Gelar Pahlawan Soeharto dan Jalan Keluar Bourdieu dari Legitimasi Borjuis
Pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto bukanlah akhir dari perdebatan, melainkan awal dari pertempuran simbolik untuk merebut makna sejarah Indonesia.

Muhammad Yunus Musthofa
PhD Candidate at Institute of Linguistics and International Communication, South Ural State University, Russia.
17 November 2025
BandungBergerak.id – Hari Pahlawan kali ini terasa janggal, bahkan absurd. Perasaan saya campur aduk antara lega, marah, dan getir. Ada secercah harap karena Marsinah, buruh perempuan yang gugur karena memperjuangkan keadilan, akhirnya mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan nasional. Tetapi bersamaan dengan itu, ada juga perasaan marah dan kecewa karena Soeharto (bersama Sarwo Edhie Wibowo) juga dianugerahi gelar yang sama. Bagaimana mungkin korban dan pelaku dari sistem yang menindasnya kini disandingkan dalam satu altar penghormatan yang disebut “kepahlawanan”?
Pemberian gelar pahlawan bukanlah sekadar seremoni kenegaraan. Ia adalah tindakan simbolik yang sarat makna politik. Dalam perspektif Pierre Bourdieu, tindakan semacam ini bisa dibaca sebagai upaya legitimasi –sebuah mekanisme sosial untuk mengesahkan dan menormalkan dominasi tertentu. Gelar pahlawan bukan hanya pengakuan terhadap jasa individu, tetapi juga cara negara mendefinisikan apa yang dianggap “berjasa” bagi bangsa. Dalam kasus Soeharto, pengakuan ini tampak seperti usaha untuk meneguhkan kembali dosa Orde Baru, yakni keyakinan bahwa Soeharto adalah “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas dan kemakmuran bagi Indonesia.
Namun, bagi kelompok masyarakat kritis, narasi semacam itu sudah lama dipertanyakan. Pembangunan macam apa? Pembangunan untuk siapa? Dari mana sumber dananya? Dan yang paling penting, apa dan berapa harga yang harus dibayar rakyat untuk mencapai stabilitas yang dibanggakan itu? Di balik swasembada beras dan stabilitas nasional, ada represi, pembungkaman, dan ketimpangan struktural yang begitu dalam. Maka, ketika Soeharto diberi gelar pahlawan, wajar bila muncul kemarahan. Gelar itu terasa seperti upaya untuk melupakan sejarah kekerasan yang dijalankan rezimnya: dari pembantaian 1965–1966, pembredelan pers, penghilangan aktivis, hingga korupsi sistemik yang mengakar hingga kini. Pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto adalah upaya untuk membuat pertanyaan-pertanyaan kritis tadi tidak relevan, karena itu berarti mempertantangkan yang legitimate dan tidak legitimate.
Meskipun demikian, legitimasi menurut Bourdieu tidak pernah tunggal. Ia selalu lahir dari pergulatan kekuasaan dalam arena sosial, tempat berbagai kelompok memperebutkan pengakuan atas kebenaran dan nilai. Bourdieu membedakan tiga jenis legitimasi: Legitimasi spesifik –pengakuan yang diberikan oleh kelompok profesional atau komunitas sejawat terhadap anggotanya. Misalnya, pengakuan akademisi terhadap karya ilmuwan lain. Legitimasi populer –konsekrasi yang datang dari massa luas, publik umum, atau “pasar sosial”. Legitimasi borjuis –legitimasi yang datang dari fraksi dominan dalam kelas berkuasa, biasanya dilembagakan melalui institusi negara.
Baca Juga: Cacat Gelar Pahlawan Soeharto
Gelar Pahlawan Nasional Soeharto dan Reformasi 1998
Pahlawan Tanpa Dosa, Korban Tanpa Nama: Komedi Gelap dari Negeri Bernama Indonesia
Pertempuran Simbolik
Pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto, jelas merupakan bentuk legitimasi borjuis. Ia diberikan oleh negara yang alat utama kelas dominan dan diperkuat oleh jaringan elite politik dan institusi yang diuntungkan oleh kekuasaan Orde Baru. Namun, legitimasi borjuis bukan tanpa celah. Setiap bentuk legitimasi dapat dipertarungkan di arena sosial melalui produksi counter-discourse atau narasi tandingan yang menantang versi kebenaran dari penguasa.
Dengan kata lain, kepahlawanan Soeharto bukanlah akhir dari perdebatan, melainkan awal dari pertempuran simbolik untuk merebut makna sejarah Indonesia. Mengaktifkan legitimasi populer dan legitimasi spesifik adalah jalan melawan legitimasi borjuis. Legitimasi populer diaktifkan dengan membangun kesadaran masyarakat luas agar tidak pasrah menerima narasi resmi negara. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Butuh waktu panjang, energi kolektif, dan keberanian untuk melawan arus dominasi media massa yang dibanjiri buzzer, serta kurikulum pendidikan yang sedang disusun untuk mensterilkan sejarah.
Namun, perlawanan simbolik ini niscaya. Misalnya, dengan mengingatkan publik bahwa banyak capaian yang diklaim sebagai keberhasilan Orde Baru ternyata menyimpan kontradiksi mendasar. Ambil contoh “swasembada pangan” yang sering dijadikan simbol kejayaan Soeharto. Faktanya, yang tercapai hanyalah swasembada beras, bukan swasembada pangan. Akibatnya, masyarakat menjadi tergantung pada satu komoditas, lalu keragaman bahan pangan lokal tersingkir. Menyadarkan publik akan kontradiksi ini adalah langkah penting dalam membangun legitimasi populer. Di sinilah peran masyarakat sipil, aktivis, jurnalis independen, dan akademisi kritis menjadi sangat penting: membongkar mitos, membuka arsip, dan mengembalikan sejarah kepada rakyat.
Sedangkan dalam ranah legitimasi spesifik, Soeharto sudah kalah telak. Dalam komunitas akademik dan kelompok profesional yang otonom, sulit menemukan konsensus bahwa Soeharto layak disebut pahlawan. Amnesty International, YLBHI, KontraS, Gerakan Nurani Bangsa, dan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya telah lama menolak narasi kepahlawanan tersebut. Mereka memiliki basis pengetahuan dan bukti yang kuat tentang pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi selama masa kekuasaannya. Bahkan di lingkungan sejarawan yang terikat pada institusi negara pun, seperti dosen sejarah di PTN, misalnya, keputusan pemberian gelar Soeharto memicu perdebatan panjang. Pada bidang legitimasi spesifik, resistensi terhadap gelar pahlawan Soeharto tetap hidup –dan semakin menguat karena didukung bukti empiris serta kajian kritis.
Pertarungan di Arena Sosial Bourdieu menyebut medan sosial sebagai arena (field), tempat berbagai aktor saling berebut legitimasi dengan modal yang berbeda: modal ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik. Arena inilah yang kini menjadi tempat pertempuran makna “pahlawan”. Di satu sisi, negara dengan seluruh instrumennya berusaha mempertahankan legitimasi borjuis; di sisi lain, masyarakat kritis berupaya membangun legitimasi populer dan spesifik sebagai tandingan. Ketika ketiga bentuk legitimasi ini saling bertabrakan, doxa yang selama ini dianggap wajar mulai retak.
Narasi kepahlawanan Soeharto akan terus digugat. Gelar pahlawan untuk Soeharto bukanlah akhir dari sejarah, melainkan babak baru dari pertarungan panjang atas ingatan dan legitimasi kepahlawanan di arena sosial. Negara boleh memberi gelar, tapi masyarakat berhak menafsirkan ulang.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

