ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #3: Bekerja Delapan Jam untuk Uang Kertas Seratus Ribu
Siklus kerja di pabrik yang monoton demi produktivitas dan efektivitas. Bekerja di pabrik adalah perjuangan senyap melawan kesepian.
Penulis Muhammad Andi Firmansyah14 Desember 2023
BandungBergerak.id – Saat Putri (21 tahun) melamar kerja di sebuah pabrik sepatu kawasan Bandung Raya, ia tak pernah membayangkan bahwa tempat dengan aktivitas yang sangat ramai dan serba rutin itu bakal menjadi sumber kesepiannya. Ia mengira, sebagai seorang ekstrover, kesepian tak mungkin berkembang biak di tengah lautan manusia. Ada puluhan—atau setidaknya belasan—orang yang bisa diajak bicara selama kerja, jadi rasanya ini bukanlah “zona kesepian”.
Namun, lautan manusia itulah yang justru membuat kesepian di pabrik begitu khas.
“Kamu dikelilingi banyak orang, ribuan, tapi jangan harap ada satu orang pun yang menatap atau merhatiin kamu. Mungkin orang lebih sering ngeliat jam daripada manusia, dan kadang aku juga kek gitu sih,” ujar Putri sambil tertawa kecil. “Kalaupun ada yang manggil namamu, itu selalu urusan kerja, gak pernah—atau mungkin lebih ke jarang—orang nyapa karena ada sesuatu yang penting di luar kerjaan,” tambahnya.
Sebulan pertama bekerja adalah masa-masa tersulit Putri. Saat itu ia belum terbiasa melihat mesin-mesin yang menyala nyaris sepanjang hari serta ribuan tangan yang telaten dan rajin, apalagi ruangannya—meskipun luas—agak pengap dan bikin gerah. Namun seiring waktu, ia mampu beradaptasi dan mulai akrab dengan situasi tersebut, terutama berkat kecintaannya pada keluarga—sumber energi dan motivasinya setiap hari.
“Orang-orang mengenalku, setidaknya menurut beberapa orang terdekat, bahwa aku tuh di luar keliatannya pendiem dan susah dikenal, padahal aslinya 180 derajat. Disebutnya tuh ‘si mau apa pun coba’, jadi gak bilang gak bisa, tapi dicoba dulu aja, dijalani dulu aja,” tuturnya sambil terkekeh sendiri.
Baca Juga: Isu-isu Krusial yang Merugikan Kelas Pekerja di Hari Buruh Internasional (May Day) 2023
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #1: Terpuruk dan Terisolasi di Tengah Keramaian Kampus
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #2: yang Terasing dalam Keheningan Kata
Siklus Kerja yang Monoton
Putri berterus terang bahwa ia kurang percaya diri jika orang lain menanyakan pekerjaannya atau rutinitasnya. Berbeda dengan dokter atau pilot yang cenderung membanggakan profesi dan gelar mereka, bahkan beberapa dari mereka akan memamerkannya meskipun orang tak bertanya, Putri biasanya menghindari percakapan apa pun tentang pekerjaannya, kecuali ke orang-orang terdekatnya.
Itulah mengapa ia merasa geli sendiri pada orang-orang yang menyangka akan menemukan makna kehidupan mereka selama bekerja di pabrik. Ia bukannya merendahkan buruh; jelas ia sendiri adalah seorang buruh. Maksudnya, karena pekerjaan di pabrik tak dirancang demi kepuasan para pekerja, melainkan untuk menghasilkan profit, maka sulit sekali (kalau bukan mustahil) untuk menemukan makna hidup di lingkungan seperti itu.
“Setahuku, tak ada orang yang bercita-cita jadi buruh pabrik,” ungkapnya penuh ironi.
Itu benar terutama jika kita memerhatikan siklus kerja di pabrik yang begitu monoton. Putri sendiri berkontribusi pada produksi sepatu yang entah ditujukan ke pasar mana dan kapan. Hari-harinya berjalan hampir tanpa variasi: orang-orang yang sama, mesin-mesin yang sama, tugas-tugas yang sama, jam-jam yang sama, bahkan terkadang ia naik bus dengan sopir yang sama. Semua dimaksudkan untuk dua hal: produktivitas dan efektivitas.
“Aku berangkat biasanya jam 5 kurang 2 menit, jam 04:58,” katanya secara detail. “Biasanya sampe tuh jam 05:41 atau 05:42. Itu tuh selalu rutin. Aneh aku juga. Mulai kerja jam 06:15, itu checkroll. Beres kerja jam setengah tiga sore, ya sekitar jam 04:15 lah, soalnya suka ada peregangan dulu. Terus pulang kerja naik angkutan umum, kadang bus sampe terminal, dari terminal naik angkot. Jadi dua kali naik kalo pulang.”
“Jadi terpatok waktu tuh bener-bener nyata,” tambahnya.
