• Liputan Khusus
  • ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #2: yang Terasing dalam Keheningan Kata

ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #2: yang Terasing dalam Keheningan Kata

Penelitian menemukan bahwa penyandang disabilitas punya kemungkinan lebih besar untuk merasa kesepian secara kronis ketimbang populasi umum.

Anak-anak disabilitas tunarungu dari berbagai Sekolah Luar Biasa (SLB) di Bandung mengikuti pertunjukkan teater interaktif teater museum “Finding Gablo” bersama Jalan Teater Indonesia di Museum Geologi Bandung pada Sabtu (11/2/2023). (Foto: Dini Putri Rahmayanti/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Andi Firmansyah13 Desember 2023


BandungBergerak.id – Di dunia yang sebagian besar berkomunikasi lewat kata-kata yang diucapkan dan bunyi yang didengar, bersosialisasi menjadi amat sulit bagi Ael (21 tahun). Sebagai tunarungu, ia tak hanya kehilangan kemampuan untuk mendengar, tapi juga sesuatu yang lebih besar dan mendasar bagi hidupnya: hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Ia tak paham perkataan orang-dengar, tak bisa menangkap lelucon teman-temannya.

Ketika Ael pertama kali memasuki sekolah umum di tingkat SMK, harapannya untuk bergaul dengan teman-teman dengar mulai membubung. Dan ia memang memiliki beberapa teman-dengar, pada akhirnya, tapi bukan dengan cara yang ia harapkan. Terjebak di tengah obrolan teman-temannya yang intens, Ael hanya bisa mengerutkan alis dan menebak-nebak maksud serta alur percakapan dari gestur mereka yang seadanya.

Tetap saja, bagi Ael, dunia-dengar terasa begitu aneh dan asing.

“Ael gak ngerti guru ngomong apa, jadinya malu,” tutur Juru Bahasa Isyarat (JBI) Adam saat menerjemahkan cerita Ael tentang kesulitannya dalam mengikuti kelas. “Ael sempet nanya ke temen-temen, ‘Ini ngomong apa sih?’ tapi temen-temen jawabnya kek gak tahu gitu. Jadi Ael tetep gak ngerti selama itu—mungkin sekitar dua tahun. Ael mau jurusan tata boga, tapi Ael tetep gak ngerti guru tuh ngomong apa. Ael paham ketika pakai tulisan.”

Tersesat dalam bahasa, terasing dari obrolan orang-orang sekitar, membuat Ael merasakan kesedihan yang cukup akut. Ia, seperti kita semua, dikelilingi oleh hiruk-pikuk suara: kelakar teman-temannya, gemerisik dedaunan yang tertiup angin, gumaman ibu pada malam hari. Tapi, bagi Ael, sekelilingnya tetaplah hening dan lengang. Ia mendapati dirinya seperti satu pulau yang terpencil di tengah luasnya lautan kata-kata.

Ia terkucilkan. Ael kesepian.

Baca Juga: Perjalanan Panjang Mendapatkan Surat Keterangan Disabilitas bagi Orang dengan Autisme dan ADHD Dewasa
Bergerak Bersama Disabilitas
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #1: Terpuruk dan Terisolasi di Tengah Keramaian Kampus

Gangguan Pendengaran Memperburuk Rasa Kesepian

Ael sering mendapati dirinya berada di pinggiran percakapan, seperti penonton teater tanpa subtitle. Ia merasakan beratnya isolasi, seolah ia terkurung dalam penjara kaca kedap suara, hanya mengamati hiruk-pikuk keseharian yang tak bisa ia pahami. Keheningan, baginya, bisa memekakkan telinga, terutama saat semua orang tampaknya mendengarkan frekuensi yang tak bisa ia akses.

“Iya, bener banget,” kata Ael saat ditanya apakah keterbatasan fisik membuatnya kesepian.

