• Kolom
  • MALIPIR #41: Mencari Ucu Ruba'ah, Dokter Pertama Putri Sunda

MALIPIR #41: Mencari Ucu Ruba'ah, Dokter Pertama Putri Sunda

Ucu Ruba'ah (Oetjoe Roeba'ah) adalah putri Sunda yang lahir dari keluarga Islam modern, tampil sebagai orang pertama di kalangan kaumnya yang menjadi dokter.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Potongan berita di surat kabar Pandji Islam tanggal 18 November 1940 yang menceritakan kiprah Ucu Ruba'ah

12 November 2025


BandungBergerak.id – Pahlawanmu siapa, teman? Saya harap bukan jenderal yang pernah memerintah Indonesia dengan tangan besi. Pahlawan saya mah berasal dari kalangan ibu yang suka menolong sesama manusia. Kebetulan, dulu ada seorang dokter dari Bandung, namanya Ibu Ucu Ruba'ah (dalam ejaan zamannya: Oetjoe Roeba'ah). Ada yang kenal?

Saya sedang membuka-buka arsip kolonial yang sudah jadi domain publik melalui beberapa situs web. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada nama yang satu ini. Kata si empunya warta, pada 1940-an Dokter Ucu membuka praktik di Jalan Dalemkaum No. 11, Bandung. Layanannya ditujukan kepada masyarakat luas, khususnya kalangan ibu dan anak-anak.

Dokter dari kalangan perempuan? Tahun 1940-an? Menarik. Saya membayangkan, di Indonesia sebelum Perang Dunia II niscaya dia terbilang perempuan langka: berpendidikan tinggi dan berprofesi sebagai dokter. Dia pasti datang dari lingkungan ménak. Bukan orang sembarangan.

Sayang sekali, tulisan mengenai tokoh ini masih sedikit. Jangankan buku, artikel koran atau majalah pun baru satu-dua. Kalau teman-teman membuka pindaian koran dan majalah dari akhir 1930-an atau awal 1940-an, namanya paling Anda dapatkan dari berita surat-surat kabar seputar ujian sekolah, khususnya sekolah kedokteran.

Dalam Geneeskundige Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Berkala Kedokteran untuk Hindia Belanda), No. 80/36, 3 September 1940, misalnya, disebutkan bahwa Ucu termasuk di antara beberapa mahasiswa yang mengikuti ujian Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Batavia pada 24 Agustus 1940.

Baca Juga: MALIPIR #38: Bermain di Halaman
MALIPIR #39: Pacul dan Kerbau
MALIPIR #40: Seri Cerita Sunda Zaman Peralihan

Artikel Pandji Islam

Untung ada Pandji Islam, surat kabar mingguan yang pernah terbit di Medan. Berkala ini memuat dua artikel dalam dua edisi mengenai Dokter Ucu. Artikel pertama berupa info sekilas dalam rubrik "Warta-warta jang penting" dalam Panji Islam No. 36, 9 September 1940, halaman 10. Isinya mengabarkan tentang telah lulusnya Ucu dari ujian di Sekolah Tinggi Kedokteran.

"Dokter Poeteri Indonesia. Dalam mutatie examen penghabisan dari Geneeskudige Hoogeschool di Betawi, kabarnja antara lain-lain telah loeloes Nji R. Roebaah mendjadi dokter. Nji R. Roebaah adalah poeteri dari Kjai Hadji Raden Abdulkadir, hoofdpenghoeloe Landraad Bandoeng jang sekarang. Moela-moela Nji R. Roebaah mendapat pendidikan di sekolah rendah, kemoedian masoek ke Mulo sampai A.M.S. Kini usianya soedah 28 tahoen, dan dengan loeloesnja dari sekolah dokter tinggi itoe, Nji R. Roebaah adalah satoe-satoenja poeteri Indonesia Soenda jang moela-moela mendapat titel dokter. Siapa bilang otak poeteri Indonesia tidak tadjam?" tulis redaksi disertai ucapan selamat.

