ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #1: Terpuruk dan Terisolasi di Tengah Keramaian Kampus
Aneka penelitian menunjukkan orang yang kesepian cenderung defensif dan kurang percaya terhadap orang lain. Kecenderungan tersebut menciptakan lingkaran setan.
Penulis Muhammad Andi Firmansyah12 Desember 2023
BandungBergerak.id – “Aku sering ngebantu temen-temenku, tapi ternyata aku gak bisa nolong diriku sendiri,” ujar perempuan yang kini tengah menginjak semester 5 di salah satu perguruan tinggi di kawasan Bandung Raya. Sebut saja namanya Ajeng. Sejak merantau dari Rembang, Jawa Tengah, hidupnya banyak berubah hingga terkadang—atau sebenarnya cukup sering—ia merasa asing terhadap dirinya sendiri.
Lahir dari keluarga yang penuh ambisi, ia membawa semangat itu ketika pertama kali tiba di kampus. Seiring waktu, ia berhasil menyulap “DNA” tersebut menjadi keunggulan akademis, dan puncaknya ia terpilih sebagai ketua himpunan—pencapaian yang agak mencengangkan, mengingat kultur patriarki di lingkungan kampus masih cukup kental. Pada titik ini, sembari menikmati sorotan dari sana-sini, ia merasa lega dan puas.
Namun, semua kelegaan dan kepuasan itu hanya seperti angin lalu saja baginya. Pengejaran kesempurnaan tanpa henti, beban ekspektasi, dan tekanan yang terus mengiringinya selama menjadi ketua himpunan telah menggerogotinya dari dalam—lambat dan dingin, tapi gawat dan mematikan. Binar matanya meredup karena pola tidurnya terganggu, suaranya melunak seolah memikul terlalu banyak beban dan kelelahan.
Tak ada yang salah dengan ambisi, katanya, tapi sering kali itu terlalu banyak buatnya.
Bagaimanapun, ia jarang (kalau memang pernah) menunjukkan keterpurukannya. Dari luar, kehidupannya tampak semarak dan terhubung. Posisinya sebagai ketua himpunan otomatis membuatnya sering berada di garis depan dalam berbagai kegiatan kampus, baik mengatur acara-acara umum maupun memimpin diskusi-diskusi mahasiswa. Ia menavigasi pertemuan dan bertukar basa-basi dengan banyak kenalan.
Tapi, di balik pintu tertutup, terutama sejak merantau dan hidup sendiri, ia bergulat dengan kesepian secara intens. Ia tak kesulitan mencari teman, bahkan ponselnya terus berdengung oleh pesan dan undangan, hanya saja tak ada hubungan apa pun yang bisa memuaskannya. Keterputusan ini membuatnya senantiasa menghabiskan malam dan akhir pekan sendirian. Tak ada yang tahu, ungkapnya, bahwa ia terkadang menangis hingga tertidur.
Keadaan terasa semakin memburuk ketika Ajeng didiagnosis memiliki penyakit tulang. Ia kini harus menjalani terapi medis setiap dua minggu, sendirian. Hal ini mengganggu aktivitasnya di himpunan, tapi ia tetap menyembunyikan penyakit ini dari siapa pun kecuali keluarganya. Ia tak mau menjelaskan keadaannya karena sesederhana ia tak mau orang lain mengasihani dirinya.
“Ya udah aku sakit nih, bukan berarti aku tak bisa menjalankan tanggung jawabku. Aku tetap bisa, cuman ya memang ada hal-hal yang mereka harus toleransi. Terkadang aku hanya bisa meringis aja sih kalo diocehin: wah lo jarang hadir ke proker (program kerja) himpunan, bla-bla-bla. Aku hanya merasa ada satu hal yang gak bisa diungkapkan ke mereka,” tuturnya.
Ketika segalanya sudah terlalu berat, ia hanya belajar untuk menerimanya.
“Seolah-olah aku udah capek menghadapi ini semua, terus tiba-tiba, dengan kelemahan jiwa aku kek gini, aku dikasih sakit fisik. Jadi akhirnya udahlah aku gak mau meratapi hal-hal yang kek gini. Aku hanya menjalani apa yang bisa kulakukan. Maksudku, ya udah aku berobat ya berobat, tidur ya tidur. Jadi lebih ke pasrah aja sama apa yang Tuhan kasih ke aku, karena aku gak bisa lagi memberontak. Aku udah gak punya tenaga buat itu,” tambahnya.
Baca Juga: Sanksi Keras dan Tegas Perlu Diterapkan pada Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus
Tradisi Pemimpin Perempuan di Kampus ISBI Bandung
Hawa Politik Mulai Terasa di Kampus-kampus Indonesia
Setiap Hari adalah Perjuangan Melawan Kesepian
“Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik,” ucap Ajeng saat ditanya seberapa sering ia merasa kesepian. Baginya, setiap hari merupakan perjuangan konstan melawan kesepian. Hal ini biasanya semakin kronis pada hari-hari libur, masa ketika orang-orang di sekelilingnya berkumpul dan bersua dengan keluarga atau sahabat mereka, sementara ia hanya bisa diam di kamar kos sambil bermain ponsel, mengalihkan pikirannya dari mereka.