Penelitian memang menemukan bahwa penyandang disabilitas punya kemungkinan 2-3 kali lebih besar untuk merasa kesepian secara kronis ketimbang populasi umum. Ini karena para penyandang disabilitas punya sedikit sekali kesempatan untuk membangun hubungan, yang berarti harapan masyarakat terhadap mereka cenderung rendah, yang berarti mereka cukup rentan merasa tak dibutuhkan.

Mirisnya, perasaan tak dibutuhkan adalah benih kesepian yang paling menyedihkan.

Ael berkali-kali merasakan hal yang sama. Ketika ia hanya bisa mendengar pikirannya sendiri dan bukan dunia di sekelilingnya, ia merasa terkubur dalam kesunyian. Ketika semua teman-temannya bisa cepat memahami ajaran guru dan Ael tak mengerti, ia merasa pilu dan picik. Dunia rasanya tak dirancang agar orang-orang seperti Ael dapat berfungsi sepenuhnya. Hal ini membuat pilihan mereka, bukan hanya kondisi fisik mereka, semakin terbatas.

Bagaimanapun, Ael tak pernah patah arang.

“Dari SMK sampe sekarang kuliah,” ungkap Ael lewat JBI Adam, “Ael udah percaya diri untuk temenan sama temen-temen dengar—udah gak takut. Ia berusaha buat mendorong dirinya sendiri (agar) jangan takut berteman sama temen-temen dengar. Ael sudah nemu cara buat komunikasi yang nyaman, seperti lewat teks di HP. Jadi setiap berkomunikasi dengan teman dengar, Ael bilang dulu, ‘Maaf, ya, saya tuli. Bisa nggak lewat HP atau tulisan?’”

Awal-awal kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) adalah titik balik pertemanannya. Teman-teman terdekat Ael, kendati hanya segelintir orang, mulai belajar bahasa isyarat agar kesenjangan antara dunia Ael dan dunia mereka lambat laun terjembatani. Ael yang dulunya pendiam, kini jadi peserta aktif dalam bahasa baru yang melampaui batas-batas suara. Rasa kesepiannya, walaupun belum runtuh sepenuhnya, mulai memudar.

“Sekitar empat bulan sesudah itu (belajar bahasa isyarat), tiba-tiba ada yang nyapa Ael pake bahasa isyarat. ‘Halo,’ katanya. Ael kaget, kok bisa bahasa isyarat. Lalu pas masuk kelas, Ael nanya ke temen-temennya, ‘Kamu belajar bahasa isyarat dari mana?’ Temen-temen bilang, ‘Oh, nonton dari YouTube.’ Ael baru tahu, dan Ael muji mereka. Sampe sekarang Ael punya sahabat 8 orang. Tapi dulu waktu SMK, gak ada,” ungkap Ael lewat JBI Adam.

Hubungan sosialnya semakin bernuansa ketika Ael mengikuti sebuah komunitas seni sesama tunarungu di universitas. Komunitas ini telah menjadi jalur kehidupan baru bagi para anggotanya, termasuk Ael. Sebelumnya, mereka merasa “ada yang hilang” dan kesepian. Namun, melalui komunitas ini, mereka menemukan orang-orang yang bisa mereka ajak berinteraksi. Hasilnya nyaris instan: kehidupan dan kesejahteraan mereka meningkat.

Tersesat dalam Bahasa

Pengalaman serupa tapi tak sama juga dialami oleh Nazwa (19 tahun), yang sama-sama tunarungu dan mahasiswi UPI Bandung. Ia dulunya merasa sunyi karena tuli di satu telinga, sedangkan sebelahnya masih bisa menangkap bising kehidupan. Namun seiring waktu, tepatnya ketika SMA, fungsi telinga kanannya ikut “mati” dan, seperti Ael, ia jadi tunarungu sepenuhnya. Hal ini, bagi Nazwa, benar-benar mengubah segalanya.

Dulu, gaya komunikasi Nazwa agak berbeda dengan teman-teman tunarungu lainnya karena ia masih mampu menggunakan bahasa lisan. Demikianlah, sebelum akhirnya masuk Sekolah Luar Biasa (SLB) pada kelas 4, Nazwa hanya bisa mengerutkan dahi saat berhadapan dengan bahasa isyarat. Setelah akrab dengan teman-teman tunarungu, ia menyadari bahwa bahasa isyarat merupakan “budaya tuli”—sesuatu yang dengan demikian harus dikuasainya.

