• Opini
  • Dimensi Kesepian Orang Madura: Sebuah Usaha Membuka Keran Kajian Sosiologi Kesepian di Indonesia

Dimensi Kesepian Orang Madura: Sebuah Usaha Membuka Keran Kajian Sosiologi Kesepian di Indonesia

Dimensi kesepian adalah dimensi khas orang Madura sebagai suku yang identik dengan kultur merantau.

Naufalul Ihya' Ulumuddin

Mahasiswa magister sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM)

Ilustrasi. Kesehatan mental memerlukan perhatian serius dari individu maupun negara. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

20 November 2025


BandungBergerak.id – Secara ekologis, Madura tidak cukup beruntung. Kuntowijoyo (2017) dalam risetnya menunjukkan bahwa kondisi ekologis tanah dan curah hujan di Madura tidak cocok untuk pertanian basah. Ketidakberuntungan ekologis ini memaksa Madura membangun budaya kultural merantau sebagai geliat ekonominya.

Namun, kultur merantau orang Madura menyimpan dimensi pelik yang nyaris tak tersentuh. Berbagai kajian tentang merantau orang Madura selalu tertuju pada jejaring di perantauan, jenis usaha seperti warung Madura dan besi Tua, hingga ke stigma negatif tukang parkir dan premanisme. Dimensi pelik kesepian perantau Madura dan keluarga yang ditinggalkan seakan menjadi konsekuensi yang taken for granted: diterima begitu saja dan menjadi sesuatu yang di luar tanggung jawab siapa pun.

Ketika isu kesepian ditampilkan, disiplin psikologi seakan lekat bersamaan mengikutinya. Padahal, kajian kesepian menjadi medan interdisipliner, termasuk sosiologi. Secara sosiologis, kesepian bukan sekadar fenomena subjektif individual. Kesepian adalah fenomena sosial. Velde (2025) menawarkan konsep sociology of loneliness untuk membaca kesepian sebagai fenomena sosial yang tidak bisa lepas dari konteks struktural sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Misalnya, pada konteks Orang Madura, kesepian dialami seorang perantau di kota rantau. Kesepian muncul bukan hanya karena efek psikologis, melainkan sebagai efek kultural dengan motif dasar ekonomi mencari nafkah dan politik keluarga.

Lebih dari itu, tahun 2021 Jepang secara khusus membentuk kementerian kesepian sebagai upaya pendampingan sosial atas warganya pasca pandemi. Di titik ini menunjukkan bahwa kesepian bukan sekadar fenomena psikis individual, melainkan fenomena sosial yang memungkinkan menyentuh aspek ekonomi politik negara (Velde, 2025).

Baca Juga: Neoliberalisme dan Epidemi Kesepian
Secangkir Kopi dan Kesehatan Mental dan Pikiran
Bias Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Jawa Barat, Terkendala Stigma dan Masalah Struktural

Kultur Sosial Merantau Orang Madura

Secara sosiologis, fenomena merantau orang Madura memuat pola yang bersifat kultural. Berdasarkan observasi lapangan, kultur merantau orang Madura berkaitan dengan struktur keluarga. Di keluarga Madura, merantau cenderung hanya boleh diakses oleh anggota keluarga tertua (perempuan ataupun laki-laki) dan seorang suami (laki-laki). Ada semacam pantangan hegemonik pada anak perempuan terakhir dan seorang istri untuk merantau.

Misalnya, dalam satu keluarga Madura terdiri dari ayah, ibu, anak pertama laki-laki dan anak kedua perempuan. Maka, yang cenderung diizinkan merantau hanya anak pertama laki-laki. Sebab, anak perempuan dalam kultur orang Madura harus berusaha berperan sebagai penjaga kampung halaman dan tanggung jawab domestik menemani orang tua. Hal serupa juga terjadi dalam relasi suami dan istri. Di titik ini, merantau menyentuh aspek sosial-kultural.

