• Liputan Khusus
  • ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #6: Jika Merasa Terabaikan, Pulanglah ke "Rumah Kita"

ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #6: Jika Merasa Terabaikan, Pulanglah ke "Rumah Kita"

Komunitas Peduli Bipolar Indonesia (Rumah Kita) menghimpun penyintas bipolar dan orang-orang yang peduli terhadap isu kesehatan mental untuk saling mendukung.

Komunitas Peduli Bipolar Indonesia (Rumah Kita). (Foto: Daniel Ferry Prasetyo)*

Penulis Muhammad Andi Firmansyah19 Desember 2023


BandungBergerak.id – Banyak hal yang dipertaruhkan jika kita terus mengabaikan kesehatan mental. Kita bisa saja menunggu tanpa berbuat apa-apa dan berserah pada pemerintah untuk memedulikannya—atau kita bisa memulainya sendiri dari skala komunitas. Hal itulah yang dilakukan Komunitas Peduli Bipolar Indonesia (Rumah Kita), komunitas yang bergerak aktif dalam isu pencegahan dan penanganan gangguan kesehatan jiwa.

Komunitas Rumah Kita, awalnya bernama Bipolar Care Indonesia simpul Bandung, terbentuk tahun 2015 dengan menginduk ke Bipolar Care Indonesia yang berpusat di Jakarta. Lambat laun, tepatnya tahun 2021, mereka melepaskan diri dari Bipolar Care Indonesia, mengganti nama menjadi Komunitas Peduli Bipolar Indonesia (Rumah Kita). Dengan perubahan ini pula, mereka memperluas cakupan dari awalnya hanya Kota Bandung menjadi nasional.

Saat ini, Komunitas Rumah Kita telah melebarkan sayapnya sampai ke Kota Kupang dan Kota Bekasi. Selain mewadahi para penyintas bipolar, atau disebut sebagai Orang Dengan Bipolar (ODB), komunitas ini juga menghimpun orang-orang yang peduli terhadap mereka (meliputi caregiver dan psikiater), dan/atau tertarik pada isu kesehatan mental secara keseluruhan. Di sini, mereka bukan hanya saling bertemu, tapi terutama saling mendukung.

“Ada beberapa dari kami (anggota komunitas) yang menjadi penyintas gangguan kesehatan mental,” tutur Program Manager Komunitas Rumah Kita, Daniel Ferry Prasetyo (32 tahun), ketika menjelaskan mengapa komunitasnya berfokus pada isu kesehatan jiwa. “Mereka ada yang terdiagnosis sebagai ODB dan kami pernah mendapatkan perlakuan tidak layak (dan) tidak manusiawi dari keluarga, lingkungan, bahkan negara.”

“Sehingga kami berpikir harus ada gerakan perubahan atas nama kesamaan nasib,” tambah Daniel, “dan harapan kami adalah semoga tidak ada lagi ODB di luar sana yang mengalami nasib yang sama, seperti yang pernah kami alami sebelumnya: mendapat tindak kekerasan, pemasungan, ditelantarkan oleh keluarga, dan sebagainya.”

Gangguan bipolar sendiri adalah kondisi kesehatan mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati secara ekstrem dan acapkali sulit diprediksi. Penyintas bipolar bisa mengalami episode mania/hipomania (suasana hati yang meningkat dan euforia) atau episode depresi (suasana hati yang sangat sedih). Bagaimanapun, mereka juga memiliki periode suasana hati yang netral.

Penyintas bipolar mungkin akan memberitahu kita bahwa mereka mengalami titik terendah yang mengerikan, titik tertinggi yang berlebihan, dan perasaan tak bisa mempercayai pikiran mereka sendiri. Hal-hal ini mengganggu pekerjaan, situasi kehidupan, dan hubungan mereka dengan siapapun, termasuk dengan diri mereka sendiri karena mereka tak tahu akan merasa seperti apa saat bangun tidur.

