• Opini
  • Untuk Siapa Kita Menulis

Untuk Siapa Kita Menulis

Menulis seharusnya tidak berhenti pada keinginan untuk didengar. Ia harus bergerak menuju kesadaran bahwa setiap tulisan memiliki dampak.

Pinggala Adi Nugroho

Lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Teknokrat Indonesia. Mencoba kembali menulis setelah setahun vakum. Dapat dihubungi di instagram n_adingrho

Buku adalah teman dialog yang menggugah nalar dan rasa. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

18 November 2025


BandungBergerak.id – Pertanyaan “untuk siapa sebenarnya kita menulis” mungkin terdengar klise, tetapi di baliknya tersembunyi persoalan mendasar tentang kesadaran dan tanggung jawab. Menulis sering dianggap sekadar kegiatan menuangkan isi kepala. Padahal, setiap tulisan selalu membawa posisi, kepentingan, dan pembaca yang dibayangkan. Tidak ada tulisan yang benar-benar lahir di ruang hampa; selalu ada konteks pribadi, sosial, politik, dan budaya yang membentuknya. Dengan kata lain, menulis bukan hanya tentang memilih kata dan kalimat yang indah, tetapi juga tentang memilih sikap yang dituangkan dalam secarik kertas.

Banyak penulis mengira mereka menulis untuk diri sendiri –sebagai bentuk ekspresi, katarsis, atau pelarian. Itu sah-sah saja. Tapi menulis selalu melibatkan “yang lain”: pembaca, editor, algoritma, bahkan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Sehebat apa pun penulis berusaha menjaga keotentikan, tulisannya tetap akan bersinggungan dengan ruang publik, dengan tafsir orang lain, bahkan dengan sensor halus dari lingkungan sosial. Di sinilah muncul paradoks: kita menulis untuk menyuarakan diri, tetapi justru kehilangan kendali begitu tulisan itu dibaca orang lain.

Filsuf Michel Foucault pernah menyinggung soal “hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan.” Dalam konteks menulis, hubungan itu sangat nyata. Setiap tulisan adalah bentuk produksi pengetahuan, dan setiap pengetahuan punya implikasi politik: siapa yang berbicara, siapa yang didengar, dan siapa yang disingkirkan dari percakapan. Maka, menulis sebenarnya juga tindakan politik, bahkan ketika yang dibahas bukan hal politik sekalipun. Tulisan adalah cara untuk menegaskan keberadaan dan memengaruhi cara orang melihat dunia.

Menulis bukan hanya tentang menyampaikan fakta. Setiap tulisan membawa pengetahuan yang bisa membentuk cara orang melihat dunia. Kata-kata yang dipilih, sudut pandang yang ditampilkan, dan fakta yang disorot bisa menormalisasi perilaku tertentu atau membuat sesuatu terlihat “benar” di mata masyarakat. Dengan begitu, tulisan juga ikut memperkuat kekuasaan yang ada, meski tidak selalu disadari.

Di sisi lain, menulis bisa menjadi alat kritis. Dengan menyoroti perspektif yang jarang terdengar, menantang pandangan dominan, atau mempertanyakan hal-hal yang dianggap biasa, tulisan bisa membuka cara pandang baru. Pengetahuan yang dibangun melalui tulisan bisa memberi pembaca kesempatan untuk berpikir ulang, berdiskusi, dan melihat hal-hal dari sudut lain.

Artinya, menulis bukan sekadar menyampaikan informasi. Tulisan adalah tempat di mana pengetahuan dan kekuasaan saling bertemu. Menjadi penulis berarti juga memahami tanggung jawab: setiap kata yang ditulis bisa membentuk cara orang berpikir, melihat, dan bertindak. Kesadaran ini membuat praktik menulis lebih dari sekadar aktivitas menulis; ia menjadi cara ikut membentuk masyarakat dan membuka ruang bagi perubahan.

