MALIPIR #40: Seri Cerita Sunda Zaman Peralihan
Seperti bahasa Melayu (Indonesia), dalam bahasa Sunda hingga dasawarsa 1960-an dan 1970-an, ada tradisi publikasi cerpen secara reguler dalam bentuk buku seri.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
5 November 2025
BandungBergerak.id – Tidak disengaja, dari himpitan buku-buku lawas, saya temukan Tjarétjét Sulam (CS, Saputangan Bersulam). Buku 54 halaman ini merupakan salah satu seri cerita pendek keluaran penerbit Sargani –yang kini sudah tiada– di Jalan Oto Iskandardinata 438, Bandung.
CS, yang terbit pada Desember 1966, adalah buku ketiga –setelah Anting Pérak dan Demi Pasukan– yang diproduksi di bawah tajuk "Seri S.E.S.".
Nama publikasi ini kiranya mengacu kepada inisial nama trio redaktur yang menyaringnya: Saini (Karnamisastra), Enoch (Atmadibrata), dan (Djadja) Sargani.
Nama penerbitnya, CV Sargani & Co, kiranya mengacu kepada nama redaktur yang disebutkan dalam urutan ketiga. Dengan kata lain, Sargani adalah penyunting sekaligus penerbit.
Selain ketiga redaktur itu, ada pula dua "djuru gambar" alias ilustrator: Dedy Suardi dan Sukmara W. N. (Pada 1967 Dedy bergiat pula sebagai sekretaris redaksi Aktuil, majalah musik dan seni umum yang dirintis oleh Toto Rahardjo dan Bob Avianto, juga terbit di Bandung).
Kita cermati gambar kulit muka buku ini. Dapat kita lihat goresan di tepi kiri atas yang berbunyi "Gondéwa - 66". Gondéwa adalah nama majalah berbahasa Sunda pula. Majalah Sunda sejenis yang sezaman dengannya adalah Tjampaka dan Langensari, yang ulasannya atas publikasi seri S.E.S. dijadikan endorsement di sampul belakang CS.
Seperti tersurat dalam sub judulnya, "Lima Tjarita Pondok Pilihan", CS memuat lima cerpen. Judul publikasi diambil dari judul salah satu cerpen di dalamnya.
Di antara kelima cerpen, ada dua karangan asli: Tjarétjét Sulam karya Achdi A.W. dan Pais Hulu (Pepes Kepala Ikan) karya Ahmad Bakri. Selebihnya adalah karangan terjemahan: Djendral Daging Andjing karya Lin Yutang (terjemahan Satibi Karnamisastra), Herdjan karya W.S. Rendra (juga terjemahan Satibi), dan Peuntaseun Walungan Gedé (Di Seberang Sungai Besar) karya Milovan Djilas (terjemahan Priatna Afiatin).
Baca Juga: MALIPIR #37: Sengit dan Asih
MALIPIR #38: Bermain di Halaman
MALIPIR #39: Pacul dan Kerbau
Kurasi Bacaan dan Tautannya
Dari sampul muka, "pangjajap" (pengantar) redaksi, dan info di halaman belakang, boleh dong saya catat di sini beberapa anggapan sementara.
Seperti dalam bahasa Melayu (Indonesia), dalam bahasa Sunda pun hingga dasawarsa 1960-an dan 1970-an, ada tradisi publikasi cerpen secara reguler dalam bentuk buku seri. Publikasi demikian tak ubahnya dengan publikasi majalah, terbit secara reguler dan bernomor.
Tim redaksi di balik publikasi seri cerita itu bertujuan memenuhi "karesep nu rupa-rupa sarta kacida jembarna (selera yang beragam dan sangat luas)" pada masyarakat pembacanya.
Ilustrasi cerpen, yang ditangani oleh ahli tersendiri, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari daya tarik cerita buat masyarakat.