Dua kalimat terakhir itulah yang membuat saya terpikat: "putri Indonesia Sunda" berotak "tajam" tampil sebagai orang pertama di kalangan kaumnya yang jadi dokter. Hebat, bukan?

Kehebatan perempuan ini tambah kentara dalam artikel kedua yang dimuat dalam Pandji Islam No. 46, 18 November 1940, halaman 7. Artikel karya penulis yang menamakan dirinya Blagar itu mengisi satu halaman penuh yang terdiri atas tiga kolom, dengan judul "Poeteri Kita: Dr. Nj. R. Oetjoe Roeba'ah", dan dilengkapi dengan foto diri sang dokter nan cantik.

Artikel itu memerikan profil Dokter Ucu dengan memerinci riwayat pendidikannya mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Adapun ayahnya yang bekerja sebagai penghulu –jabatan keagamaan zaman kolonial– dilukiskan sebagai "kjai jang modern fahamnja tentang soal onderwijs". Onderwijs adalah istilah Belanda untuk "pendidikan".

Tercatat dalam tulisan itu bahwa Ucu lahir di Bandung, 14 Juli 1912. Nama depannya merupakan sapaan kesayangan yang lazim buat anak bungsu. Ketika baru berumur 6 tahun ia belajar mengaji kepada Kiai Muhammad Basir. Cerdas anak ini: dalam tiga minggu sudah bisa membaca aksara Arab, dan dalam tiga bulan sudah tamat baca Alqur'an.

Setelah mendapat dasar-dasar pendidikan keislaman, barulah ia dimasukkan ke dalam sekolah umum. Mula-mula ia masuk ke Frobelschool, sejenis PAUD sekarang, tapi cuma tiga bulan karena gurunya berpendapat bahwa anak ini sudah melampaui teman-teman sebayanya. Masuklah ia ke Europeesche Lagere School –sekolah dasar cara Eropa– di Cicendo pada 1918. Dari situ pendidikannya dilanjutkan ke Europeesche Meiejesschool -- sekolah perempuan cara Eropa –di Pieterspark yang sekarang dikenal sebagai Taman Dewi Sartika, dekat Balai Kota. Setamat dari situ, ia masuk sekolah menengah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di kota yang sama.

Tamat dari MULO, ia masuk ke AMS (Algemeene Middelbare School) –setingkat SMA kini– di Jakarta. Karena memang bercita-cita jadi dokter, di kota itu pula pada gilirannya ia diterima untuk belajar di Sekolah Tinggi Kedokteran.  Sudah pasti, waktu itu hampir semua mahasiswa kedokteran adalah laki-laki. Dengan restu orang tua, yang tadinya khawatir, ia tekun belajar tujuh tahun lamanya, hingga tamat. Sungguh hebat.

Simbol Islam Modern

Sebagai majalah yang membawa misi menyebarluaskan "wetenschap Islam popoeler", Pandji Islam pimpinan Z.A. Ahmad yang redaksinya diasuh oleh A.R. Hadjat memang layak memberikan ruangan yang cukup lapang buat menuturkan cerita sukses Dokter Ucu. Bu dokter berasal dari lingkungan keluarga Islam modern: berpijak pada fondasi keislaman nan kokoh, membuka diri kepada pengetahuan yang diserap dari peradaban Barat.   

Lagi pula, dari sudut pandang puritan, tampilnya perempuan Muslim yang jadi dokter jelas dapat mengatasi kesungkanan tersendiri di kalangan perempuan yang memerlukan layanan medis.

"Walaupoen sebenarnja beroeroesan dengan dokter itoe orang tidak boleh menaroeh segan dan maloe, akan tetapi tentoelah semoea orang dapat merasakan bagaimana baiknja kalau segala perempoen-perempoean (kaoem iboe) jang sakit ada sepesial dokter jang terdiri dari kaoem iboe poela," tulis majalah itu.

Itulah, teman-teman, pahlawan saya. Ia tampil sebagai teladan, merintis jalan, dan berbuat sesuatu untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi oleh orang banyak. Moga-moga, bakal ada penelusuran lebih lanjut mengenai jejak langkah tokoh yang satu ini.

 

***

 *Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//