ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #7: Tak Ada yang Bisa Memulihkannya Sendirian
Konselor menyarankan beberapa cara memulihkan diri dari kesepian. Di antaranya dengan menerima rasa sepi itu, lalu pergi keluar lakukan aktivitas fisik.
Penulis Muhammad Andi Firmansyah20 Desember 2023
BandungBergerak.id – Di dunia yang penuh dengan koneksi instan dan konstan ini, ketika “love” dan “share” secara virtual berlimpah, ada sesuatu yang diam-diam memangsa hati banyak orang, membuat kita saling memalingkan muka—terluka, tapi tak berdarah. World Health Organization baru-baru ini mendeklarasikannya sebagai ancaman kesehatan global yang mendesak. Orang mungkin memikirkan diabetes atau obesitas.
Yang benar adalah kesepian.
Secara umum, kesepian adalah semacam kesusahan yang dirasakan orang ketika kenyataan gagal memenuhi hubungan sosial yang diharapkan. Hal ini biasanya berupa perasaan kosong dan sedih di mana kita merindukan hubungan yang tak tersedia atau di luar jangkauan. Pada taraf normal, seperti halnya rasa lapar atau haus, kesepian adalah sebuah sinyal bahwa kita kekurangan sesuatu: penerimaan, koneksi, keintiman.
Itu berarti, kebanyakan dari kita yang bergumul dengan kesepian sebetulnya tak disebabkan oleh tiadanya akses ke orang lain, melainkan kurangnya perasaan tertentu dalam hubungan kita—dan perasaan itu adalah keintiman. Dengan demikian, meskipun kehadiran fisik orang lain mungkin bisa membantu, itu sama sekali tak cukup. Inti masalahnya lebih terletak pada kualitas dan kedalaman, bukan kuantitas hubungan kita.
Hal tersebut sekaligus menyiratkan bahwa kesepian tak sama dengan kesendirian.
“Kesendirian itu berarti orang memilih untuk sendiri sebenarnya,” jelas Trainer dan Konselor Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan (LPH Unpar) Ignatia Ria Natalia, atau akrab disapa Ria. “Sendiri itu berarti orang menjauh dari keramaian untuk menyadari dirinya sendiri; bukan karena gak butuh orang lain, tapi lebih untuk mengurangi gangguan, distraksi, atau energi-energi yang sifatnya kontraproduktif,” lanjutnya.
Dalam pengertian ini, kesendirian biasanya merupakan pilihan yang disengaja, memberikan ruang berpikir dan berekspresi, termasuk mendengarkan suara hati kita sendiri. Bayangkan introver yang membaca buku di kamarnya dengan senyap, pianis saat menjalani sesi latihan yang intens, novelis yang sedang menekuni naskahnya, pemahat kayu pada jam kreatifnya. Mereka semua sendirian, tapi tak kesepian.
Atas dasar itu pula, saran yang sering didengar, dan tak diragukan lagi bermaksud baik, agar kita “pergi keluar dan temui orang lain” bukanlah solusi tepat untuk kesepian—atau kurang lengkap, setidaknya. Apa yang penting bukanlah sejauh mana kita dikelilingi oleh orang lain, melainkan bagaimana kita mempersepsikan hubungan kita dengan orang lain. Inilah alasan beberapa orang tetap merasa kesepian di tengah sesaknya kerumunan.
“Semua orang punya potensi untuk merasa kesepian,” ungkap Ria, “Tergantung situasi atau pengalaman yang sedang dihadapi… Kesepian bisa dialami siapa saja yang dalam kondisinya seperti tercerabut dari kelompok sosialnya. Itu bisa menimpa siapa pun, bukan hanya lansia, remaja, atau individu yang tinggal sendiri. Bahkan mungkin saya sebagai praktisi kesehatan mental, saya juga bisa merasa kesepian,” lanjutnya sambil terkekeh.