“Kami memiliki visi dan misi untuk terus memberikan edukasi tentang pentingnya kesehatan jiwa di lintas sektor masyarakat. Kami juga memiliki niat untuk ikut serta menurunkan angka pemasungan, angka bunuh diri, dan memberikan rasa aman kepada semua rekan penyintas gangguan kesehatan jiwa di Bandung pada khususnya dan Indonesia pada umumnya,” jelas Daniel tentang tujuan inti Komunitas Rumah Kita.

Mereka rutin melakukan penyuluhan dan advokasi mengenai kesehatan mental, baik secara offline maupun online. Setiap acara senantiasa melibatkan para profesional medis, sehingga materi edukasi yang disampaikan kepada publik mengalir langsung dari ahlinya. Mereka juga aktif membicarakan isu-isu kesehatan jiwa saat berkomunikasi dengan keluarga, mengingat keluarga sering kali menjadi penyebab penyintas merasa semakin terpuruk.

“Masalah utama adalah pendanaan,” ujar Daniel tentang beberapa tantangan yang dihadapi Komunitas Rumah Kita. “Kami tidak mendapatkan support pendanaan dari pemerintah atau pihak swasta… Masalah selanjutnya adalah susah mengajak stakeholder untuk bekerja sama karena menganggap isu kesehatan mental belum terlalu penting… Terakhir, sulit menjumpai orang yang mau mengurusi masalah kesehatan jiwa secara konsisten dan permanen.”

Baca Juga: ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #3: Bekerja Delapan Jam untuk Uang Kertas Seratus Ribu
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #4: Setelah Lagu Pengantar Tidur
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #5: Menua dan Menyendiri Berteman TV

Timbal Balik Kesepian dan Kesehatan Mental

Kesepian dan kesehatan mental memiliki hubungan yang kompleks dan timbal balik. Di satu sisi, kesepian yang akut dapat menyebabkan atau memperburuk masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, stres, bahkan memicu keinginan bunuh diri. Survei Populix 2022 menunjukkan bahwa satu dari dua masyarakat Indonesia merasa dirinya memiliki masalah kesehatan mental, dan hampir setengah darinya (46%) dipicu oleh kesepian.

Di sisi lain, sebaliknya, seseorang yang sedang bergulat dengan gangguan kesehatan mental cenderung kesulitan untuk terlibat secara sosial, yang ujung-ujungnya berisiko mengarah ke kesepian. Sebuah penelitian memperkirakan bahwa penyintas gangguan kesehatan mental, termasuk penyintas bipolar, kemungkinan mengalami kesepian 2,3 kali lebih tinggi daripada populasi umum.

“Sebagai contoh, pada kasus terjadinya pandemi Covid-19,” jelas Daniel, “Muncul fenomena semakin banyaknya orang yang merasakan kesepian. Bahkan orang yang memiliki karakter introver pun merasakan kesepian pada waktu pandemi tersebut. Indonesia sendiri waktu itu memberikan laporan bahwa mahasiswa berusia 19-22 tahun merasa kesepian sebagai imbas isolasi mandiri selama pandemi Covid-19.”

Penelitian juga menunjukkan hubungan rumit antara gangguan bipolar dan kesepian.

Faktanya, sebagian penyintas bipolar cenderung memilih untuk mengisolasi diri mereka, dan sampai titik ini, mereka belum tentu merasa kesepian. Tapi, jika kesendirian ini bikin mereka semakin menjauh dari orang lain, mereka mungkin mulai terperosok ke tempat yang sangat sepi. Rasanya seperti mereka sedang melawan musuh yang kuat, sendirian; memiliki bisikan di kepalanya yang membuat keadaan semakin menggetarkan.

Tentu saja, ada psikiater, terapis, dan dukungan lain yang membantu mereka, hanya saja itu semua tak ada di dekatnya 24 jam sehari. Kebenarannya adalah mereka terbangun di tengah malam karena serangan panik, sendirian. Ketika episode mania muncul dan mereka merasa kehilangan kendali atas dirinya, mereka sendirian. Intinya, mereka dibiarkan sendiri dengan pikiran-pikiran bipolar yang tak teratur dan—terkadang—begitu mengerikan.