Betapa pun ia sudah sangat akrab dengan kesepian, rasa sakitnya tetap sama.
“Aku merasa bahwa aku tuh mengasihani diri sendiri (ketika kesepian). Jadi kek me-review apa-apa aja yang udah aku lakuin. Misalnya gini: wah kemarin aku ke RS sendirian, aku sakit gak ada yang nemenin, dan seterusnya. Kenangan-kenangan buruk rasanya semua muncul. Aku ngelakuin apa aja sendirian, sementara aku ngeliat orang lain didampingi keluarga atau pacar atau temen,” keluh Ajeng.
Tak banyak hal yang dilakukannya untuk mengatasi kesepian, utamanya setelah didiagnosis memiliki penyakit tulang. Dulu, saat fisiknya masih sehat bugar, ia sering pergi ke pusat Kota Bandung menggunakan DAMRI. Tujuannya kurang jelas, kenang Ajeng. Sekali waktu ia pergi hanya untuk membeli ayam geprek dan setelahnya pulang lagi ke kos. Kini, karena ia merasa badannya sudah mulai ringkih, ia biasanya hanya meringkuk di kasur.
“Jadi aku lebih melampiaskannya dengan menyendiri, menghilang. Misalnya, kalau di-chat gak aku bales, kalau ditelepon gak aku angkat, kalau diajakin bercanda ya aku marah,” ujar Ajeng yang diikuti tawa halus.
Biarpun kesendirian banyak berkontribusi pada kesepiannya, ia juga lumayan sering merasa kesepian di tengah keramaian. Pernah suatu waktu, ia bermain dengan teman-temannya ke sebuah mal yang begitu megah dan ramai, tapi ia merasa seperti sebuah robot yang dipaksa untuk terus berjalan dan tertawa. Teman-temannya sadar akan tingkah anehnya, hanya saja ia tak tahu harus bilang apa kepada mereka. Ia hanya merasa terputus dan bingung.
Kesepian, sebagaimana depresi, membuat Ajeng merasa tak berharga, seolah-olah ia bukan bagian yang berharga dari masyarakat dan dengan demikian ia selamanya tak bisa mencapai apa pun. Ia tahu bahwa ribuan orang lainnya di kota ini menghadapi kesedihan serupa, tapi rasa sakit kesepian yang dialaminya terasa sangat pribadi dan satu-satunya. Ia cemas bahwa ia akan tetap kesepian sepanjang hidupnya.
“Aku selalu berdoa kek gini: Ya Allah, kalo emang aku bisa ‘kembali’ sekarang, aku gak akan keberatan. Jadi di satu sisi, aku kadang-kadang merasa gak kuat dan gak bisa menjalani ini semua, tapi di sisi lain, orang tuaku kadang muncul di pikiranku (bilang) udah jangan, jangan (menyerah),” keluh Ajeng ketika mengenang masa-masa terendahnya.
Sejak memasuki tahap perkuliahan, Ajeng tak punya sahabat dekat. Mungkin ada beberapa orang yang menganggapnya sebagai sahabat, tapi Ajeng sendiri tak punya perasaan seperti itu pada siapa pun. Hal ini membuatnya kesulitan untuk mencari “tempat curhat”, terutama ketika kesedihannya sudah sangat menumpuk dan menguap di dalam dirinya.
“Bahkan pernah kemarin waktu aku dirujuk ke RS buat terapi, pertama kali sampe tuh aku ditanya sama dokternya kek gini: Emang kamu gak punya temen deket buat nganterin kamu ke sini? Karena mungkin takut kenapa-napa kan. Ya aku bilang aja kalo temen deket banyak, tapi kalo dalam hal kek gini, aku lebih suka sendirian,” katanya dengan lirih.
Stigma Kesepian
Pertemanan Ajeng sebenarnya baik-baik saja, bahkan sangat baik, sebelum pandemi Covid-19. Waktu itu, jika merasa bosan atau sedih, teman-temannya adalah tempat pelarian yang menenangkan. Namun, sebagai “mantan” ekstrover yang dipaksa mengurung diri di rumah, ia merasa sangat tertekan.
“Kalo dulu aku cukup ekspresif karena aku bisa ketemu sama temen-temenku, bercanda dan sebagainya. Tapi setelah pandemi, semua rasanya berubah. Ketika aku keluar, dunia terasa sangat berbeda. Temen-temenku udah punya circle-nya sendiri, pun kek aneh kalo nge-chat main yuk, karena kita udah beda,” ujarnya.
