Neoliberalisme dan Epidemi Kesepian
Neoliberalisme mengubah hati dan jiwa, menjauhkan pada nilai-nilai solidaritas serta kepedulian satu sama lain, menambah parah dampak wabah kesepian.
Muhammad Andi Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
28 Desember 2023
BandungBergerak.id – World Health Organization (WHO) baru-baru ini mendeklarasikan kesepian sebagai ancaman kesehatan global yang mendesak, diikuti dengan dibentuknya Komisi Hubungan Sosial untuk menangani persoalan itu selama sedikitnya tiga tahun ke depan (Johnson, 2023). Keputusan ini mungkin terdengar berlebihan bagi beberapa orang, tapi teramat wajar bagi psikolog dan penyintas gangguan kesehatan mental.
Efek kesepian kronis—mendalam dan berkepanjangan— sangat mematikan: kecemasan, stres, melemahkan fungsi kekebalan tubuh, stroke, penyakit jantung, peningkatan tekanan darah, serta keinginan untuk bunuh diri (Jaremka dkk., 2013; Kerr & Stanley, 2021). Ahli Bedah Umum Amerika Serikat Vivek Murthy sampai memperingatkan bahwa efek kesepian kronis terhadap risiko kematian dini setara dengan merokok 15 batang/hari.
Selain mematikan bagi kesehatan fisik dan mental, kesepian juga sangat merugikan secara ekonomi. Di Inggris, kesepian telah merugikan perusahaan sekitar 2,5 miliar Poundsterling setiap tahun (Jeffrey dkk., 2017). Di Amerika Serikat, studi Gallup tahun 2020 menunjukkan bahwa kesepian menimbulkan defisit konsentrasi dan keengganan untuk bekerja sama, dan merugikan perusahaan sekitar 450-550 miliar dolar AS per tahun (Dhoot & Gupta, 2020).
Apa yang dimaksud dengan kesepian di sini bukanlah tentang minimnya kontak atau jumlah teman, tapi merupakan perasaan sedih karena kekurangan cinta atau keintiman—termasuk perasaan diabaikan atau ditelantarkan oleh sesama warga negara, atasan, komunitas, serta pemerintah. Dengan kata lain, kesepian bersifat pribadi, sosial, ekonomi, dan politik.
Ada banyak penjelasan untuk kesusahan ini, seperti budaya urban dan kemajuan teknologi, tapi menurut saya neoliberalisme juga memainkan peran utama. Saya berpendapat bahwa neoliberalisme—sebagai ideologi dominan di berbagai belahan dunia hari ini—menjadikan kita semakin terpisah, tersekat, terasing, dan terputus dari orang lain maupun diri sendiri. Singkatnya, neoliberalisme membuat kita semua (semakin) kesepian.
Baca Juga: ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #5: Menua dan Menyendiri Berteman TV
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #6: Jika Merasa Terabaikan, Pulanglah ke "Rumah Kita"
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #7: Tak Ada yang Bisa Memulihkannya Sendirian
Penjajahan Jiwa ala Neoliberalisme
Saya mengidentifikasi empat alasan mengapa neoliberalisme merupakan kontributor utama terhadap “epidemi kesepian” hari ini. Pertama, neoliberalisme terlalu menekankan wacana individualistik, meliputi—seperti yang kerap dipopulerkan oleh industri self-help—tanggung jawab pribadi dan keunggulan individu.
Dari perspektif ini, kebahagiaan dan kesejahteraan setiap orang adalah urusannya masing-masing, dan dengan demikian jika mereka gagal, tak peduli bagaimanapun keadaannya, itu semata-mata tanggung jawabnya pribadi. Meskipun seabrek penelitian telah membuktikan bahwa kesejahteraan kita sangat terkait dengan kehidupan orang lain, di mana-mana kita diberitahu bahwa kita akan makmur andaikan kita berdiri di atas kedua kaki kita sendiri.
Lalu, mengapa aspirasi tersebut dapat memicu wabah kesepian?
Individualisme pada intinya mengurangi akses seseorang terhadap kehidupan berkelompok, karena dengan tanggung jawab individu dan otonomi (berlebihan), orang menjadi sangat kuratif dalam hubungan sosialnya. Hasil dari proses kuratif ini adalah terciptanya individu-individu yang lebih mobile dan gelisah seperti sekarang ini, yang memilih untuk keluar dari keluarga besar, organisasi keagamaan, serikat pekerja, dan komunitas tradisional lainnya.
Tanpa akses terhadap semua komunitas dan kelompok semacam itu, kita bukan hanya lebih rentan mengalami kesepian, tapi kapasitas kita untuk mengakses “obatnya” juga berkurang. Plus, kita tak selalu mampu menemukan pengganti persekutuan dan rasa kebersamaan yang disediakan oleh kelompok tersebut—atau setidaknya pada taraf yang kita butuhkan.