Sekali lagi, itu adalah tempat yang sangat sepi.

Bagi kaum muda hari ini, media sosial telah menjadi salah satu kontributor utama gangguan kesehatan mental. Kendati platform ini menawarkan kesempatan untuk terhubung, berbagi informasi, dan mengekspresikan diri, paparan terus-menerus terhadap unggahan mengenai kehidupan orang lain yang dikurasi dapat menimbulkan perbandingan sosial—dan akhirnya berkontribusi pada perasaan tak berdaya, rendah diri, dan kecemasan.

Beberapa penelitian menemukan bahwa penggunaan media sosial secara pasif, seperti scroll tanpa henti di TikTok atau Instagram, bisa menurunkan kesejahteraan dan kepuasan mental dari waktu ke waktu. Terkhusus bagi perempuan Gen Z, media sosial membuat mereka lebih mungkin mendistorsi citra tubuh. Dengan kata lain, mereka bisa jadi berbalik membenci diri mereka sendiri setelah berlama-lama menggulir beranda media sosial.

“Manfaatkan segala sesuatu, termasuk teknologi dan media sosial, dengan secukupnya dan sebijaksana mungkin,” ungkap Daniel. “Khususnya bagi penyintas gangguan kesehatan jiwa, karena sering kali ditemukan berita-berita atau konten-konten yang memicu kekambuhan—dan itu akibat konten-konten yang tidak mendidik, judgemental, olok-olok, yang terdapat di banyak platform media sosial.”

Hal yang tak kalah mirisnya adalah bahwa media sosial, alih-alih menangkal, justru kerap kali menjadi sumber kesepian seseorang. Media sosial menjanjikan kita kontak, bahkan melebihi janji lingkungan perkotaan yang paling utopis sekalipun. Namun kontak, sebagaimana warga kota mengetahuinya, tak selalu berarti keintiman. Tanpa keintiman, pertemanan online akan kurang bermakna—dan ini hanya menjadikan kesepian kita semakin menyakitkan.

Memulihkan Diri di Rumah Kita

Meskipun Komunitas Rumah Kita tak mempunyai program khusus untuk menyikapi masalah kesepian, upaya-upaya mereka untuk meningkatkan kesadaran dan mereduksi stigma publik terhadap kesehatan mental juga merupakan bentuk penyuluhan tak langsung tentang topik kesepian—mengingat kesepian sangat berkorelasi dengan kesehatan mental dan khususnya gangguan bipolar.

Hakikatnya, sebagai wadah yang mempertemukan sesama penyintas bipolar dan gangguan kesehatan jiwa lainnya, Komunitas Rumah Kita itu sendiri telah menjadi sebentuk penangkal kesepian—setidaknya bagi para anggotanya. Mereka rutin mengadakan pertemuan yang tak hanya menjadi momentum untuk berinteraksi, tapi juga wadah untuk saling mendukung dan menyemangati.

Dari perspektif itu, komunitas bukan hanya sebuah entitas atau kumpulan orang, melainkan sebuah perasaan: keintiman, diterima apa adanya, dan tak dibiarkan sendirian ketika berada dalam masa-masa sulit. Hal-hal ini menciptakan perasaan diinginkan dan dicintai—perasaan yang pada dasarnya menangkal rasa kesepian. Cinta adalah obat tertua kita untuk kesehatan mental, khususnya kesepian—dan Komunitas Rumah Kita menghadirkan itu.

“Setiap orang boleh mengungkapkan apa pun yang ia rasakan,” ungkap Daniel kepada siapa saja di luar sana yang sedang merasa kesepian, “namun setelah itu diharapkan bisa kembali bangkit dan melanjutkan kehidupan. Kesepian dan kesendirian tidak berarti semuanya akan berakhir. Bangkit dan usir rasa sepimu agar esok hidupmu jadi jauh lebih baik. Ingatlah agar tetap terbuka dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat. Semangat,” tutupnya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//