• Narasi
  • Bung Karno, Bandung, dan Cinta Sejatinya

Bung Karno, Bandung, dan Cinta Sejatinya

Bandung menyimpan banyak jejak Presiden RI Pertama Sukarno. Sebagai kota tempat Bung menimba ilmu, dipenjara, hingga kisah cintanya dengan Inggit Garnasih.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Patung Sukarno di situs Penjara Banceuy di Kota Bandung. (Foto: Ernawati Sutarna)

6 Juli 2024


BandungBergerak.id – “Hanya ke Bandung lah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya” Bung Karno.

Bandung memang menyimpan tempat tersendiri dalam kisah hidup Kusno. Entah kenapa dari dulu saya suka sekali menyebut Bung dengan nama masa kecilnya, Kusno, atau Kusno Sosrodihardjo lengkapnya.  Dan ternyata itu pun menjadi panggilan sayang Inggit pada Bung, selain Enung.

Bung, Bandung, dan Inggit adalah suatu jalinan kisah yang tidak bisa dipisahkan. Ketika bercerita  tentang  kiprah Bung di Bandung, mau tidak mau ada nama Inggit yang juga harus disebut, karena bisa dikatakan  perjuangan Bung merintis pergerakan di Bandung, tidak terlepas dari perjuangan dan pengorbanan Inggit.

Inggit adalah satu energi terbesar Sukarno kala itu. Menurut saya, saat itu Inggit adalah nyawa kedua

Bung.

Di Bandung Kusno menemukan jalan hidupnya, dalam pendidikan, karier politik, juga cintanya.

Baca Juga: Pidato Sukarno tentang Revolusi dan Sosialisme di Alun-alun Bandung
Pameran 80 Buku tentang Sukarno di Gedung Indonesia Menggugat
Sukarno, Museum Penjara Banceuy, dan Kesunyiannya

Tempat yang Menyimpan Jejak Sukarno di Bandung

Berikut beberapa tempat yang merekam jejak Sukarno di Bandung.

Rumah H. Sanusi/Inggit

Adalah rumah tempat tinggal Bung selama di Bandung. H. Sanusi adalah aktivis pergerakan di Bandung yang direkomendasikan oleh H. O. S. Cokroaminoto pada Sukarno. Rumah itu  berlokasi di sekitar jalan Gardujati,  salah satu narasumber saya menyebutkan bahwa rumah mereka ada di lokasi yang sekarang bernama Gang H. Abdulrahim. Tapi tentu saja bangunannya sudah tidak ada lagi. Selama menjalani pendidikan di Technische Hogeschool, Sukarno tinggal sebagai anak kos di kediaman H. Sanusi tersebut.

Aula Timur ITB, yang dengan Aula Barat membentuk sumbu ke arah Gunung Tangkubanparahu, menghadirkan suasana teduh dan sejuk bagi keseluruhan lingkungan kampus. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Aula Timur ITB, yang dengan Aula Barat membentuk sumbu ke arah Gunung Tangkubanparahu, menghadirkan suasana teduh dan sejuk bagi keseluruhan lingkungan kampus. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Institut Teknologi Bandung

Pada jaman Belanda bernama Technische Hogeschool, dan pada tahun 1959 berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung. Terletak di Hoogeschoolweg atau Jl. Ganesha sekarang. Di sana Sukarno menempuh pendidikan di Jurusan Teknik Sipil, dan meraih gelar Insinyur pada tahun 1926. Ketika Technische Hogeschool berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung, dan diresmikan oleh Presiden Sukarno,  dibuatkan tugu peresmian yang sampai sekarang dikenal dengan nama Tugu Sukarno. 

Penjara Banceuy

Pada tahun 1927, Sukarno mendirikan PNI, dan pergerakannya sangat meresahkan Belanda. Sampai akhirnya pada tahun 1929, Sukarno, Maskun, Supriadinata dan Gatot Mangkupraja ditangkap di Yogyakarta, lalu dibawa ke Bandung dan dipenjara di Penjara Banceuy. Itulah kali pertama Sukarno merasakan kehidupan di dalam bilik penjara. Di Penjara Banceuy Sukarno ‘menginap’ selama 8 bulan. Di sinilah Sukarno menulis pledoi atas tuduhan akan menggulingkan pemerintahan Hindia Belanda.

