Cucun Syamsurizal vs Gen Z: Gagalnya Komunikasi Politik dalam Ruang Publik
Pernyataan Cucun Syamsurizal membuka diskusi tentang etika komunikasi politik dan partisipasi warga dalam kebijakan publik yang berdampak pada jutaan anak Indonesia.

Mang Sawal
Praktisi komunikasi dan pembelajar pada Program Doktoral Unisba dengan fokus pada komunikasi sains. Aktif di berbagai kegiatan edukasi publik.
19 November 2025
BandungBergerak - Minggu, 16 November 2025, Rapat Konsolidasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) program Makan Bergizi Gratis (MBG) digelar di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Acara yang seharusnya menjadi ruang koordinasi produktif antara pemerintah pusat, daerah, dan stakeholder program gizi ini, berakhir dengan kontroversi yang mengguncang dunia profesional kesehatan Indonesia.
Rapat tersebut menghadirkan sejumlah pembicara penting, di antaranya Bupati Kabupaten Bandung Dadang Supriatna, Wakil Kepala I Badan Gizi Nasional Nanik Sudaryati Deyang, Wakil Kepala BGN Sony Sonjaya, serta Wakil Ketua DPR RI mewakili daerah pemilihan Jawa Barat II Cucun Ahmad Syamsurizal.
Diskusi memanas ketika seorang peserta, nampak masih muda, memberikan masukan konstruktif terkait kesulitan Badan Gizi Nasional dalam merekrut ahli gizi. Ia menyarankan jika pengawas SPPG tidak memiliki latar belakang pendidikan gizi, sebaiknya tidak menggunakan embel-embel "ahli gizi". Peserta perempuan ini juga mengusulkan agar BGN berkolaborasi dengan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dan Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) untuk mengatasi kekurangan tenaga profesional.
Belum tuntas peserta itu menyampaikan pandangannya, Cucun memotong dengan nada keras: "Kamu itu (bicaranya) terlalu panjang. Yang lain kasihan. Saya enggak suka anak muda arogan kayak gini. Mentang-mentang kalian sekarang dibutuhkan negara, kalian bicara undang-undang. Pembuat kebijakan itu saya".
Cucun kemudian menyatakan dengan tegas: "Semua keputusan di republik ini saya tinggal pegang palu, selesai. Saya tidak mau mendengar ada orang sombong". Cucun juga menyebut tidak perlu ahli gizi. Tinggal melatih lulusan SMA cerdas selama tiga bulan dan memberikan sertifikasi BNSP untuk menggantikan peran ahli gizi profesional.
Yang membuat situasi semakin rumit adalah pernyataan pejabat BGN yang hadir dalam rapat tersebut, karena mereka ikut menggemakan pernyataan Cucun.
Video cuplikan pernyataan Cucun dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial, terutama TikTok dan X (Twitter). Hingga Minggu pagi, video tersebut telah ditonton 619 ribu kali, disukai 31.600 orang, dan dikomentari 1.563 kali. Respons publik sebagian besar negatif, dengan banyak netizen mengkritik sikap yang dianggap meremehkan profesi kesehatan. Akun resmi TikTok Partai Gerindra bahkan mengomentari: "Bahaya banget itu ngomongnya. Anggota DPR RI itu yang ngomong, bukan dari BGN".
Menghadapi badai kritik, Cucun kemudian meminta maaf dan memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa pernyataannya adalah respons terhadap usulan perubahan istilah dari peserta forum, bukan bermaksud menyudutkan profesi ahli gizi. Cucun mengklaim telah berdiskusi dengan Ketua Persagi dan menegaskan tidak berniat meremehkan profesi tersebut. Pertemuan lanjutan diadakan pada Senin, 17 November 2025, antara pimpinan DPR dengan BGN dan Persagi. Dalam pertemuan tersebut, Cucun menggunakan metafora yang tidak lazim: "BGN dan Persagi sudah mau menikah," merujuk pada komitmen kerja sama untuk memenuhi kebutuhan ahli gizi dalam program MBG.
