Sanksi Keras dan Tegas Perlu Diterapkan pada Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus
Para korban kekerasan seksual menghadapi ketakutan dari ancaman pasal pencemaran nama baik karena dianggap tidak memiliki bukti yang kuat.
Penulis Iman Herdiana21 Februari 2023
BandungBergerak.id - Perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap orang untuk menuntut ilmu dan bersosialisasi. Namun akhir-akhir ini kasus kekerasan dan pelecehan seksual tengah menjadi sorotan di lingkungan kampus.
Bukan hanya itu, sering kali korban pelecehan seksual di lingkungan kampus kurang mendapat perlindungan dari pihak berwenang. Di sisi lain, kurang tegasnya penegakan terhadap pelaku kekerasan seksual membuat kasus kekerasan seksual kian menjamur dan berlarut.
Tidak ada jalan lain bahwa pelaku kekerasan seksual di lingkup kampus perlu mendapatkan sanksi keras dan tegas. Hal ini diperlukan agar korban dan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak terus bertambah.
Ketua Satuan Tugas Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI Manneke Budiman mengatakan, tindakan tegas juga akan dilakukan terhadap pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus UI. Salah satu langkah ketegasan yang dilakukan UI dengan mengaktifkan layanan tanggap pencegahan kekerasan seksual yang diberi nama Hope Helps UI.
Adanya Hope Helps UI diharapkan mampu mengatasi permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus UI. Layanan Hope Helps UI ini juga membantu korban kekerasan seksual di UI untuk mendapatkan arahan dan penanganan terhadap kekerasan seksual yang dialami.
“Untuk ke depannya, kita bisa melakukan edukasi kepada mahasiswa dan juga tenaga pendidik dengan menampilkan edukasi tersebut baik di e-learning dan edukasi lainnya sehingga kasus kekerasan seksual ini dapat menurun,” kata Manneke, dikutip dari laman UI, Selasa (21/2/2023).
Tegasnya sanksi atau hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dinilai sebagai salah satu kunci untuk membuat pelaku jera. Selain itu, korban kekerasan seksual juga harus melaporkan kejadian untuk menekan naiknya angka kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Dengan adanya edukasi terhadap masyarakat kampus, tentunya tidak ada alasan untuk tidak mengetahui tentang kekerasan seksual dan apa saja yang termasuk kegiatan kekerasan seksual. Karena kekerasan seksual tidak hanya dalam bentuk fisik ataupun verbal, tetapi juga dalam bentuk nonverbal, seperti kata-kata melalui media sosial atau chat dan lain sebagainya,” ujar Manneke.
Dalam kesempatan tersebut Manneke menerima kunjungan Universitas Riau (Unri) terkait pengembangan program-program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, pada Rabu (15/2/2023). Rombongan Satgas PPKS Unri diketuai oleh Separen.
“Kunjungan ini diharapkan dapat menjadi ajang edukasi dan saling bertukar pengalaman antara Satgas PPKS UNRI dengan Satgas PPKS UI. Hal yang diharapkan dari pertemuan ini tentunya langkah efektif dan juga berbagi pengalaman antara satu dengan yang lain dalam upaya menurunkan angka kekerasan seksual dan juga pencegahan kasus kekerasan seksual,” ujar Manneke.
Baca Juga: Mengenal ITB Melalui Program ITB Day
Unpas dan Unpad Menerima Mahasiswa Asing Melalui Beasiswa Darmasiswa
Penawaran Beasiswa Van Deventer-Maas Indonesia 2023/2024 untuk Mahasiswa Unpad
Perspektif Korban Kekerasan Seksual
Tenaga Ahli Staf Khusus Menteri Bidang Kompetensi dan Manajemen Kemendikbudristek Paula Selpianti Litha Pasau mengatakan, sering kali korban kekerasan seksual tidak mendapat pembelaan dan juga perlindungan. Padahal, terdapat kondisi yang dialami oleh korban ketika menerima tindakan tersebut seperti kelumpuhan sementara atau tonic immobility. Itu merupakan kondisi di mana korban tidak bisa memberikan respons karena mengalami ketakutan serta trauma.