Jika semua orang rentan mengalami kesepian, mungkin sebanyak itu pula faktor yang dapat memicu rasa kesepian. “Tergantung individunya,” ringkas Ria. Bagi lansia, kesepian mereka mungkin berkaitan dengan kesehatan dan produktivitas yang menurun. Bagi remaja, mereka mungkin merantau dan harus beradaptasi di kampus. Bagi penderita kanker, terutama kalau sudah stadium lanjut, itu mungkin berhubungan dengan isolasi dan perubahan fisik.
Dari banyaknya faktor tersebut, mungkin ada satu yang khas abad ke-21: media sosial.
Memang, bagi sebagian orang, apalagi jika sehari-harinya sangat dekat dengan media sosial, platform-platform seperti Instagram dan WhatsApp merupakan penawar kesepian. Dengan memungkinkan orang-orang untuk saling terhubung tanpa peduli kapan dan seberapa jauh, melebihi janji perkotaan paling utopis sekalipun, media sosial dapat membantu kita semua untuk mempertahankan atau membangun sebuah hubungan.
Itu terutama benar saat karantina pandemi Covid-19.
Namun, temuan beberapa ahli lainnya justru mengatakan hal sebaliknya: media sosial telah menjadi salah satu penyebab utama terjadinya “epidemi kesepian” di zaman kita. Ternyata, kontak tak selalu berarti keintiman. Akses ke orang lain tak otomatis menangkal kesepian—malah berpotensi membuatnya semakin akut. Hal ini terutama berlaku untuk mereka yang menggantikan koneksi nyata dengan koneksi virtual, nihil kehadiran fisik dan hanya emoji.
Lalu, mana yang benar?
“Kalau saya tergantung bagaimana kita melihat media sosial,” jawab Ria untuk menjelaskan ambivalensi tersebut, “Karena hubungan kita di media sosial tidak mencerminkan hubungan kita di dunia nyata… Bukan soal aplikasinya, tetapi bagaimana kita memandang media sosial yang harusnya bisa meningkatkan kualitas hubungan sosial, eh kok malah mendegradasikan diri kita sebagai manusia… Tergantung kepribadiannya, tujuannya.”
Baca Juga: ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #4: Setelah Lagu Pengantar Tidur
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #5: Menua dan Menyendiri Berteman TV
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #6: Jika Merasa Terabaikan, Pulanglah ke "Rumah Kita"
Di Bawah Bayang-bayang Kesepian
Ria mengungkapkan bahwa kesepian, merujuk pada DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), tak diklasifikasikan sebagai gangguan kesehatan mental. Kesepian “tak bisa didiagnosa sebagai suatu gangguan yang mandiri”. Kendati begitu, sebagai dampak dari sebuah situasi, kesepian pada gilirannya dapat berkontribusi atau berkaitan dengan masalah kesehatan mental lainnya: kecemasan, stres, depresi, bipolar.
Berdasarkan hal itu pula, karena kesepian sering kali membuntuti (atau dibuntuti) gangguan kesehatan mental, tanda atau indikasi seseorang yang sedang merasakan kesepian bukanlah sesuatu yang mudah dibaca. Kita mungkin keliru menafsirkan stres sebagai kesepian, apalagi jika kita mempertimbangkan kesepian sebagai perasaan internal dan subjektif yang mungkin diekspresikan melalui emosi yang berlainan.
“Untuk orang-orang yang kesepian,” ujar Ria tentang perbedaan antara perasaan dan emosi, “bisa jadi mereka tidak mengekspresikan perasaannya. Itu yang susah. Jadi maksudnya gini: Apakah ekspresi emosi dengan perasaan selalu sejalan? Enggak. Bisa aja orang merasa sedih tapi malah tertawa terbahak-bahak kalo ketemu temen-temennya. Itu ekspresi emosi, beda dengan perasaan.”
Kendati begitu, menurut Ria, ada beberapa tanda yang cukup kentara pada orang kesepian.