Meski permintaan maaf telah disampaikan, peristiwa ini meninggalkan jejak penting tentang bagaimana seharusnya komunikasi politik berlangsung dalam ruang publik, terutama ketika menyangkut kebijakan yang berdampak pada kesehatan jutaan anak Indonesia.
Partisipasi Warga dan Komunikasi Politik dalam Ruang Publik
Partisipasi politik tidak berhenti di bilik suara. Ramlan Surbakti dalam buku "Memahami Ilmu Politik" (2005) mendefinisikan partisipasi politik sebagai segala bentuk keikutsertaan atau keterlibatan warga negara biasa yang tidak memiliki wewenang, dalam menentukan keputusan yang dapat mempengaruhi hidupnya. Definisi ini menekankan bahwa partisipasi mencakup seluruh tahapan kebijakan: pembuatan keputusan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Dalam literatur ilmu politik, partisipasi dibedakan berdasarkan bentuk kegiatan, motivasi, dan intensitas.
Berdasarkan bentuk kegiatan, partisipasi konvensional mencakup diskusi politik, pembentukan organisasi, kampanye, dan keterlibatan dalam forum kebijakan publik. Sebaliknya, partisipasi non-konvensional meliputi pengajuan petisi, demonstrasi, mogok, hingga bentuk protes yang lebih radikal. Dari sisi motivasi, partisipasi otonom muncul dari kesadaran dan pemahaman mendalam terhadap isu politik, sedangkan partisipasi mobilisasi didorong oleh faktor eksternal dan sering kali mengabaikan pemahaman yang utuh.
Milbrath dan Goel mengklasifikasikan intensitas partisipasi ke dalam tiga kategori: apatis, spektator, dan gladiator. Apatis adalah mereka yang tidak berpartisipasi sama sekali, spektator minimal pernah ikut memilih dalam pemilu, sedangkan gladiator adalah warga yang aktif terlibat dalam berbagai aspek proses politik [Milbrath, L. W., & Goel, M. L. (1977). Political participation: How and why do people get involved in politics? (2nd ed.). Chicago, IL: Rand McNally College Publishing].
Dalam kasus rapat BGN di Kabupaten Bandung, peserta yang memberikan usulan dapat dikategorikan sebagai "gladiator", warga yang secara aktif terlibat dalam proses kebijakan publik melalui partisipasi konvensional dalam forum resmi pemerintah yang seharusnya menjadi ruang publik yang ideal.
Jürgen Habermas (1984) mengembangkan konsep demokrasi deliberatif yang sangat relevan untuk menganalisis kasus ini. Dalam pandangannya, demokrasi sejati membutuhkan ruang publik (public sphere), sebuah arena komunikasi politik yang berdiri di antara masyarakat sipil dan negara.
Konsep deliberasi Habermas menekankan bahwa sebuah keputusan memiliki legitimasi jika telah melalui proses diskursus di mana semua isu dibahas bersama pihak-pihak yang terlibat langsung dengan isu dalam posisi semua pihak setara dan tidak ada tekanan atau dominasi dari pihak tertentu. Ruang publik yang ideal adalah ruang di mana komunikasi bersifat rasional-komunikatif, bukan instrumental atau manipulatif. Komunikasi rasional-komunikatif bertujuan mencapai pemahaman bersama (mutual understanding) melalui argumentasi yang valid, bukan untuk memenangkan perdebatan [Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Reason and the rationalization of society (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Boston, MA: Beacon Press].
Dari perspektif itulah muncul konsep etika komunikasi dalam ruang publik, termasuk etika komunikasi politik, yang membahas tentang baik-buruknya tindakan komunikasi politik yang dilakukan seorang komunikator politik. Konsep itu menyebut komunikator politik yang beretika memiliki karakteristik jujur dengan menyampaikan informasi yang akurat dan tidak manipulatif, kemudin berani menyampaikan pandangan dengan bertanggung jawab, dapat dipercaya dengan konsisten antara ucapan dan tindakan, serta santun dengan menggunakan bahasa yang tidak merendahkan atau menyinggung, dan menghormati kepakaran dengan mengakui dan menghargai keahlian profesional. Prinsip fundamental komunikasi politik di ruang publik adalah tidak memanipulasi kepentingan publik.