“Kondisi tersebut sering kali membuat pihak lain menyalahkan korban karena tidak melawan. Di sisi lain, korban juga turut menyalahkan diri sendiri karena menyesal tidak melakukan perlawanan saat mendapatkan tindak kekerasan seksual,” ujar Paula, dalam Studium Generale Institut Teknologi Bandung, Rabu (25/1/2023), yang mengangkat topik “Sosialisasi Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”.
Selain itu, korban takut melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya serta tidak mendapatkan pembelaan karena takut terancam kasus tuduhan palsu. Situasi yang tidak memungkinkan untuk melakukan perekaman atau penciptaan bukti menjadi hal yang membuat orang tidak mau membela para korban.
Para korban juga takut dikarenakan pasal pencemaran nama baik karena dianggap tidak memiliki bukti yang kuat. Terlebih lagi, aparat penegak hukum juga membebani korban untuk mengumpulkan bukti dan mencari pasal untuk menindaklanjuti kasus yang dialami korban.
Hal itu diperparah dengan adanya berbagai mitos yang sudah tersebar luas dan bahkan banyak dipercayai oleh masyarakat sehingga perlindungan terhadap korban kekerasan seksual semakin memburuk. Mulai dari stigma cara berpakaian korban yang dapat mengundang terjadinya kekerasan seksual.
Faktanya dari 62.224 responden yang disurvei, 51 persen responden menjawab bahwa pakaian yang mereka kenakan saat mengalami kekerasan seksual adalah pakaian yang tertutup seperti seragam sekolah, rok, dan celana panjang, bahkan hijab. Mirisnya lagi, terdapat 1.071 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban, bahkan anggota keluarga.
Stigma terakhir yang sudah sangat melekat pada masyarakat adalah ketidakmungkinannya terjadi kekerasan seksual pada laki-laki. Padahal, pada tahun 2018 terdapat 122 kekerasan seksual yang menimpa anak laki-laki.
Melalui Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS di Perguruan Tinggi, kasus kekerasan seksual harus ditindak secara serius dan tegas karena kekerasan seksual memberikan dampak yang sangat buruk dan serius bagi korbannya. Mulai dari menghambat pencapaian prestasi akademik dan karier, hilangnya kesempatan korban untuk melaksanakan pendidikan dengan aman, berpotensi menyebabkan korban dapat putus sekolah atau kuliah, berpotensi membuat tenaga pendidik kehilangan pekerjaannya, hingga mendiskreditkan nama baik instansi pendidikan terkait.
“Menurut Pasal 4 Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, sasaran pencegahan kekerasan seksual meliputi mahasiswa, tenaga pendidik, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan sivitas akademika dalam pelaksanaan tridharma,” tutur Paula.
Dalam mengimplementasikan penegakan hukum ini, institusi dan individu wajib berpartisipasi secara konsisten. Mulai dari pembelajaran terkait PPKS, penguatan tata kelola seperti menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual, hingga penguatan budaya komunitas sivitas akademika oleh institusi serta pembatasan pertemuan individual di luar kepentingan kampus dan permohonan tertulis untuk mendapatkan persetujuan dari pihak instansi.
Untuk merealisasikan penanganan kasus kekerasan seksual, perguruan tinggi melalui Satuan Tugas PPKS wajib menyediakan pendampingan dalam bentuk konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan bimbingan sosial dan rohani.
Perlindungan berupa jaminan bebas dari ancaman yang berkenaan dengan aduan juga harus dijamin oleh perguruan tinggi. Pengenaan sanksi administratif yang tegas mulai dari sanksi ringan seperti teguran hingga pemberhentian pelaku dari perguruan tinggi juga wajib dilakukan oleh perguruan tinggi. Terakhir, perguruan tinggi juga harus memulihkan korban melalui tindakan medis, terapi fisik dan psikologis, hingga bimbingan sosial dan rohani berdasarkan persetujuan korban.
Bantuan informasi mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dapat diakses melalui tautan ini dan juga kanal Instagram @cerdasberkarakter.kemdikbudri.