Ada pula misinya: "ngageuing nu maratja sangkan ulah titeuleum dina batjaan-batjaan anu mesum (menggugah para pembaca supaya tidak tenggelam dalam bacaan-bacaan mesum)"; "ngajak nu maratja salawasna sadar kana inti kahirupan anu sarwa ramidjud (mengajak para pembaca agar selalu menyadari inti kehidupan yang serba kusut)"; dan tidak menyediakan "batjaan hiburan anu bakal ngadjadikeun nu maratja tilelep dina pikiran-pikiran hajal sarta sasar (bacaan hiburan yang bakal menjerumuskan para pembaca ke dalam pikiran-pikiran khayal serta sesat)".
Kalangan pegiat literasi, yang pendiriannya demikian, tampaknya saling kenal, bahkan bisa berbagi suguhan bacaan buat masyarakat umum.
Dalam kurasi bahan bacaan, mereka tidak hanya mengandalkan karangan dari para penulis setempat, melainkan juga giat mengupayakan terjemahan dari bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Lagi pula, sejak mulai berembusnya "semangat modern" ke dalam sastra Sunda, karangan terjemahan memang tidak bisa dilepaskan dari dinamika sastra berbahasa ibu ini.
Pilihan bacaan, sedikit banyak, juga bertautan dengan suasana zaman. Tahun publikasi CS bertepatan dengan masa transisi kekuasaan dari Ir. Sukarno ke Jenderal Suharto. Pilihan atas cerpen karya Milovan Jilas kiranya turut mewartakan hal itu.
Simak pula salah satu endorsement buat terbitan S.E.S. dari media sezaman: "saluju jeung tritungtutan nurani rakjat (selaras dengan trituntutan nurani rakyat)". Akronim tritura adalah salah satu jargon Orde Baru kala itu.
Gorombolan dan Dorhos
Dari koleksi CS, bacaan favorit saya adalah karangan Ahmad Bakri, Pais Hulu. Saya kira, ini bukan cerpen terbaik dari AB. Namun, karakteristiknya terasa sudah familier: lukisan kehidupan orang banyak di perdesaan, terutama seperti yang tercermin dari percakapan mereka.
Cerpen ini mengangkat latar sejarah 1953. Pengarang tidak sekalipun menyebut-nyebut gerakan separatis "Darul Islam" atau "DI/TII", yang kiranya tidak begitu familier buat lidah orang banyak. Dia memakai istilah yang kiranya selaras dengan kosa kata yang lebih populer pada zamannya, yakni "gorombolan (gerombolan)" dan "dorhos". Istilah yang disebutkan belakangan merupakan onomatope alias tiruan bunyi dari letusan bedil dan helaan napas penghabisan: dor, lalu mati.
Buat saya, cerpen ini merupakan salah satu di antara cukup banyak karangan dalam bahasa Sunda yang menyimpan jejak traumatis dari zaman perpecahan di awal republik. Cerpen ini bisa diserumpunkan dengan, misalnya saja, cerpen Saliara Sisi Jami (Salihara si Tepi Huma) karya Saleh Danasasmita dan novel Lembur Singkur (Dusun Terpencil) karya Abdullah Mustappa.
Selaras dengan latar tempat dan tokohnya, kegentingan situasi politik yang tergambar dalam cerpen ini terpaut pada pengalaman kolektif di tingkat akar rumput. Cerpen ini terpusat pada satu pengalaman konyol seseorang yang sudah menyiapkan diri untuk menyantap makanan kegemarannya, tapi ketika saatnya tiba timbul desas-desus tentang bakal datangnya gerombolan ke desa. Semua orang mesti meninggalkan rumah di malam hari: anak-anak dan kaum perempuan berlindung di dalam lubang, kaum pria bersembunyi di sekitar kebun.
Seusai membaca cerpen ini, juga cerpen yang judulnya dijadikan judul koleksi, saya selipkan buku tipis ini di balik sampul kulit buku catatan kegiatan sehari-hari saya. Tentu, isinya bisa saya baca lagi sewaktu-waktu.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