Kegagalan Deliberasi dalam Ruang Publik
Rapat konsolidasi BGN di Kabupaten Bandung seharusnya menjadi contoh ideal dari ruang publik deliberatif. Semua elemen hadir: pejabat pemerintah pusat dan daerah, profesional kesehatan, dan mitra program. Namun, yang terjadi justru kegagalan sistemik dalam implementasi prinsip komunikasi deliberatif.
Pertama, terjadi asimetri kekuasaan yang ekstrem. Ketika seorang Wakil Ketua DPR RI, salah satu posisi paling powerful dalam sistem politik Indonesia, merespons usulan peserta biasa dengan nada meremehkan, ruang publik yang seharusnya setara langsung runtuh. Frasa "tidak perlu orang-orang seperti kalian yang merasa sombong" bukan hanya tidak santun, tetapi juga membangun hierarki komunikasi yang melanggar prinsip posisi setara dalam musyawarah.
Kedua, terjadi pembungkaman sistemik (systematic silencing). Fakta bahwa dua Wakil Kepala BGN yang hadir tidak berani membela profesionalisme ahli gizi menunjukkan bagaimana dinamika kekuasaan dapat membuat pihak-pihak yang seharusnya menjadi advocate justru terlibat lancung. Ini adalah manifestasi nyata dari pola patron-klien, betapa posisi jabatan publik yang berbasis transaksi politik tidak akan berpihak kepada kepentingan publik. Nepotisme memelihara budaya ewuh pakewuh.
Ketiga, substansi argumentasi diabaikan. Usulan peserta sebenarnya sangat konstruktif: jika tidak ada ahli gizi, jangan gunakan label "ahli gizi" serta kolaborasilah dengan organisasi profesi. Ini adalah usulan yang rasional dan berbasis pada prinsip profesionalisme. Namun, respons yang diberikan justru mengalihkan diskusi ke arah solusi yang mempertanyakan pentingnya pendidikan formal dan profesionalisme itu sendiri.
Dari perspektif etika komunikasi politik, pernyataan Cucun melanggar hampir semua prinsip dasar, yang pertama, Melanggar Prinsip Kesantunan. Kalimat "tidak perlu orang-orang seperti kalian yang merasa sombong" jelas merupakan serangan personal (ad hominem) yang tidak pantas dalam diskusi kebijakan publik. Dalam konteks apa pun, apalagi dalam forum resmi pemerintah, bahasa yang merendahkan tidak dapat dibenarkan.
Kedua, Mendiskreditkan Pakar Profesional. Pernyataan bahwa lulusan SMA dengan pelatihan tiga bulan bisa menggantikan ahli gizi yang menempuh pendidikan S1 selama empat tahun merupakan bentuk diskreditasi sistemik terhadap profesi. Ini berbahaya karena membuka preseden bahwa kepakaran dan pendidikan formal tidak penting dalam kebijakan publik.
Terakhir, Komunikasi Instrumental vs Komunikasi Rasional. Cucun menggunakan komunikasi instrumental bertujuan memenangkan posisi, bukan komunikasi rasional yang bertujuan mencapai pemahaman bersama. Frasa seperti "yang penting adalah satu tenaga yang mengawasi gizi" adalah simplifikasi berlebihan yang mengabaikan kompleksitas ilmu gizi.
Kasus ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana partisipasi warga dalam proses politik dapat terhambat oleh respons yang tidak tepat dari pejabat publik. Seorang permpuan muda, sebagai peserta yang memberikan usulan, telah melakukan partisipasi politik otonom dalam bentuk konvensional. Ia datang dengan pemahaman terhadap isu, memberikan solusi konstruktif, dan menggunakan jalur formal yang tepat. Ia adalah contoh "gladiator" dalam tipologi Milbrath-Goel, warga yang aktif terlibat dalam proses kebijakan. Namun, respons yang meremehkan justru menciptakan chilling effect, efek menakut-nakuti yang membuat warga lain enggan berpartisipasi di masa depan. Jika memberikan usulan konstruktif dalam forum resmi malah direspons dengan cara demikian, berapa banyak warga yang akan berpikir dua kali sebelum memberikan masukan di kemudian hari?
