• Opini
  • Perubahan Lingkungan dan Hilangnya Pemondokan Aman untuk Burung

Perubahan Lingkungan dan Hilangnya Pemondokan Aman untuk Burung

Dulu burung-burung pemakan padi bergerombol singgah di pohon-pohon bambu di kampung dan mencari pakan di sawah. Kini burung-burung itu mondok di Rest Area jalan tol.

Johan Iskandar

Dosen, peneliti lingkungan, serta pegiat Birdwatching di Universitas Padjadjaran (Unpad). Penulis bukuKisah Birdwatching, ITB Press (2025)

Rombongan burung pemakan padi di sore hari sedang terbang berputar-putar di atas langit untuk hinggap di pepohonan kawasan Rest Area KM 72A Tol Cipularang, guna mondok bersama di malam hari. (Foto: Foto: D.Yudiawan)

14 November 2025


BandungBergerak.id – Pada masa lalu, sebelum tahun 1970-an, sebelum  digulirkan program Revolusi Hijau di Indonesia, para petani sawah di Tatar Sunda umumnya mempraktikkan tanam padi dengan sistem organik (organic farming system). Mereka menanam padi di sawah secara tradisional dengan tidak menggunakan pupuk anorganik dan racun pestisida sintesis hasil pabrikan. Pada masa itu, lingkungan sawah terbebas dari pencemaran racun pestisida. Tidaklah heran di masa lalu bahwa aneka ragam jenis burung sawah, seperti kuntul, piit/pipit, peking, manyar, bondol, bondol hijau, gelatik, prit mas/prit benggala, branjangan/titimplik, belibis, kareo padi. kuntul dan bangau, marak ditemukan di habitat sawah yang masih bebas dari racun pestisida. Hingga akhir tahun 1970-an, misalnya, masih dapat didokumentasikan sekurangnya 50 jenis burung yang biasa ditemukan di ekosistem sawah di beberapa perdesaan DAS Citarum (Iskandar, 1980).   

Pada waktu senja, dikala matahari akan terbenam, penduduk perdesaan dapat menyaksikan suatu pemandangan unik menarik, ratusan bahkan ribuan, burung-burung kuntul terbang berkelompok mencari tempat pemondokan di kawasan perdesaan atau pinggiran perdesaan. Burung-burung tersebut biasa memilih tempat pemondokan dan sekaligus tempat bersarang di pepohonan bambu yang banyak tumbuh di kawasan perdesaan. Sementara di pagi hari menyambut matahari terbit, burung-burung kuntul yang telah pulas tidur dan nyaman mondok di pepohonan bambu mulai terbang bergerombol menuju sawah-sawah untuk mencari pakan. Berbagai jenis serangga, seperti belalang, jangkrik, ikan-ikan liar, udang, katak, belut, dan lainnya, yang biasa hidup di ekosistem sawah menjadi sumber pakan bagi  burung-burung kuntul.

Selain jenis-jenis burung kuntul, aneka ragam jenis burung pemakan padi, seperti piit atau pipit, peking, bondol, bondol hijau/eusing, mayar mas, manyar jambul, gelatik, dan prit mas/prit benggala juga umum dapat disaksikan di kawasan sawah  yang padi mulai berisi bulir-bulir padi masih hijau (usum beuneur héjo). Mereka mencari pakan bulir-bulir padi yang masih belum keras.  Burung-burung pemakan padi biasa terbang pindah-pindah petak sawah secara berkelompok, sambil mengeluarkan suaranya yang khas.    

Ketika musim padi di sawah, jenis-jenis burung pemakan padi biasa pula marak berbiak dengan membuat sarang. Sarang-sarang burung bondol, misalnya,  biasa ditemukan di jerami-jerami padi. Sementara  sarang-sarang burung manyar dapat disaksikan bergelantungan di pepohonan di berbagai kawasan sawah atau pinggiran kawasan sawah. Bentuk arsitektur sarang manyar unik menarik, dibangun dalam dua kamar. Kamar bagian atas untuk tempat bertelur, kamar bagian bawah dibiarkan kosong, serta memiliki dua pintu. Satu pintu masuk tipuan untuk mengelabui pemangsa dan hanya satu pintu masuk sebenarnya. Sarang dibuat dengan ditenun secara rumit dan sangat teliti, biasa diletakan bergelantungan di daun-daun pohon kelapa atau ranting-ranting pohon turi yang tumbuh di pematang-pematang sawah.

Berbeda dengan burung manyar, burung pipit dan peking biasa membuat sarang dengan ditempatkan di pelepah atau karangan bunga pohon-pohon pinang, serta berbagai percabangan pepohonan lainnya. Sementara burung gelatik biasanya membuat sarang di lubang-lubang di pepohonan kayu.

