MALIPIR #42: Dari mana Datangnya Trisilas?
Atmosfer kemasyarakatan pada dasawarsa 1950-an hingga 1960-an boleh jadi turut memungkinkan relevansi imbauan atau semboyan silih asuh, silih asah, silih asih.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
16 November 2025
BandungBergerak – Urutan mana yang benar: "silih asah, silih asih, silih asuh" ataukah "silih asuh, silih asah, silih asih"?
Menurut saya, keduanya benar tapi ada bedanya. Yang disebutkan lebih dulu adalah urutan alfabetis: a-i-u. Yang disebutkan kemudian adalah urutan logis: diasuh dulu sebelum diasah hingga tumbuh asih.
Menyangkut asal-usul dan lingkungan budayanya, patut dicatat bahwa ketiga kata tersebut dikenal baik bukan hanya dalam bahasa Sunda, melainkan juga dalam bahasa Jawa. Ada pula lagu Bali yang judul dan liriknya mengandung ungkapan "asah, asih, asuh".
Bahkan ungkapan ini sudah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia.
Kamus Basa Sunda (2006) susunan R.A. Danadibrata mengartikan ungkapan "silih asah, silih asih, silih asuh" sebagai "runtut rukun, silih titipkeun diri". Kamus lain, An Indonesian-English Dictionary (1975) susunan John M. Echols dan kawan-kawan menerangkan "asah, asih, asuh" sebagai ungkapan dari bahasa Jawa yang jadi "a teacher's slogan: teach, love, care".
Contoh pemakaian ungkapan populer ini dalam lingkungan budaya yang luas dapat kita lihat pada judul-judul buku berikut ini: Asih, Asuh, Asah Anak SD karya Bagus Satriya Budi, Asah, Asih, Asuh: Kumpulan Pemikiran karya Suria Nataatmadja dan Adi Febrianto Sudrajat, Saling Asih, Saling Asuh, Saling Asah: Suatu Renungan Bebas karangan Makaminan Makagiansar; Asih, Asah, Asuh: Keutamaan Kaum Wanita karangan Elain Donelson; dan Asih, Asah, Asuh: Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar karangan Jonathan Glazzard. Dua buku yang disebutkan belakangan kiranya merupakan terjemahan.
Judul-judul publikasi seperti itu mewartakan bahwa secara umum semboyan yang terkenal ini lazim dipakai dalam bidang pendidikan, mulai dari parenting hingga pembelajaran di sekolah formal. Semboyan ini, yang diakronimkan jadi "trisilas", juga dipakai dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 22481?PK.08.03.01/GTK tentang "Capaian Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Sunda untuk SMA dan SMK serta Pedoman bagi Jenjang SD dan SMP".
Sering sudah orang membicarakan semboyan ini, terutama dalam kaitannya dengan lingkungan budaya Sunda. Pada umumnya orang membicarakan penafsiran masing-masing, berbagi perenungan mengenai kandungan maknanya. Sekadar menyebut contohnya: artikel Pak Jakob Sumardjo, "Silih Asah, Silih Asih, SIlih Asuh" dalam Pikiran Rakyat, 14 Januari 2005, dan artikel peneliti Aam Masduki mengenai kearifan Sunda di Kampung Kuta dalam jurnal Patanjala Vol. 7 No. 2, Juni 2015.
Kiranya tidak perlu saya menambah panjang renungan mengenai hal ini. Lagi pula, di Jawa Barat hari-hari ini ada kecenderungan renungan pribadi orang yang menduduki jabatan publik mau dijadikan acuan kebijakan dan program pemerintahan. Akibatnya, para birokrat jadi pusing, dan para teknokrat kehilangan ukuran.
Minat saya adalah mencari tahu asal-usulnya atau awal mulanya semboyan itu menjadi sedemikian populernya, terutama di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Barangkali dari kaitan kemunculannya ada sesuatu yang dapat kita pelajari.
Baca Juga: MALIPIR #41: Mencari Ucu Ruba'ah, Dokter Pertama Putri Sunda
MALIPIR #40: Seri Cerita Sunda Zaman Peralihan
Sumber Tekstual
Dalam buku-buku terbitan sebelum Perang Dunia II tidak saya temukan ungkapan trisilas sebagaimana yang kini sering kita dengar. Kalaupun ada, yang kita dapatkan paling salah satu di antara ketiga ungkapan itu, khususnya ungkapan "silih asih". Kata "silih" sendiri–yakni adverbia yang menyiratkan resiprokalitas–sudah dikenal bahkan dalam manuskrip kuna.
Dalam buku Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (1987) susunan Suwarsih Warnaen dan kawan-kawan, ungkapan trisilas disinggung-singgung sebagai "ungkapan tradisional", tetapi buku itu tidak mewartakan hal-ihwal menyangkut akar tradisinya.