Max Weber  (2009) menjelaskan bahwa fenomena sosial menghasilkan konsekuensi fenomena sosial yang lain. Fenomena sosial lain yang muncul sebagai konsekuensi kultur merantau orang Madura adalah kesepian (loneliness). Dalam definisi umum, merantau artinya memisahkan relasi fisik dengan rumah di kampung halaman. Dimensi kesepian dari kultur ini masih menjadi kajian yang rumpang dalam ilmu sosial Indonesia, khususnya dalam kajian tentang Madura.

Dalam konteks merantau orang Madura, dimensi kesepiannya melekat pada dua kubu. Pertama, pada anggota keluarga yang merantau. Kedua, pada anggota keluarga yang ditinggalkan merantau. Anggota keluarga yang merantau mendapat tempat yang cukup populer dalam kajian kesepian. Misalnya karya dari Mawlana & Ulumuddin (2023) menjelaskan derita anak muda perantau Madura dalam menavigasi kesepian di tanah rantau. Lebih jauh, kajian dari Masluhah & Suryani (2020) menjelaskan karakter tangguh perantau Madura dalam mengatasi kesepian dan rindu kampung halaman.

Dimensi kesepian perantau sering kali terlihat lebih kompleks. Perantau jauh dari kerabat dan harus bertahan di tanah yang asing. Maka dari itu, perantau dari Madura terkenal gigih, karena ada tuntutan dan motivasi bertahan di tengah lingkungan yang asing. Lebih dari itu, dimensi kesepiannya diredam dalam kemelut orientasi ekonomi untuk memberi kiriman pada keluarga di Madura. Ada moral ekonomi kesejahteraan keluarga sebagai bahan bakar meredam kesepian anak rantau Madura.

Kesepian Keluarga yang Ditinggalkan (Left-Behind)

Di sisi lain, kesepian juga melanda anggota keluarga yang ditinggal merantau. Misalnya, seorang anak bungsu perempuan yang biasa bermain akrab dengan kakak laki-lakinya, harus berjarak karena ada tuntutan ekonomi bagi kakaknya untuk merantau dengan misi besar ekonomi meningkatkan kesejahteraan keluarga. Inilah dimensi kesepian yang jarang disentuh sosiologi. Kesepian yang bukan hanya karena rindu, tetapi lebih pada konsekuensi kultur dengan motif ekonomi kesejahteraan keluarga.

Hal yang sama juga dapat ditilik dari sudut feminis (Magnet & Orr, 2022). Anak perempuan secara kultural tidak dianjurkan merantau. Sehingga, terkesan ada immobilisasi perempuan. Kultur perempuan sebagai penjaga rumah untuk pulang menjadi fenomena sosial yang khas dalam membingkai dimensi kesepian anggota keluarga yang ditinggalkan (left-behind) merantau.

Di titik ini, asumsi tinggal di desa yang kolektif dan guyub menjadi luruh di hadapan kesepian. Di tengah guyub kolektivisme desa, anggota keluarga yang ditinggal merantau tetap menyimpan dimensi kesepian sebagai konsekuensi kultur merantau orang Madura. Lebih jauh, dimensi kesepian ini menjadi semakin jelas tampak melalui kontras ketika keluarga yang merantau pulang di hari-hari besar. Perjumpaan fisik memunculkan dimensi kesepian dalam bentuk pelayanan yang meriah. Sambutan gembira atas anggota keluarga yang merantau seperti masak besar, deeptalk pengalaman yang antusias, hingga cerita random tentang hal-hal yang selama ini terpendam. Ekspresi gembira yang vulgar ketika anggota keluarga yang merantau pulang mengungkap dimensi kesepian yang dalam selama periode pra-perjumpaan.

Dimensi kesepian adalah dimensi khas orang Madura sebagai suku yang identik dengan kultur merantau. Dimensi kesepian melekat pada setiap aktornya, perantau dan keluarga yang ditinggal merantau. Maka dari itu, kondisi demografi yang sepi di Madura karena banyak yang merantau kian menyebar menyentuh kesepian dalam aspek sosiologis aktor sosialnya. Dari sini, gerbang kajian sosiologi kesepian mulai terbuka. Mari, mulai merayakan kesepian secara sosial!

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//