Baca Juga: Sistem Pekarangan dan Mitigasi Perubahan Iklim
Menurunnya Keanekaragaman Pangan Tradisional
Ancaman Kepunahan Lokal Jenis-jenis Burung Urban

Perubahan Lingkungan

Kini penduduk perdesaan di kawasan DAS Citarum, Tatar Sunda sangat sulit untuk  dapat menyaksikan pemandangan rombongan burung-burung kuntul mondok di pohon-pohon bambu di perdesaan. Pasalnya, populasi burung-burung kuntul jumlahnya telah jauh merosot di ekosistem perdesaan akibat berbagai gangguan. Misalnya, pohon-pohon bambu sebagai habitat tempat pemondokan dan tempat bersarang burung-burung kuntul, telah banyak yang hilang karena ditebangi dan lahannya beralih fungsi menjadi berbagai peruntukan lain, seperti pendirian rumah-rumah baru. Demikian pula kawasan sawah sebagai habitat mencari pakan burung-burung kuntul telah berkurang, karena sebagian sawahnya dialihfungsikan menjadi berbagai lahan terbangun. Sementara jenis-jenis pakannya di sawah telah banyak terkontaminasi oleh racun pestisida, sehingga burung-burung kuntul pun keracunan pestisida secara langsung ataupun tidak langsung.

Kini kendati masih semarak dapat disaksikan banyak kelompok burung pemakan padi di petak-petak sawah yang terfragmentasi, aneka ragam jenisnya telah mengalami penurunan dibandingkan dengan di masa lalu. Kelompokan jenis-jenis burung pemakan padi, kini umumnya hanya didominasi oleh burung piit/pipit (Lonchura leucogastroides) , peking (Lonchura punctulata) dan bondol (Lonchura maja). Sementara jenis-jenis burung lainnya, seperti gelatik (Lonchura/Padda oryzivora), prit mas/prit benggala (Amandava amandava),  eusing/bondol hijau (Erythrura parsina), dan manyar (Ploceus hypoxabthus), cenderung kian sulit untuk dapat disaksikan lagi di kawasan sawah.  Bahkan, burung gelatik, misalnya, burung yang sejatinya merupakan burung endemik, yang penyebaran aslinya hanya di temukan di P. Jawa, Kangean dan Bali, sepertinya telah punah secara lokal di berbagai kawasan perdesaan. Faktor penyebabnya, di antaranya karena burung gelatik marak diburu secara liar, karena laku diperdagangkan di pasar-pasar burung dan juga untuk di ekspor ke luar negeri. Kini status burung gelatik menurut IUCN (International Union for Conservation Nature) telah dimasukkan dalam kategori  rentan (vulnerable) punah di alam dan masuk Appendix II CITES (Convention on International in Endangered Species on Wild Fauna and Flora), artinya burung tersebut hanya boleh diperdagangkan dan di ekspor kalau ada izin dari pihak pemerintah.

Sementara  jenis-jenis burung pemakan padi lainnya, seperti piit, peking, dan bondol, populasinya masih cukup berlimpah, di antaranya karena kurang populer dipelihara oleh penduduk dibandingkan dengan jenis-jenis burung pemakan padi lainnya, terlebih dibandingkan dengan jenis-jenis burung kicau. Pada umumnya jenis-jenis burung pemakan padi tersebut biasa diperdagangkan di pasar burung dengan harga murah. Oleh karena itu, tidaklah heran,  biasanya para pedagang burung  guna mendongkrak harga jual jenis-jenis burung, rajin melakukan rekayasa, seperti bulunya dicat warna-warni serta biasa dijajakan dekat Sekolah Dasar untuk ditawarkan pada anak-anak.

Dewasa ini walaupun keragaman dan populasi burung pemakan padi cenderung berkurang, tetapi para petani cukup kewalahan menghadapi gerombolan burung-burung yang menyerang padi di sawah. Masalahnya, kini luas kawasan sawah telah menyusut dan menjadi terfragmentasi, karena marak dialih fungsikan menjadi peruntukan lahan terbangun. Selain itu, masa tanam dan masa panen padi waktunya tidak serempak lagi, sehingga sawah non-stop ditanami padi sepanjang tahun. Konsekuensinya, pakan burung berupa biji-biji padi dapat tersedia sepanjang tahun. Padahal di masa lalu, pengaruh tanam padi dan panen padi waktunya serempak. Maka, usai panen padi, burung-burung pemakan padi biasa kehilangan sumber pakannya, pengaruhnya populasi burung dapat berkurang. Tidak hanya itu, kini berbagai musuh alami bagi burung-burung pemakan padi, seperti elang dan alap-alap yang dapat mengendalikan populasinya secara alami, tidak banyak lagi jumlahnya di sawah-sawah. Mengingat jenis-jenis burung pemangsa banyak yang keracunan pestisida, imbas dari maraknya penggunaan pestisida di ekosistem sawah. Di samping itu, burung-burung tersebut biasa pula ditangkap pemburu liar untuk bahan perdagangan di kota. 