Baca Juga: Menulis untuk Perubahan, Advokasi Keadilan Iklim Bersama Pemuda Lintas Iman Kota Bandung
Menulis Orang Mati
Kaum Hawa Bercerita: Peluncuran Antologi Cerpen Perempuan yang Menulis Langit dari Bandung

Ketika Tulisan Jadi Komoditas

Era digital membuat pertanyaan tentang “untuk siapa kita menulis” jadi semakin rumit. Dulu, menulis adalah aktivitas reflektif: kita menulis karena ingin menyampaikan gagasan, pengalaman, atau pemikiran. Kini, menulis sering kali dilakukan untuk “dilihat.” Media sosial mengubah tulisan menjadi konten. Sesuatu yang dinilai dari seberapa banyak yang disukai, dibagikan, atau dikomentari. Tulisan bukan lagi ruang berpikir, melainkan alat untuk membangun citra dan eksistensi digital.

Logika algoritma menggeser logika intelektual. Tulisan yang viral sering kali bukan yang paling berisi, tapi yang paling memicu emosi. Akibatnya, banyak penulis muda terjebak dalam jebakan engagement: menulis untuk mendapatkan perhatian, bukan untuk menyampaikan gagasan yang bermakna. Tulisan kehilangan fungsi kritisnya dan berubah menjadi komoditas cepat saji. Ia tidak lagi lahir dari proses berpikir yang panjang, melainkan dari dorongan untuk tetap relevan di mata mesin pencari dan audiens yang sering kali cepat bosan.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari cara industri digital bekerja. Platform media sosial dan portal berita daring menciptakan ekosistem di mana tulisan diperlakukan seperti barang dagangan. Semakin banyak klik, semakin tinggi nilainya. Maka, orientasi penulis pun bergeser: bukan pada kebenaran, tetapi pada keterjangkauan. Ini bukan sekadar soal etika pribadi, tapi soal struktur. Sistem membuat penulis berpikir secara instan, dan pembaca pun terbiasa mengonsumsi informasi tanpa sempat mencerna.

Namun, di tengah situasi yang serba cepat ini, menulis justru bisa menjadi tindakan perlawanan. Menulis dengan kesadaran kritis pelan, reflektif, dan argumentatif adalah cara untuk menolak dikendalikan oleh algoritma. Tulisan yang lahir dari kejujuran dan ketekunan berpikir masih sangat punya daya ubah, meski tidak viral. Ia mungkin tidak menembus trending topic, tapi mampu menembus kesadaran pembaca yang lelah dengan hiruk pikuk opini dangkal.

Menulis Sebagai Tanggung Jawab

Menulis seharusnya tidak berhenti pada keinginan untuk didengar. Ia harus bergerak menuju kesadaran bahwa setiap tulisan memiliki dampak. Kata-kata bisa menyembuhkan, tapi juga bisa melukai. Karena itu, menulis selalu menuntut tanggung jawab etis. Apa yang kita tulis hari ini bisa membentuk cara orang berpikir besok. Maka, setiap penulis perlu bertanya: apa tujuan saya menulis? Apakah untuk menyebarkan gagasan, menantang kebiasaan berpikir, atau sekadar menambah kebisingan di media sosial dan portal berita?

Tulisan yang baik tidak selalu menyenangkan, tapi seharusnya mencerahkan. Ia tidak harus viral, tapi penting untuk jujur. Tugas penulis bukan hanya menciptakan opini, tetapi mengajak pembaca untuk berpikir ulang. Inilah esensi jurnalisme dan penulisan kritis: menghadirkan ruang refleksi di tengah derasnya arus informasi. Dalam dunia yang dipenuhi kebisingan, tulisan yang paling bermakna justru yang berani menghadirkan keheningan yang memaksa orang berhenti dan berpikir.

Pada akhirnya, pertanyaan “untuk siapa sebenarnya kita menulis” tidak perlu dijawab secara mutlak. Kita menulis untuk diri sendiri, untuk pembaca, untuk masyarakat, bahkan untuk waktu yang belum tiba. Tapi satu hal pasti: kita menulis untuk menegaskan keberpihakan. Menulis berarti memilih posisi pada kebenaran, pada keadilan, pada nalar yang sehat. Karena di tengah derasnya arus kebohongan dan banyaknya kepalsuan, tulisan yang jujur dan kritis tetap punya daya yang langka: daya untuk menyadarkan para pembaca.

Menulis, pada akhirnya, bukan tentang seberapa banyak orang membaca, tetapi seberapa jauh tulisan itu menantang cara berpikir pembacanya. Jadi, untuk siapa kita menulis? Mungkin jawabannya sederhana: kita menulis untuk siapa pun yang masih mau berpikir.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//