Kedua, penekanan (ekstrem) pada persaingan telah mereduksi manusia sebagai homo socius menjadi homo economicus belaka. Individu, demikian katanya, harus bersaing satu sama lain untuk maju dan berkembang, zero-sum game. Dalam hal ini, keadilan sosial digantikan oleh kompetisi. Sistem pendidikan menjadi kian kompetitif dari tahun ke tahun, dan orang-orang putus asa, setelah bertarung sampai titik darah penghabisan, untuk memperoleh pekerjaan.
Kita bahkan diminta untuk “bersaing” dengan diri sendiri. “Kalahkan dirimu yang kemarin,” ujar seorang motivator. Mungkin beginilah distopia pasca-Hobbesian: perang semua orang melawan diri mereka sendiri. Semua orang seolah tak memiliki pilihan selain menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja dan—terutama berkat media sosial—berdandan, hingga akhirnya tak sempat untuk merangkai hubungan yang bermakna.
Dalam atmosfer kompetisi, individu tak melihat anggota masyarakat lainnya sebagai sumber dukungan, melainkan hambatan bagi kemajuan pribadi. Tanpa kohesi sosial yang kuat, nilai-nilai yang menjadikan kita “manusiawi” (seperti solidaritas dan kerja sama, dan kohesi sosial secara umum) bakal luntur dan berganti menjadi kekhawatiran, alienasi, dan pada akhirnya, kesepian.
Apa yang lebih sepi ketimbang perlombaan tiada habisnya yang membiarkan kita berjuang sendirian?
Ketiga, ketimpangan sosial-ekonomi mengurangi kapasitas masyarakat menengah ke bawah (artinya, sebagian besar orang) untuk menjangkau kekayaan sosial. Berbeda dengan filsafat ekonomi-politik lainnya, neoliberalisme justru bangga mengklaim ketimpangan sebagai efek penting dan tak terhindarkan dari sistem meritokrasi. Dengan kata lain, untuk meningkatkan persaingan dan produktivitas, kita juga harus menerima ketimpangan yang dihasilkannya.
Hal itu tampaknya menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi global lebih lambat di era neoliberal, tapi tidak bagi mereka yang sangat kaya (Bettache dkk., 2020). Populasi terkaya ini secara sistemik sangat diuntungkan, terus mengakumulasikan modal sambil menghukum sisa populasi—yang membuat sejumlah ilmuwan politik menyebut neoliberalisme sebagai “ideologi kelas atas”.
Saat yang miskin menjadi semakin miskin dan yang kaya menjadi semakin kaya, orang kaya mendapatkan kontrol yang lebih besar atas aset terpenting: uang. Dengan mengendalikan arus uang (meskipun tak sepenuhnya), kesenjangan pendapatan bukan lagi sekadar efek tak sengaja dari mekanisme meritokrasi yang dijunjung neoliberalisme, tapi lebih merupakan cetak biru bagi keseluruhan sistem itu sendiri.
Sumber daya yang terbatas mengharuskan populasi terkaya menyisakan lebih sedikit untuk sisa populasi. Apa akibatnya terhadap wabah kesepian?
Kesenjangan sosial-ekonomi yang mencolok membuat mayoritas orang—untuk waktu yang cukup lama—merasa tertinggal, dilabeli sebagai pecundang dalam masyarakat yang hanya menghargai para pemenang, dibiarkan berjuang sendirian saat tambatan tradisional mereka dalam pekerjaan dan komunitas hancur, jaring pengaman sosial mereka terkikis, dan harga diri mereka merosot.
Sungguh menyedihkan merasa tak diperhatikan, tak terlihat, dan tak berdaya dengan cara seperti itu.
Keempat, neoliberalisme mereduksi nyaris segala hal berdasarkan manfaat ekonomi, dalam arti mengeliminasi apa pun yang tak “produktif” dan tak menghasilkan profit atas investasi para pemegang saham. Akibatnya, dalam masyarakat kita yang mencintai dan menyanjung kebebasan ini, jenis perkumpulan yang melindungi orang dari kesepian mulai rontok.
Kita sudah jarang menemukan klub-klub pemuda, perpustakaan kota, perkumpulan relawan yang mendukung penyandang disabilitas, lansia, atau kelompok rentan lainnya. Pada waktu yang sama pula, anggota masyarakat yang pernah menjalankan komunitas seperti itu mulai mengering, kelelahan karena setiap tetes sumber produktivitas mereka (energi dan waktu) diperas secara tak terkendali dalam pekerjaan mereka sehari-hari.
Lalu, hasil lainnya adalah divestasi program-program kesejahteraan sosial dan swastanisasi layanan publik. Hari ini kita melihat privatisasi hampir dalam segala hal: energi, air, kereta api, rumah sakit, pendidikan, bahkan penjara. Itu semua memungkinkan banyak perusahaan mendirikan gardu tol di depan aset-aset dan menarik biaya sewa, entah kepada masyarakat maupun pemerintah, atas penggunaan aset-aset tersebut.