Sekalipun Ajeng punya “tempat curhat”, ia sendiri ragu apakah ia akan mampu untuk cerita dan berbagi. Ajeng, anehnya, tak suka menampilkan sifat aslinya. Tentu saja, ia menanggung banyak luka dan kelelahan, tapi ada ketidaknyamanan untuk menunjukkan siapa sebenarnya Ajeng itu. Entah mengapa, mungkin karena kesepiannya juga, ia hanya berpura-pura sampai orang lain meyakini ia baik-baik saja. Rasanya lebih sederhana untuk memakai “topeng”.
“Aku tuh gak terbiasa mengekspresikan rasa sedih; aku terbiasa mengekspresikan keceriaan dan kebahagiaan aja. Karena sebenarnya aku haus apresiasi. Jadi aku menampakkan gini tuh kek kerja rodi, kerja keras, supaya aku mendapatkan apresiasi dari keluargaku. Tapi saat aku merasakan penderitaan dalam prosesnya, aku gak pernah menampakkan hal itu, karena aku hanya butuh buahnya: apresiasi, pujian, penghargaan,” ungkapnya.
Kesulitan Ajeng untuk mengungkapkan dan menceritakan rasa kesepiannya merupakan hal yang umum. Kesepian memang masih menjadi topik yang tabu dan kental dengan stigma. Inilah mengapa kesepian adalah sebuah kata yang berat, sulit, dan memicu rasa malu. Aneka penelitian menemukan bahwa orang yang kesepian cenderung menjadi defensif dan kurang percaya terhadap orang lain.
Kecenderungan itu menciptakan sejenis lingkaran setan: orang kesepian tak ingin orang lain menganggap ada yang salah dengan dirinya, jadi mereka makin mengurung dan mengisolasi diri mereka sendiri, dan ini adalah pelumas yang membawa mereka ke lorong kesepian yang lebih gelap. Alhasil, meskipun orang tahu bahwa obat kesepian adalah hubungan sosial yang bermakna, mereka biasanya malah semakin menjauh dari orang lain.
Media Sosial Hanyalah Pengalihan
Media sosial dapat meredakan kesepian Ajeng selama beberapa waktu, sebelum nantinya ia kebingungan dan merasa bersalah tanpa alasan yang jelas. Bahkan sebenarnya media sosial, bagi Ajeng, adalah sumber tekanan. Di platform ini, ia menyaksikan teman-temannya sudah jauh berkembang sehingga ia merasa tertinggal dan, ironisnya, tak berdaya. Kendati ia tahu bahwa kisah mereka tak sehebat yang terlihat di media sosial, ini tetaplah menyakitkan.
Sekadar tahu bahwa mereka sedang bersenang-senang, membicarakan pesta yang tak akan dihadirinya, atau singkatnya mereka tampak riang tanpa dirinya, itu sudah cukup untuk bikin kesepiannya semakin mendidih dan menyesakkan. Karena dilema antara membutuhkan dan tak membutuhkannya, Ajeng punya cara sendiri untuk mengakali media sosialnya.
“Aku tuh punya first account dan second account. Second account tuh yang setiap hari aku buka, dan isinya tuh yang gak berguna, misalnya k-pop, video-video lucu, intinya rutinitas-rutinitas yang gak bikin aku berkembang. Nah di first account itu pamer personal branding, kek ini loh aku abis ngerjain ini. Makanya aku buka first account kalo ada urusan himpunan aja, kek cuman laporan ke publik doang,” tuturnya.
Hal lain yang membuatnya agak terkejut sendiri adalah bahwa kesepian telah memengaruhi performa akademiknya. Ketika kesepian mengikatnya dengan begitu kuat, ia merasa kurang energi untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, bahkan sekadar memikirkannya. Ini membuat Ajeng hanya menggeliat di kasur, mendengarkan lagu-lagu sedih, terkadang hanya melamun hingga akhirnya tidur lelap.
Penelitian telah lama mengonfirmasi hubungan positif antara kesepian dan performa belajar mahasiswa: semakin akut kesepian yang dialami, semakin buruk pula performa belajar yang dihasilkan. Dalam hal ini, kesepian bukan hanya menguras energi (fisik maupun mental), tapi juga mengganggu kemampuan kognitif, yang sangat penting bagi keberhasilan akademis. Ini berdampak signifikan, dan perhatian kita terhadapnya hampir tak ada.
“Mungkin awalnya kamu gak bisa menerima rasa kesepian itu,” tutup Ajeng untuk siapa pun yang saat ini sedang merasa kesepian. “Kamu mungkin memberontak dan melakukan aneka hal yang akhirnya merugikan dirimu sendiri. Aku juga begitu, dulu. Tapi sekarang aku belajar buat terbiasa dengannya, dan menurutku, dengan menerima rasa kesepian itu, aku merasa jauh lebih tenang… Apa pun yang terjadi, belajarlah untuk menerimanya.”
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyah, serta artikel-artikel lain bertema kampus.