Sukarno muda di depan pengadilan Lanraad di Bandung. (Koleksi KITLV 142737, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Sukarno muda di depan pengadilan Lanraad di Bandung. (Koleksi KITLV 142737, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Gedung Indonesia Menggugat 

Tanggal 18 Agustus 1930, Sukarno membacakan pidato pembelaan diri yang dikenal dengan nama Indonesia Menggugat di Gedung Landraad, Bandung. Pidato ini sangat terkenal, berisi tentang keadaan politik Internasional pada saat itu, dan kondisi Indonesia di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Karena peristiwa tersebut, kini Gedung Landraad dinamakan Gedung Indonesia Menggugat. 

Penjara Sukamiskin

Sekarang dikenal dengan nama Lapas Sukamiskin. Di sinilah Sukarno melanjutkan masa tahanan setelah persidangan di Gedung Landraad atau Gedung Pengadilan Pemerintah Hindia Belanda, atau sekarang di kenal dengan sebutan Gedung Indonesia Menggugat. Di kamar nomor 1 Blok Timur atas, adalah sel yang dihuni Sukarno di Lapas Sukamiskin selama empat tahun. Sel tersebut masih ada dan terpelihara sampai saat ini. 

Ksatriaan Instituut adalah satu sekolah yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker di Bandung pada tahun 1924. (Foto: Dokumentasi Ernawati Sutarna)
Ksatriaan Instituut adalah satu sekolah yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker di Bandung pada tahun 1924. (Foto: Dokumentasi Ernawati Sutarna)

Ksatriaan Instituut

Ksatriaan Instituut adalah satu sekolah yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker pada tahun 1924. Ketika baru saja mendapatkan gelar Insinyur di tahun 1926, Sukrno mendaftarkan diri untuk menjadi pengajar di sana. Sukarno mengajar para siswa yang berasal dari kaum bumiputra, China, dan Indo Belanda. Tapi masa mengajar Sukarno tidak panjang karena dia dipecat atas laporan pengawas sekolah kolonial Belanda yang tidak menyukai cara mengajarnya. 

Grand Hotel Preanger

Hotel Preanger mengalami renovasi dan desain ulang pada tahun 1929 yang dilakukan oleh seorang

arsitek yang juga mendesain banyak bangunan lain di Bandung,  C.P. Wolff Schoemaker, dibantu Sukarno yang merupakan muridnya di THS. 

Gedung Merdeka

Di gedung inilah sejarah besar terjadi, sebuah peristiwa internasional yang digagas pemerintah Indonesia dan tentu saja melibatkan Sukarno di dalamnya. Dalam Konferensi Asia Afrika ini, keterlibatan Sukarno jauh dari awal sebelum Konferensi diadakan, bahkan dia pun terlibat langsung dari mengawasi renovasi Gedung Merdeka sampai menentukan menu makanan khas Indonesia di samping makanan yang sudah disesuaikan dengan selera para peserta. Dan tentu saja pidato pembukaan yang penuh semangat dan  gagasan dari Sukarno menjadi warna tersendiri pada konferensi ini.

Ksatriaan Instituut adalah satu sekolah yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker pada tahun 1924, kini SPM Negeri 1 Kota Bandung. (Foto: Ernawati Sutarna)
Ksatriaan Instituut adalah satu sekolah yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker pada tahun 1924, kini SPM Negeri 1 Kota Bandung. (Foto: Ernawati Sutarna)

Kisah Cinta Sukarno di Bandung

“Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tapi jelas bahwa ada keuntungan tertentu dalam rumah ini. Keuntungan yang utama sedang berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap, bentuk badannya tampak jelas dikelilingi oleh cahaya lampu dari belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga merah yang melekat di sanggulnya dan satu senyuman yang menyilaukan mata. Ia istri Haji Sanusi, Inggit Garnasih. Segala percikan api yang dapat memancar dari seorang anak dua puluh tahun masih hijau dan tak berpengalaman, menyambar-nyambar kepada seorang perempuan dalam umur tiga puluhan yang sudah matang dan berpengalaman. Di saat pertama aku melangkah melalui pintu masuk aku berpikir, aduh luar biasa perempuan ini.” (Cindy Adams : Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)

Kedatangan Sukarno ke Bandung ternyata mempertemukannya dengan seorang perempuan Sunda bernama Inggit Garnasih, yang juga istri dari Haji Sanusi. Sukarno pun telah melakukan “kawin gantung” dengan Utari putri H. O. S. Cokroaminoto. Pernikahan itu terjadi atas permintaan Cokroaminoto. Kepada Utari, Sukarno hanya merasakan seperti layaknya seorang kakak pada adiknya. Cintanya justru tumbuh pada Inggit. Seiring kebersamaan mereka, membuat mereka merasa jatuh cinta dan terikat satu sama lain. Sukarno yang mendambakan seorang istri yang bisa bersikap seperti ibu yang menjadi tempatnya bermanja dan mencari perlindungan menemukannya, pada sosok Inggit.