“Ada semacam perubahan perilaku yang tidak biasa. Contohnya, dia tadinya suka ngumpul-ngumpul, eh tiba-tiba dia gak suka, menarik diri… Lalu kemudian sulit dihubungi. Susah kalo diakses lewat WA, lewat apa pun, dan membatasi komunikasi dengan relasi sosialnya… Yang ketiga adalah terganggunya fungsi hidup dia sehari-hari: pekerjaan, sekolah. Paling gampang sebenarnya ditanyakan aja: Gimana sih perasaan kamu saat ini?” tuturnya.
Kesepian kronis—mendalam, berkepanjangan, dan diikuti masalah kesehatan mental lain—adalah kondisi korosif dengan konsekuensi serius. Itu menggerogoti kesehatan mental serta kesehatan fisik kita secara perlahan dan pasti, bahkan mengusik kehidupan sosial kita secara keseluruhan. Vivek Murthy, Ahli Bedah Umum di Amerika Serikat, sampai memperingatkan bahwa kesepian kronis sama berbahayanya dengan merokok 15 batang setiap hari.
Ria merinci efek kesepian lainnya secara panjang lebar.
“(Pertama) perasaan negatif. Ini muncul dalam bentuk ketidakpuasan, kebosanan, perasaan tidak berguna, merasa tidak sempurna, dan tidak bahagia… Kedua memiliki persepsi negatif tentang orang lain. Jadi individu yang kesepian itu menggambarkan hubungan antara dirinya dengan orang lain jadi lebih negatif… Orang yang kesepian juga punya tingkat kepercayaan yang rendah pada orang lain,” paparnya dengan begitu detail.
Ia melanjutkan bahwa orang yang kesepian cenderung menghindari interaksi sosial. Dengan kata lain, alih-alih menjalin hubungan yang lebih bermakna untuk memulihkan diri, kesepian justru dapat membuat seseorang menarik diri lebih jauh lagi. Mereka lebih sedikit mengikuti aktivitas sosial, mungkin hanya menggeliat di ranjang sambil maraton menonton film. Hal ini pada gilirannya dapat membuat mereka semakin kesepian. Lingkaran setan.
“Kemudian gangguan psikosomatis,” tambah Ria mengenai efek kesepian, “seolah-olah kek dia mengalami penyakit, padahal sebenarnya enggak. Misalnya, yang paling sering adalah sakit kepala, lelah, gangguan pencernaan, gak selera makan. Hal lain yang juga terpengaruh adalah kuantitas tidur. Jam tidurnya jadi berantakan. Ini bisa disebabkan karena kegelisahan yang dimiliki individu kesepian.”
Efek yang tak kalah destruktifnya adalah memicu perilaku berbahaya dan kriminal. Misalnya, karena tak punya sahabat dan putus asa atas kesepiannya, seseorang mungkin memutuskan untuk mengonsumsi alkohol dan/atau narkoba—dalam beberapa kasus, guna melampiaskan kesepiannya, orang berbuat jahat seperti mencuri dan/atau merundung. Pada tingkat kronis dan waspada, kesepian dapat memicu percobaan bunuh diri.
“Angka kematian individu yang kesepian tuh tinggi,” ungkap Ria dengan hati-hati. “Ada studi yang menemukan bahwa kesepian pada lanjut usia dapat menyebabkan kematian beberapa tahun setelah kehilangan pasangan. Itu menimbulkan rasa kesedihan yang mendalam—dan itu memicu kesepian… Pada akhirnya, itu juga bisa membunuh orang itu pelan-pelan, karena merasa bahwa dunia ini berakhir bersama dengan orang tercintanya yang meninggal.”
“Seolah-olah hidupnya sudah terkubur bersama pasangannya yang meninggal,” tambahnya.
Kembali ke Obat Tertua Kita
Tak ada cara mudah untuk memulihkan diri dari kesepian. “Susah-susah-gampang,” ringkas Ria. Bagaimanapun, menurutnya, ada beberapa cara yang secara umum sangat membantu. Cara pertama adalah melatih mindfulness: memerhatikan keadaan saat ini dan di sini (here and now) secara terbuka dan tanpa menghakimi. Saran Sun Tzu dalam The Art of War amat relevan: seni perang tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur.