Tapi, usai terbiasa bahasa isyarat, kini ia menjadi sulit berkomunikasi dengan teman-dengar.

“Nazwa tanya ke temen-temen, ‘Ini ngomong apa sih?’ Tapi temen-temennya kek ‘ntar dulu, ntar dulu, ya.’ Padahal kalo gak ngerti bahasa isyarat bisa pake HP, kenapa harus cari temen-temen (yang bisa bahasa isyarat), kek kelabakan nyari bantuan ke orang lain. Tapi ya udahlah Nazwa cuman bisa sabar aja,” jelas JBI Adam ketika menerjemahkan cerita Nazwa mengenai kesulitannya berinteraksi dengan teman-dengar.

Berinteraksi, bagi Nazwa, bukan lagi aktivitas menyenangkan yang menambah energi sosial dan ketahanan mentalnya, melainkan aktivitas yang justru sangat melelahkan—dan bahkan kerap berakhir sia-sia. Tak seperti teman-dengarnya, ia tak bisa menyimak cerita orang lain sambil memainkan ponsel atau membaca buku. Ia mau-tak-mau harus memerhatikan gerak bibir dan ekspresi wajah lawan bicaranya—hal yang memerlukan energi ekstra.

Tetap saja, atas semua peluh dan kelelahannya, ia terkadang masih tak mengerti.

Keterputusan ini membuat hidupnya selalu dibayangi rasa malu. Dalam banyak kesempatan, ia menghindari percakapan apa pun dengan siapa pun guna menyembunyikan keterbatasan dan disabilitasnya. Jika ada tamu yang berkunjung ke rumah, ia lebih suka menyembunyikan diri di kamar—atau di bawah meja, jika perlu. Intinya adalah mengelabui orang lain tentang kondisinya. Ia takut mereka akan memandangnya rendah.

Akibatnya, Nazwa tak pernah terbiasa menceritakan pengalaman kesepiannya. Ia sering kali berpikir ngawur bahwa ia bukanlah orang yang sehat, dan tak pelak lagi ini menyakiti dirinya sendiri, tapi bagaimanapun ia hanya merasa harus melanjutkan hidup dengan kondisi begini. Dalam arti lain, memendam semua perasaan dan menyembunyikan kebutuhannya di dalam merupakan sesuatu yang sangat normal. Tak ada cara lain, pikirnya.

Tapi usai akrab dengan sesama tunarungu, ia sadar bahwa cara-cara lain ada di depan mata.

Stigma Melahirkan Kesepian, Kesepian Melahirkan Stigma

Sisi positif SLB adalah memberikan ruang yang berharga bagi murid-murid seperti Nazwa. Di sini, mereka bisa berbaur dengan teman sebayanya, menjalani komunikasi yang lebih luwes, merasakan banyaknya kesamaan dibandingkan perbedaan, dan dengan demikian mendapat dukungan yang nyata satu sama lain. Inilah mengapa, setelah bertahun-tahun membisu dan menyendiri, Nazwa menemukan persahabatan yang nyaman di lingkungan ini.

“Sebelum masuk SLB,” tutur Nazwa melalui JBI Adam, “Nazwa gak punya temen. Selalu diam dan selalu sendiri, gak ada yang ngajak ngomong. Pernah mendapat bully, tapi gak bisa apa-apa. Dulu sampe bilang ke Mama kalo Nazwa gak mau sekolah, tapi Mama tuh bilang harus sekolah biar pinter. Gak papa gak punya temen. Tapi Nazwa gak mau untuk terus (sekolah). Akhirnya Mama cari SLB, terus dapet dan pindah ke SLB dari sekolah umum.”