Pernikahan Inggit pun ternyata tidak baik-baik saja. Haji Sanusi yang selalu sibuk dengan kegiatannya pribadi membuat Inggit  sering merasa kesepian di rumahnya. Kehadiran Sukarno yang juga sering mengundang kedatangan para pemuda lain untuk berdiskusi di rumahnya, membuatnya lebih mudah mengusir sepi.

“Sejak kedatangan Kusno, begitulah aku sapa mahasiswa yang menumpang itu, rumah kami jadi jauh lebih ramai dikunjungi orang, terutama kaum muda yang berdatangan. Kusno, yang oleh teman-temannya dipanggil Sukarno, cepat mempunyai banyak teman. Ia menjadi perhatian bagi banyak kawannya karena kecakapannya berbicara, kecakapannya menjelaskan pikiran-pikirannya dengan mudah. Kejadian ini menyebabkan aku sibuk, lebih sibuk dari biasa. Aku pun senang melayani banyak orang. Hidup jadi bergairah.” (Ramadhan K. H.: Kuantar ke Gerbang)

Sampul buku “Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno” karya Ramadhan K. H. Diterbitkan penerbit Bentang Pustaka pertama kali tahun 2011. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Sampul buku “Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno” karya Ramadhan K. H. Diterbitkan penerbit Bentang Pustaka pertama kali tahun 2011. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Waktu dan kesempatan bersama akhirnya membuat mereka saling jatuh cinta. Sikap-sikap Inggit yang bisa menjadi ibu, kekasih, sekaligus kawan seperti yang diidamkannya. Sikap-sikap Sukarno yang pandai, hangat, pintar berkomunikasi dan berorganisasi pun memikat Inggit. Dan setelah keduanya bercerai dari pasangannya masing-masing, mereka pun menikah tanggal 24 Maret 1923, di kediaman orang tua Inggit di Javaveem , Jalan Viaduct sekarang.

Inggit memang sangat mencintai Sukarno dan sangat setia mendampingi perjuangannya. Dari titik nol Inggit menemani Sukarno, bahkan ketika Sukarno harus keluar masuk penjara dan berulang kali mengalami dibuang ke pengasingan.  Inggit sudah menjadi istri, ibu, sekaligus sahabat seperti yang diidamkan Bung Karno.

Banyak hal dilakukan Inggit untuk mendukung perjuangan Bung Karno. Ketika di dalam penjara, Inggit tetap memberikan informasi dari luar penjara dengan cara yang sangat cerdas. Mengempiskan perut dengan puasa demi bisa menyelundupkan buku yang dibutuhkan Bung Karno, atau mengirimkan kode-kode tertentu melalui telur asin, telur ayam, dan buku-buku agama yang dikirimkannya. Menopang ekonomi keluarga dengan berjualan lulur dan bedak, serta kutang buatannya. Inggit melakukan apa pun untuk membantu perjuangan Sukarno.

Sampai pada suatu saat, Sukarno meminta ijin untuk bepoligami karena ingin mempunyai keturunan, Inggit pun mundur dengan tegas, karena dia tidak mau dipoligami. Bukan berarti Inggit tak merasakan sakit, tapi dia tetap meninggalkan Bung Karno saat namanya makin besar di Indonesia. Inggit pun kembali ke Bandung bersama putri angkatnya, Ratna Juami.

Setelah sekian lama berpisah, Sukarno menemui Inggit di tahun 1955, dan di tahun 1960. Pada salah satu pertemuan Bung Karno menyampaikan permintaan maaf pada  Inggit, dan dijawab oleh Inggit seperti ini, ”Tidak usah diminta, Kus. Engkus pimpinlah negara dan rakyat dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu.”

Pertemuan berikutnya dan pertemuan terakhir untuk pasangan ini adalah ketika Bung Karno meninggal pada tanggal 21 Juni 1970. Dengan kondisi tubuh yang sudah melemah karena usia, Inggit melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk menemui jenazah laki-laki yang dicintainya, Kusno.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan lain tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//