Sisanya merupakan fakta bahwa kita harus membayar lebih mahal (hampir) untuk apa pun.
Sedikit sekali tempat rekreasi yang bisa kita kunjungi tanpa dipungut biaya. Selain segelintir taman dan museum, kebijakan neoliberal melelang semua ruang publik untuk kepentingan komersial. Apakah membayar 50 ribu rupiah untuk menonton film atau berjalan-jalan di mal merupakan dasar yang menyehatkan sendi-sendi sosial kita?
Dalam satu pengertian, itu berarti orang harus bekerja keras—dan kadang mengadu domba satu sama lain untuk memenangkan persaingan—supaya bebas atau terobati dari kesepian, karena dengan cara pontang-panting itulah mereka mendapatkan uang untuk menjangkau tempat-tempat yang menawarkan makna dan kekayaan sosial.
Melampaui Homo Economicus
Neoliberalisme, seperti halnya komunisme, merupakan sejenis “Tuhan yang gagal”. Sistem ini secara mendalam merombak tak hanya hubungan ekonomi kita, tapi juga hubungan kita dengan satu sama lain. Tepatnya lagi, neoliberalisme tak pernah hanya kebijakan ekonomi-politik belaka; ekonomi adalah metodenya, tujuannya adalah mengubah hati dan jiwa.
Itu mengubah cara pandang kita terhadap sesama dan persepsi kewajiban kita pada orang lain—dan dalam banyak hal, neoliberalisme berhasil mencapai tujuan-tujuan itu. Sekarang, sebagai hasilnya, kita punya banyak politisi yang secara aktif dan terbuka memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, dan kita meromantisasi stiker neoliberalisme “keserakahan itu baik” di tengah perang semua-melawan-semua.
Nilai-nilai seperti solidaritas dan kepedulian satu sama lain bukan saja diremehkan, karena nilai-nilai ini kurang menguntungkan secara ekonomi, tapi juga dianggap sebagai nilai-nilai yang tak relevan bagi manusia hari ini. Di bawah beban neoliberalisme, kita telah direduksi menjadi homo economicus semata.
Jika neoliberalisme (seperti pendahulunya, kapitalisme) susah untuk disingkirkan, sedikitnya kita membutuhkan “neoliberalisme yang lebih kooperatif”. Artinya, tak terlalu bergantung pada pasar bebas dan deregulasi. Setidaknya, pemerintah harus mengakhiri ketidaksetaraan dengan membuka akses yang lebih besar dan luas terhadap kesejahteraan, jaminan sosial, dan perawatan kesehatan.
Regulasi harus mendorong bisnis untuk menerapkan praktik-praktik yang lebih inklusif, dan harus ada pihak yang mengendalikan perusahaan teknologi raksasa agar tak terus-menerus melakukan “cambuk digital”. Tak kalah pentingnya, pemerintah harus mampu meningkatkan pendapatan per kapita secara merata. Apa hubungannya dengan kesepian?
Pendapatan yang tinggi memungkinkan rekreasi sosial, termasuk koneksi dan jejaring sosial yang lebih luas—terlebih krisis finansial dapat menjadi pemicu utama gangguan kesehatan mental (Annur, 2022). Sebaliknya, orang berpenghasilan rendah biasanya memiliki jam kerja yang lebih lama dan jarang teratur, yang membuat waktu mereka untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan bermakna berkurang signifikan (Kung dkk., 2022).
Atas dasar itu, saya menyarankan langkah-langkah anti-kemiskinan, program kesejahteraan, serta sistem pensiun yang komprehensif. Langkah ini juga mencakup jaminan bahwa satu pekerjaan penuh-waktu dapat memberikan upah layak, karena dengan begitu masyarakat akan memiliki banyak waktu untuk berpartisipasi dalam aneka aktivitas non-kerja. Intinya, kebijakan kesehatan mental harus menjadi satu paket dengan kebijakan ekonomi-politik.
Pada akhirnya, kita secara kolektif telah didesain oleh sistem untuk saling berpaling, dan kita (sebagian karena kinerja sistem juga) masih menyangkal hal tersebut. Hasilnya, kita melihat bahwa wacana tentang wabah kesepian ini masih tak ada apa-apanya dibandingkan masalah obesitas atau penyalahgunaan obat-obatan, meskipun efek kesepian terhadap kesehatan—atas segala perhatian terhadap obesitas—sebenarnya lebih mematikan.
Selebriti dan influencer tak membuat iklan layanan masyarakat tentang isolasi dan kesepian, dan sejauh ini tak ada kandidat presiden yang pernah ditanya tentang masalah ini. Padahal, kebutuhan sosial adalah hak asasi manusia, dan kekurangan sosial adalah ketidakadilan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyah, dan artikel lainnya tentang Arsip Kesepian di Bandung.