Selama perjalanan pulang, sambil menunggu kemacetan melonggar, Putri kerap melamun di dalam bus dan memikirkan hal-hal yang membuatnya tertawa sendiri. Ia ingat suatu waktu, setelah merefleksikan rutinitas kesehariannya yang begitu monoton, terlintas dalam pikiran bahwa ia adalah “manusia delapan jam untuk uang kertas seratus ribu”. Ini terdengar sangat nyeleneh, tak manusiawi, tapi begitulah kira-kira kesannya terhadap dirinya sendiri.
Setiap hari ia melakukan tugas yang telah ditentukan oleh perusahaan, lengkap dengan cara dan kecepatan tertentu. Bahkan perasaan pun ditentukan: keceriaan, tenggang rasa, ambisi, kredibilitas, dan kemampuan untuk bekerja sama dengan semua orang tanpa konflik. Mulai dari Senin ke Jumat, pagi hingga petang, semuanya telah terjadwal dan dirutinkan. Hasilnya, sebagaimana rekan-rekannya rasakan juga, ia berhenti menjadi dirinya sendiri.
“Aku di proses awal pembuatan sepatu,” jelas Putri tentang tugasnya di pabrik, “jadi bener-bener yang baru aja dibentuk materialnya yang kain gitu, misalnya kain kulit. Dari material kulit meteran, dipotong. Aku melakukan itu setiap hari, aku di proses awal. Jadi kalau salah di aku, (proses produksi) gak bakal bisa jalan. Kalo salah dikit, langsung buang, harus sekali potong langsung perfect.”
Meskipun tak ada sanksi jika salah potong, atasan biasanya mengomeli Putri.
“Sebenernya gak ada sanksi, cuman paling dimarahi sampe kena mental,” ungkapnya diiringi tawa kecil. “Itu biasa sih kalo di pabrik. Kadang gak semua atasan kalau marah pake prinsip, gak ada sopan santun. Jadi tergantung mood aja. Padahal kan marah juga ada tata caranya, tapi kalo di pabrik tuh kebanyakan gak mengikuti aturan, tapi kerja harus ikut aturan,” keluh Putri dengan nada menurun dan lirih.
Kesepian Merugikan Individu dan Bisnis
Hari-hari awal bekerja adalah perjuangan senyap Putri menghadapi kesepian. Setiap hari ia menjalani rutinitasnya dengan ketelitian mekanis, matanya sering melirik ke arah jam, coba menghitung berapa lama lagi ia bisa melepaskan diri dari kebosanan yang tak berkesudahan itu. Sesekali ia memberanikan diri untuk memulai percakapan dengan orang di sampingnya, karena—sebagai seorang ekstrover—dukungan sosial adalah bahan bakarnya.
“Masuk ke pabrik tuh bener-bener ketemu sama orang-orang yang beda-beda. Ah, di tempat kuliah mah toxic-nya mungkin masih biasa, tapi kalo di pabrik tuh toxic-nya parah. Biasanya orang tuh kalo ngobrol ke kita gini, tapi ke atasan beda lagi,” kata Putri dengan raut tegang.
Putri mendapati dirinya menavigasi perbedaan mencolok yang mendefinisikan pertemanan di SMA dan pabrik, membuatnya terperangkap dalam cekikan kesepian. SMA, dengan latar siswa yang lebih homogen, merupakan tempat yang sangat ramah untuk persahabatan. Di pabrik, hal yang menyamakan semua pekerja adalah bagaimana meningkatkan keuntungan dan menekan biaya—ini berarti, kerja keras selama mungkin.
Dengan tuntutan seperti itu, tak ada waktu untuk mengobrol tentang kehidupan pribadi.
Bagaimanapun, itu bukan berarti kesepian Putri terbatas di tempat kerja saja. Di luar pabrik, sama dengan kebanyakan pekerja lainnya, kesepiannya mencuat dari krisis finansial—suatu masalah yang sangat asing baginya ketika masih SMA. Ada semacam hubungan aneh antara uang dan hubungan sosial: semakin sedikit uang, semakin terisolasi pula dirinya. Kendati ini mungkin salah, menurutnya, itu terjadi cukup sering.
“Pas lagi krisis keuangan, bingung harus gimana. Contohnya, ada pengeluaran darurat yang menguras tabungan sampai ke nol, itu posisi bingung antara butuh dan gak mungkin minjem ke orang lain. Karena aku mikir orang lain juga kerja buat diri mereka sendiri, itu hak mereka dan punya mereka, masa aku pinjem. Kesannya kek aku gak kasihan sama dia. Dan ini sering bikin aku kesepian, yah, semacam merasa terabaikan,” jelas Putri.