Kini kondisi vegetasi agroforestri tradisional di perdesaan, seperti pekarangan, kebun campuran/talun, dan kebun-kebun bambu tidak serimbun masa lalu, karena maraknya dialihfungsikan menjadi kebun monokultur komersial. Sementara banyak warga juga kurang atau tidak bersahabat lagi dengan burung di alam. Konsekuensinya, berbagai  kelompokan burung-burung pemakan padi, cenderung tidak lagi memilih pemondokan di kawasan permukiman perdesaan, tetapi malah memilih di tempat lain yang marak dengan lampu malam tapi aman. Misalnya, burung-burung pemakan padi di antaranya memilih tempat pemondokan di area peristirahatan (rest area), seperti Tol Cipularang, kawasan Purwakarta.

Mondok di Rest Area Tol Cipularang

Belum lama ini, misalnya, penulis menyaksikan suatu pemandangan unik menarik, di sore hari kelompokan ribuan burung-burung pemakan padi datang bergerombol untuk mencari pemondokan di kawasan semarak lampu-lampu terang benderang, di Rest Area KM 88 Tol Cipularang, di Desa Sukajaya, Kecamatan Sukatani, Purwakarta. Kelompokan  burung pemakan padi terdiri dari 3 jenis yakni piit/pipit atau di Indonesiakan oleh penulis luar dalam literatur sebagai bondol jawa (Lonchura leucogastroides), peking atau bondol peking (Lonchura punctulata), dan bondol atau bondol haji (Lonchura maja). Mereka kompak berbaur dengan sesama jenisnya ataupun dengan jenis berbeda dari famili yang sama, Estrildidae. Burung-burung tersebut sepertinya merasa senasib sepenanggungan memilih tempat pemondokan  yang aman di di kawasan Rest Area Tol Cipularang.

Pada setiap sore hari, dikala senja, menjelang magrib, sekitar jam 05.30-06.30 WIB, di lokasi Rest Area KM 88 Tol Cipularang biasa dapat disaksikan pemandangan yang menakjubkan, rombongan ribuan burung pemakan padi seperti piit, peking, dan bondol, terbang bergerombol berputar-putar di udara, lalu secara kompak bersama-sama menukik ke bawah dan hinggap di pepohonan untuk mondok di malam hari. Berbagai pepohonan, seperti kelapa sawit, mahoni, dan lainnya yang banyak tumbuh  di samping Masjid Bank Syariah Indonesia (MBI) dan toko-toko di seputar tempat parkir kendaraan roda empat, menjadi pilihan untuk mondok mereka.  Suatu hal yang menarik bahwa ketiga jenis burung padi, bergerombol terbang bersama-sama secara kompak dan damai,  memilih mondok barengan di tempat marak lampu malam di Rest Area KM 88.

Pada setiap pagi hari, sekitar jam 05.00 WIB, burung-burung pemakan padi biasa meninggalkan tempat pemondokannya pergi ke kawasan sawah untuk mencari pakan di ekosistem sawah. Berdasarkan informasi dari penduduk lokal yang bekerja di Rest Area KM  88 bahwa burung-burung pemakan padi tersebut di siang hari kemungkinan mencari pakan di sawah di kawasan Tegal Lega dan lainnya di Desa Sukajaya, Sukatani, Purwakarta, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat pemondokannya. Tidak hanya itu, di Rest Area KM 72A, Tol Cipularang arah Bandung, kawasan Cigelam, Kecamatan Babakan Cikao, Kabupaten Purwakarta, juga sama dijadikan tempat pemondokan ribuan burung pemakan padi. 

Ditilik dari perilaku burung-burung pemakan padi, seperti piit, peking, dan bondol haji ini tidak jauh berbeda dengan kebiasaan tingkah laku burung-burung kuntul, terutama di masa lalu, mondok di pohon-pohon bambu kawasan kampung dan mencari pakan di kawasan sawah.  Hanya saja yang membedakan bahwa burung-burung pemakan padi mondoknya bukan di pepohonan bambu di kawasan kampung. Tetapi mereka malah memilih kawasan hingar bingar, serta terang benderang banyak lampu di suatu Rest Area jalan tol yang mungkin dianggapnya lebih aman dari gangguan orang yang ingin menangkapnya.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//