Kalaupun asal-usulnya mesti dicari dalam tradisi lisan, hasil-hasil dokumentasi tradisi itu yang sejauh ini telah tersedia, misalnya dokumentasi siaindiran dan puisi sawér, tidak mewartakan adanya pemakaian ketiga ungkapan itu sekaligus, melainkan salah satu di antaranya saja. Ungkapan "silih asih" terdapat dalam, misalnya, buku Sisindiran (1979) susunan R.E. Bratakusuma dkk dan Puisi Sawér (1986) susunan Yetty Kusmiaty Hadish dkk.
Teks tertua yang memuat ketiga ungkapan tersebut, yang sejauh ini saya ketahui, adalah Wawacan Jayalalana yang dikatakan berasal dari abad ke-18 dan didapatkan sebuah tim
peneliti dari seorang warga Cijulang, Pangandaran. Salinan teks tersebut beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia diterbitan pada 1977 oleh Aam Masduki dkk. Dalam cerita tersebut ada ungkapan: "Jeung dulur rék silih asuh, silih asah, silih asih."
Ketiga ungkapan itu juga terdapat dalam roman populer terbitan 1967, yakni Kapintjut ku Dunungan (Terpikat oleh Atasan) karya K. Soekarna. Dalam fiksi tersebut, ada wejangan yang berbunyi, “Pangantén tos dirapalan, ajeuna atos ngahidji disarebat lakirabi, kaiket ku serat nikah. Djadi wadjib silih asih, silih asah silih asuh malah kedah silih bélaan.”
Hal yang menarik bagi saya dari uraian dalam buku hasil penelitian Bu Suwarsih dkk itu tadi adalah penjelasan sebagai berikut: "... ungkapan yang sering terdengar keluar dari mulut orang Sunda saat ini yang memanifestasikan keinginannya ialah hurip, waras, kirab sawan, cageur, bageur. Akhir-akhir ini ditambah dengan bener, pinter, ludeung, silih asah, silih asih dan silih asuh." (1987:215). [Perhatikan kata "akhir-akhir ini" dalam kutipan tersebut].
Anggapan Sementara
Jika ungkapan "akhir-akhir ini" dari Bu Suwarsih dkk kita kaitkan dengan titimangsa publikasi hasil penelitian kepustakaan mereka, yakni paruh kedua dasawarsa 1980-an, untuk sementara saya dapat beranggapan bahwa kurun yang dimaksud tidak akan jauh dari dua atau tiga dasawarsa: sekitaran 1950-an hingga 1970-an.
Saya bertanya-tanya: atmosfer kemasyarakatan seperti apa yang sempat menggejala di Jawa Barat dalam periode tersebut yang memungkinkan popularitas ungkapan trisilas? Jika ketiga ungkapan tersebut dianggap imbauan atau cetusan harapan kolektif, fakta-fakta sosial seperti apa yang menggejala waktu itu dan berseberangan dengan kearifan populer tersebut?
Dalam periode itu, saya kira, sedikitnya ada dua guncangan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Pertama, gangguan keamanan dan retaknya persaudaraan, terutama di desa-desa, sebagai akibat dari tegangan internai dalam kehidupan bernegara setelah Indonesia merdeka, dari akhir 1940-an atau awal 1950-an hingga awal 1960-an. Dalam istilah populer kala itu, sebutannya adalah "jaman gorombolan". Kedua, konflik antarelemen masyarakat di sekitar peralihan kekusaan dari Ir. Sukarno ke Jenderal Suharto dari paruh kedua 1960-an hingga 1970-an.
Sejauh yang dapat saya tangkap dari karya sastra, khususnya yang ditulis dalam bahasa Sunda, guncangan pertama itu tadi tampaknya menimbulkan bekas yang sangat mendalam. Tidak sedikit cerpen yang mengangkat latar kesejarahan jaman gorombolan, mulai dari "Saliara Sisi Jami" (Salihara di Tepi Huma) karya Saleh Danasasmita hingga "Budah Cikapundung" (Buih Cikapundung) karya Hayati dan "Pais Hulu" (Pepes Kepala Ikan) karya Ahmad Bakri. Novel pun ada, misalnya Lembur Singkur (Dusun Terpencil) karya Abdullah Mustappa. Begitu pula lagu terkenal yang liriknya digubah oleh penyair Wahyu Wibisana, "Kembang Tanjung Panineungan" (Kembang Tanjung dalam Kenangan), mengangkat latar kesejarahan tersebut. Itulah periode tidak aman yang juga dilukiskan dalam koleksi puisi bernahasa Indinesia gubahan Ramadhan K.H., Priangan Si Jelita.
Menarik diteliti: mengapa dalam sastra Sunda kegentingan dasawarsa 1950-an mendapatkan cerminan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kegentingan di sekitar perubahan orde kekuasaan dasawarsa 1960-an? Namun, hal itu berada di luar cakupan catatan ini. Di sini saya hanya bermaksud mengajukan anggapan sementara bahwa atmosfer kemasyarakatan pada dasawarsa 1950-an hingga 1960-an, yang ditandai dengan gerakan separatis di sejumlah daerah dan rusaknya tatanan persaudaraan di desa-desa, boleh jadi turut memungkinkan relevansi imbauan atau semboyan silih asuh, silih asah, silih asih, khususnya di Jawa Barat.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