Ini adalah kerugian besar bagi demokrasi. Partisipasi warga dalam kebijakan publik, terutama kebijakan yang berdampak pada kesehatan jutaan anak, adalah aset yang harus dijaga dan difasilitasi, bukan dipatahkan dengan respons yang tidak dewasa.
Baca Juga: AI dan Renungan tentang Kemanusiaan
Kematian Affan Kurniawan dan Runtuhnya Kepercayaan Publik pada Institusi Polisi
Pelajaran Penting dari Kasus Cucun vs Gen Z
Ada tiga hal fundamental yang dapat dipeajari dari kasus ini, yaitu pertama, komunikasi politik di ruang publik harus mematuhi etika dasar: santun, menghormati kepakaran, dan berorientasi pada pemahaman bersama, bukan dominasi. Kedua, partisipasi warga dalam kebijakan publik adalah hak konstitusional yang harus dilindungi dan difasilitasi, bukan dipatahkan dengan respons yang meremehkan. Ketiga, profesionalisme dan pendidikan formal tetap relevan dan penting, terutama dalam program yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat.
Program Makan Bergizi Gratis adalah program raksasa dengan anggaran puluhan triliun rupiah. Ini bukan program sederhana yang bisa dikelola dengan pendekatan instan. Gizi anak adalah fondasi kesehatan jangka panjang, perkembangan kognitif, dan produktivitas masa depan bangsa. Karena itu, BGN harus melakukan penguatan kolaborasi dengan organisasi profesi, standarisasi kompetensi, transparansi implementasi, dan mekanisme pengaduan yang terbuka harus segera diwujudkan. Organisasi profesi seperti Persagi harus melakukan advokasi proaktif, edukasi publik, dan dukungan bagi anggotanya. Media juga memiliki peran penting untuk memberikan liputan mendalam, mengedukasi publik, dan memverifikasi informasi sekitar program MBG. Masyarakat harus tetap berpartisipasi, menggunakan media sosial dengan bijak, mendukung kepakaran, dan memantau implementasi program MBG yang sejatinya dibiayai oleh rakyat.
DPR RI sebagai instrumen politik demokratis harus memperkuat kode etik anggota dewan agar tidak kembali terulang aksi massa akibat kesalahan komunikasi publik oknum parlementarian. Harus ada konsekuensi tegas ketika anggota DPR melanggar etika komunikasi publik, bukan sekadar permintaan maaf seremonial dan cuti beberapa bulan. Ciptakan juga mekanisme formal untuk konsultasi publik yang menjamin semua pihak diperlakukan setara dan hormat. Lakukan pelatihan reguler tentang komunikasi publik, etika politik, dan prinsip demokrasi deliberatif yang bukan mufakat manipulatif.
Wakil Rakyat Adalah Pelayan Rakyat
Kontroversi Cucun adalah cermin dari kondisi demokrasi kita. Demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin setiap lima tahun. Demokrasi adalah tentang bagaimana sehari-hari keputusan dibuat bersama, bagaimana warga berpartisipasi dalam proses itu, dan bagaimana pejabat publik berkomunikasi dengan rakyat yang mereka wakili. Posisi wakil rakyat adalah pelayan rakyat yang diwakilinya, serendah apapun status ekonomi, sosial dan pendidikan rakyat itu. Merekalah pemegang kedaulatan tertinggi republik.
Kontroversi ini seharusnya tidak berakhir dengan permintaan maaf dan seremoni. Ini harus menjadi momentum reformasi yang lebih fundamental: bagaimana negara melibatkan warga dalam kebijakan publik, bagaimana para pejabat menghormati kepakaran dan profesionalisme, dan bagaimana kita membangun ruang publik yang benar-benar deliberatif. Demokrasi yang sehat dimulai dengan mendengarkan dan mendengarkan dimulai dengan sikap hormat kepada setiap manusia.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