“Jadi menyadari kehidupan saat ini, sesadar-sadarnya bahwa yang terjadi saat ini dinikmati saja,” tutur Ria dengan nada kalem. “Maksudnya, segala perasaan—termasuk rasa sepi—ya diterima, gak usah dilawan. Semakin kamu melawan, semakin rasa sepi itu kuat… Cobalah evaluasi diri kenapa saya merasa sepi. Apa yang membuat saya merasa sepi? Apakah betul saya kesepian, atau hanya merasa sendirian? Karena itu hal yang berbeda.”
Sarannya yang kedua adalah melakukan aktivitas fisik.
“Semakin terpuruk dengan perasaan sepi, biasanya orang cenderung mengurung diri, entah di kamar atau di mana pun. Coba pergi ke luar. ‘Tapi kan tetap merasa sepi, Mbak, di tengah kerumunan orang banyak.’ It’s okay, hanya untuk kamu tuh merasakan udara segar, karena cahaya matahari (di bawah jam 9 pagi) juga bisa memengaruhi (suasana hati) menjadi lebih baik… Entah jalan kaki, jogging—pokoknya tubuh tuh diolah,” jelas Ria.
Bagaimanapun, adakalanya individu yang kesepian membutuhkan bantuan profesional. Ria mengungkapkan beberapa indikasinya. Pertama, jika orang bersangkutan sudah melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri, seperti makan berlebihan (atau tidak sama sekali). Kedua, mulai menyakiti diri sendiri dalam bentuk apa pun, misalnya minum obat penenang secara berlebihan. Ketiga, memicu pikiran untuk bunuh diri.
“Intinya saling menjaga,” ungkap Ria tentang apa yang sebaiknya kita lakukan jika memiliki teman yang sedang kesepian. “Kadang-kadang bingung juga sih, kalau kita punya kepekaan yang tinggi, nanti disangkanya kepo… (Tapi) kalo udah urusan hidup-mati, kita gak perlu lagi persetujuan; kita harus intervensi. Tapi kalo misal masih bisa diajak ngobrol, tanyakan dulu: ‘Apa yang kamu butuhkan?’ Dengarkan apa kebutuhannya tanpa menghakimi.”
Pada akhirnya, masyarakat yang berserakan, tersekat, teratomisasi, dan terfragmentasi tak hanya menyedihkan—sesuatu yang wajar untuk kita tangisi sejenak—tapi juga berkontribusi terhadap krisis kesehatan publik dengan cara yang tak diduga. Kesepian merusak kesehatan mental dan fisik kita, bahkan kehidupan ekonomi-politik kita andai kita memeriksanya lebih dalam—dan yang terburuk, membunuh kita perlahan.
Untungnya, tak seperti beberapa kondisi kritis lainnya, kita bisa memulihkannya. Kita semua perlu terhubung (lagi) dengan orang lain, kendati budaya masyarakat kita hari ini cenderung menghambat kita untuk melakukannya. Banyak hal yang bisa kita lakukan, tapi—pertama- dan terutama—kita perlu kembali ke nilai-nilai inti kebaikan, persahabatan, dan kemurahan hati yang sangat penting untuk tatanan sosial kita.
Jika harus meringkasnya lagi, satu hal saja: rangkullah cinta. Ini adalah obat tertua kita.
Setelah ini, menimbang berbagai efeknya (ditambah peringatan WHO), kita perlu membuka keran diskusi yang lebih luas tentang kesepian di ruang publik. Diskursus tentang kesepian tak ada apa-apanya dibandingkan dengan topik obesitas dan penyalahgunaan obat-obatan. Selebriti dan influencer tak membuat iklan layanan masyarakat tentang kesepian, dan sejauh ini tak ada kandidat presiden yang pernah ditanya tentang masalah ini.
Padahal, kebutuhan sosial adalah hak asasi manusia. Kekurangan sosial adalah suatu bentuk ketidakadilan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyah, dan artikel lainnya tentang Arsip Kesepian di Bandung.