Kuncinya, bagi Nazwa, adalah bergaul dengan sesama tunarungu yang mengerti bagaimana perasaannya. Meskipun bukannya mustahil untuk bersahabat dengan teman-dengar, Nazwa hanya merasa kemungkinannya amat kecil karena, sejauh pengalamannya, ia selalu clueless dan kelelahan saat mengobrol dengan teman-dengar. Mungkin karena Nazwa terlalu sering meminta pengulangan, teman-dengar terkadang menghindarinya.

Sekarang di bangku kuliah, setelah sempat mereda, kesepian Nazwa kambuh lagi.

“Tapi (saat kuliah) masih selalu sendiri juga,” ujarnya, “gak ada yang ngajak ngobrol. Jadinya bingung mau ngapain. Ke mana-mana juga sendiri… Sebetulnya Nazwa tuh pengen banget ngajak ngobrol, tapi orang yang diajak ngobrolnya gak ngerti. Jadi akhirnya Nazwa gak jadi ngajak ngobrol. Gak terlalu banyak teman buat curhat.”

Pada momen-momen kesepian seperti itu, ia merasa seperti berada di ruangan yang penuh dengan panel kaca yang tebal—tempat di mana tawa dan percakapan bergema di seberang sana, jauh dan teredam. Ketidakmampuannya menangkap intonasi suara atau ekspresi vokal membuatnya kesulitan buat terlibat dalam pemahaman emosional. Maksudnya, sekalipun ia menceritakan kesepiannya, ia ragu orang lain—atau dirinya sendiri—akan mengerti.

“Ya, betul banget,” ungkap JBI Adam ketika menerjemahkan cerita Nazwa mengenai apakah kondisi disabilitasnya berkontribusi pada rasa kesepiannya. “Selalu diem aja, banyak pikiran. Sebetulnya pengen banget ngajarin bahasa isyarat ke temen-temen dengar, tapi merekanya gak mau… Jadi sampe sekarang sikap yang ditunjukkan temen-temen dengar itu kek kurang peduli sama temen-temen tuli.”

Untuk satu hal, perasaan kesepian itu sendiri adalah stigma. Dengan kata lain, bukanlah hal yang aneh jika Nazwa, demikian pula Ael dan kita semua, malu atau sungkan menceritakan pengalaman kesepian kepada orang lain. Orang-orang sering menyamakan kesepian dengan kegagapan sosial, sehingga mengakui diri merasa kesepian secara keliru ditafsirkan sebagai “lemah atau pengecut” dalam kehidupan sosial.

Peliknya adalah bahwa mereka yang hidup dengan stigma, misalnya penyandang disabilitas seperti Nazwa dan Ael, merupakan segmen populasi yang lebih rentan mengalami kesepian. Sebuah penelitian di Inggris menemukan bahwa penyandang disabilitas hampir empat kali lebih mungkin “sering atau selalu” mengalami kesepian dibandingkan dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas.

Sederhananya begini: penyandang disabilitas mendapatkan banyak stigma dari masyarakat, dan stigma ini mencap mereka sebagai orang yang aneh dan berbeda, yang pada gilirannya membuat mereka lebih mungkin untuk merasa (dan tetap merasa) kesepian; persoalannya, kesepian ini ujung-ujungnya membuat stigma tersebut semakin menjadi-jadi, sehingga ada lebih banyak kesepian yang merongrong mereka.

Jelas, tak ada jalan keluar mudah dari rong-rongan itu.

Bagaimanapun, meski kita tak bisa mengubah apa yang dialami oleh penyandang disabilitas seperti Nazwa dan Ael, kita harus tetap mengupayakan terciptanya sebuah masyarakat yang lebih inklusif dan mudah diakses. Berkaca dari pengalaman Ael, tampaknya memerlukan lebih banyak komunitas-komunitas disabilitas agar mereka dapat berekspresi secara bebas dan memberikan sesuatu yang berharga untuk dunia dengan cara mereka sendiri.

Rasa memiliki, keterikatan, dan keberhargaan adalah obat mujarab kesepian.

*Pengumpulan data dibantu oleh Salma Nur Fauziyah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//