Pengalaman tersebut, tanpa maksud mengecilkan kesusahannya, bukanlah hal eksklusif dan unik. Banyak penelitian menemukan bahwa masyarakat menengah ke bawah lebih mungkin menderita gangguan kesehatan mental, terutama kesepian, daripada masyarakat menengah ke atas. Sebuah studi rinci bahkan menemukan bahwa, dari hampir 400.000 responden yang diamati, jumlah pendapatan dapat memengaruhi tingkat kesepian seseorang.
Hal itu karena pendapatan yang lebih tinggi menyediakan sumber daya yang memungkinkan kegiatan rekreasi sosial, termasuk koneksi dan jejaring sosial yang lebih luas. Sementara itu, mereka yang berpenghasilan rendah biasanya memiliki jam kerja yang lebih lama dan jarang teratur, sehingga waktu untuk bersosialisasi terkuras banyak. Inilah mengapa jawaban untuk kesepian di negara-negara maju adalah peningkatan dan pemerataan pendapatan.
“Agak sulit buat dijelaskan,” ujar Putri ketika berusaha menggambarkan seperti apa rasanya kesepian itu. “Mungkin yang paling jelas tuh aku jadi badmood. (Jeda panjang.) Aku kadang ngerasa terkurung di, emh, penjara kaca. Aku bisa ngeliat orang-orang, atau teriak-teriak ke mereka, tapi aku nggak bisa ngejangkau mereka—maksudku nyentuh mereka—dan mereka juga gak bakal ngedengerin obrolanku atau curhatanku.”
Hal itu menjelaskan mengapa Putri jarang sekali menceritakan rasa kesepiannya pada siapa pun. Terkadang, ia malas bercerita karena sesederhana ia ragu apakah orang lain akan bisa memahami perasaannya. Meskipun dugaan ini mungkin salah besar, tetap saja ada sesuatu dalam dirinya yang memblok niatnya untuk terbuka. Sejumlah teman kerap curhat padanya, tapi kesepian membuatnya kurang termotivasi untuk melakukan hal sebaliknya.
Putri punya semacam ritualnya sendiri ketika mengalami kesepian.
“Biasanya beres-beres rumah. Memang aneh, tapi itulah yang aku lakukan. Soalnya dengan membuatku sibuk, aku lupa dengan pikiranku. Jadi semakin aku sibuk, justru si jawaban atas kebingunganku muncul. Aneh sih, tapi faktanya begitu buatku. Justru semakin aku melamun kek orang lain, atau mager-mageran atau nyetel musik-musik mellow, buatku itu sama sekali gak membantu,” tuturnya fasih seolah sudah terbiasa memikirkan itu.
Titik Balik Kesepian
Bulan-bulan berikutnya sejak pertama kali menginjakkan kaki di pabrik, kesepian Putri mulai mereda. Di tengah lautan wajah-wajah anonim, ia mendapati perbincangan sesekali dengan rekan kerjanya, yang kemudian berlanjut ketika istirahat makan siang dan bahkan hari libur. Pabrik yang dulunya merupakan gua terisolasi, berubah menjadi tempat di mana anggukan selama jam kerja berlanjut ke percakapan intens di kantin perusahaan.
“Awal-awal kerja emang sulit, tapi seiring waktu makin terbiasa. Kadang sampai full seharian itu tuh kerja sambil ngobrol, saking udah terbiasanya. Jadi antara gerakan tangan dan mulut tuh emang udah bisa ngebedain,” jelasnya diikuti senyum puas.
Memang, hubungan kecil tersebut tak pernah mengusir kesepian secara permanen. Tatkala suasana hening dan mesin-mesin mengambil jeda sejenak, Putri merasakan gigitannya lagi. Kesepian masih mengintainya, dan dalam hal ini, lingkungan kerja sering kali menyebabkan kesepiannya kambuh kembali. Ada hari-hari yang menyenangkan, tapi terkadang hubungan dan interaksinya dengan rekan kerja balik lagi menjadi impersonal, tak manusiawi.
Hal tersebut menyoroti betapa pentingnya perusahaan untuk ikut andil dalam memerangi kesepian di tempat kerja. Selama ini, salah satu kesalahan fatal yang dilakukan perusahaan adalah menganggap kesepian sebagai urusan pribadi, gagal menghitung bahwa—menurut banyak studi—kesepian dapat menghambat perkembangan bisnis. Kesepian, seperti halnya stres dan burnout, berkontribusi pada penurunan produktivitas dan kreativitas pekerja.
Selain itu, asumsi bahwa kesepian hanyalah urusan pribadi semata juga melewatkan sebuah fakta penting yang sering diabaikan: umpan balik dari lingkungan kerjalah yang menciptakan kesepian. Kita tak bisa mengendalikan lingkungan sebagai satu orang, dan dengan demikian organisasi harus berubah. Seseorang bisa melakukan upaya ekstra untuk menjangkau orang lain, tapi ujung-ujungnya itu bergantung pada lingkungan kerjanya.
Perang melawan kesepian di tempat kerja akan menguntungkan pekerja dan pemberi kerja.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyah.