju sekolah dari Kebon Kawung ke sekolah mereka di Zending yang berlokasi di sekitar Pasirkaliki-Pasteur.
Hal yang sama mereka lakukan saat pulang sekolah.
Mulung Kanari
Pohon yang banyak ditemukan di pinggir-pinggir jalan Kota Bandung waktu itu di antaranya pohon kenari, pohon ganitri, dan pohon tanjung. Sepanjang Jalan Pasirkaliki waktu itu banyak ditumbuhi pohon kenari, dan ada pula beberapa pohon tanjung. Selepas hujan, biasanya banyak buah kenari berjatuhan dan ini menjadi hal yang menyenangkan untuk mereka. Dua gadis cilik itu memunguti biji-biji kenari yang mereka temukan. Biji-biji kenari itu biasanya dipecahkan menggunakan batu, lalu mereka memakan isinya bersama-sama
Banyak anak-anak ataupun orang dewasa yang senang memunguti biji kenari. Selain untuk dikonsumsi, biji kenari juga sering dibuat kerajinan berupa liontin atau gantungan kunci. Biasanya kenari diampelas sampai halus, lalu diberi tambahan variasi dari batok kelapa.
Ketika itu sudah menjadi hal yang biasa melihat anak-anak sekolah berombongan pergi dan pulang bersama-sama. Bandung masih sangat ramah pada pejalan kaki, udara yang dingin serta banyaknya pepohonan membuat Bandung begitu menyenangkan untuk dinikmati sambil menyusuri jalan-jalannya.
Banyak ruas jalan di Bandung yang ditanami pohon kenari selain di Jalan Pasirkaliki, di antaranya di Jalan Purnawarman, Jalan Patuha, Jalan Galunggung, juga di jalan masuk Gedung Balaikota. Dan bukan tidak mungkin ada pula di lokasi lainnya.
Seorang narasumber penulis, Eyang Ratna, 62 tahun, bercerita:
"Mulung kanari mah sapanjang jalan di Kotapraja, kenca katuhuna rajeg tangkal kanari. Kanari dipékprék, eusina dituang, sawaréh dianggo karajinan didamel liontin, dikembangan ku batok meunang meuleum,"
(Memunguti kenari sepanjang jalan kotapraja/Balaikota, kiri kanannya berjejer pohon kenari. Kenari dipecahkan kulitnya, isinya dimakan, sebagian dibuat liontin, diberi hiasan bunga dari batok kelapa yang sudah dibakar).
"Mbu mah resep mulung kanari teh, dipékprék, diarah eusina, tuluy diopi. Atawa dijieun gantungan konci (Mbu senang memunguti kenari, dipukul biar pecah, lalu diambil isinya, dimakan. Atau dibuat gantungan kunci),” cerita lain dari Ambu Ucih (74 tahun), kepada penulis.
Mulung Ganitri
Biji-bijian lain yang juga sering dipungut orang di pinggir jalan adalah ganitri. Ganitri atau Elaeocarpus angustifolius, adalah pohon kayu yang sering digunakan sebagai peneduh jalan, yang memiliki bunga putih krem dan buah berbiji biru cerah yang berbentuk bola. Jika kulit biji berwarna biru itu dikelupas, akan nampak bijinya yang keras dan permukaannya kasar.
Anak-anak di era tahun 1960-an sampai awal 1990 hampir pasti mengalami berjalan kaki di pinggir jalan raya di Bandung sambil memunguti biji ganitri ini. Beberapa anggota grup sejarah Bandung sempat memberi komentar terkait kebiasaan "mulung ganitri" ini.
"Abdi oge ngalaman, pami wangsul ti Gasibu, saya juga mengalami (mulung ganitri) kalau bilang dari Gasibu," ujar salah satu anggota grup sejarah. Sementara itu, anggota lain menyampaikan ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dia sering memunguti biji ganitri yang ditemukan berserakan di sekitar Jalan Sukajadi bawah sampai Asrama Brimob – Polresta Bandung Barat, atau sekarang menjadi lokasi Mal Paris van Java – Polsek Sukajadi. Lalu berlanjut dari pertigaan Karang Tinggal sampai pertigaan Karang Setra. Dua tahun lalu, penulis sempat juga memunguti biji ganitri di sekitar jalan Sukajadi.
Lokasi lain yang ditumbuhi banyak pohon ganitri menurut generasi angkatan tahun 1960 sampai 1990-an adalah di Jalan Sampurna, Jalan Makmur, Jalan Prof. Eyckman, Jalan Bosscha, Jalan Tamansari, seputar Gasibu, Jalan Ganesha, dan banyak tempat lain.
Lalu mengapa mulung ganitri menjadi kegiatan yang menarik banyak orang pada waktu itu? Salah satunya adalah bentuk biji ganitri yang unik dan nyeni. Biji ganitri bisa dibuat aneka kerajinan, seperti kalung, gelang, tasbih, juga gantungan kunci.
Mulung ganitri dan membuatnya menjadi sebuah benda kerajinan juga menjadi salah satu kegiatan alternatif saat menunggu buka puasa atau ngabuburit di bulan Ramadan.
Baca Juga: Bung Karno, Bandung, dan Cinta Sejatinya
Cinta dan Harapan Us Tiarsa pada Jurnalisme dan Budaya
Berretty, Si Pendiri Kantor Berita Aneta dan Petualangan Cintanya
Mulung Tanjung
Selain memungut kenari, memunguti bunga dan buah tanjung adalah hal yang menyenangkan juga untuk anak-anak gadis atau para wanoja Bandung saat itu.
Tanjung (Mimusops elengi) adalah pohon kayu yang berbunga wangi berwarna putih, serta berbuah manis. Karena bunganya yang cantik dan wangi, anak-anak dan para perempuan itu senang memungutnya ketika ditemukan jatuh berserakan di pinggir jalan. Maka munculah istilah "mulung tanjung".
Bunga tanjung yang sudah dipungut dan dikumpulkan itu kemudian dironce (dirangkai) satu per satu menggunakan benang. Setelah dironce anak-anak akan menggunakannya sebagai kalung atau gelang, sedangkan perempuan yang lebih dewasa menggunakannya sebagai hiasan rambut atau sanggul.
"Mulung tanjung mah pagawéan Eyang keur budak, (memunguti tanjung mah pekerjaan Eyang waktu kecil,)" ujar Eyang Ratna lagi.
Eyang biasanya memunguti bunga dan buah tanjung di Jalan Dr. Rajiman, Cipaganti, sampai Pamoyanan. Bunganya dijadikan kalung dan gelang, buahnya dimakan, manis, ungkapnya lagi. Terdengar menyenangkan.
Menurut T. Bachtiar, roncean bunga tanjung juga sering digunakan sebagai hiasan keranda ketika ada orang yang meninggal, kalau sekarang banyak menggunakan melati atau sedap malam.
Budayawan Us Tiarsa R. menambahkan, pohon tanjung yang banyak digunakan sebagai pohon peneduh, di pagi hari selalu dipunguti bunganya yang luruh di malam sebelumnya. Para ibu meronce bunga tanjung untuk dililitkan di sanggulnya. Beliau juga menyampaikan bahwa kembang tanjung mengilhami lagu Sunda berjudul “Kembang Tanjung Panineungan”, yang lagunya diaransemen Mang Koko dan syairnya karya Wahyu Wibisana.
Begitulah kisah kenari, ganitri, dan kembang tanjung yang mewarnai romantisnya masa lalu Kota Bandung. Selain itu, kenari, ganitri dan kembang tanjung juga makin menegaskan bahwa warga Bandung tidak bisa lepas dari karya kreatif warganya.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung