ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #5: Menua dan Menyendiri Berteman TV
Kesepian kronis pada lansia dapat berdampak pada penurunan kekuatan ingatan, kesehatan fisik, kesehatan mental, termasuk angka harapan hidup mereka.
Penulis Muhammad Andi Firmansyah18 Desember 2023
BandungBergerak.id – Maryam (76 tahun) biasanya menghabiskan waktu sepanjang hari untuk mengobrol, entah dengan tetangga atau kerabat dekat yang kebetulan datang berkunjung. Tapi sekarang ia sering kali hanya ditemani TV dan bisa menghabiskan waktu seharian tanpa berkomunikasi dengan siapa pun. Tiga anak dan enam cucu—plus empat cicit—biasanya melawat pada akhir pekan, kendati hanya untuk menanyakan kabar dan minum secangkir teh.
Sewaktu masih muda, Maryam bercerita bahwa usia 35 tahun terasa sangat tua. Dan saat ia berusia 35 tahun, usia 65 tahun terasa sangat tua. Kini ia telah melewati usia 70an, dan usia tua terbagi menjadi bagaimana perasaannya secara mental—masih seperti anak ayam—dan bagaimana perasaannya secara fisik—lebih banyak rasa nyeri dan pegal ketimbang yang bisa ditanggungnya.
“Mata Emak teh udah minus,” kata Maryam sambil menunjuk kacamata yang dikenakannya. “Kadang kalo cucu datang ke rumah juga suka bingung sendiri, ‘Ini teh siapa?’ Bulan kemarin sempet mau dioperasi katarak, waktu itu disuruh sama anak-anak (di kampungnya) buat ikut operasi katarak gratis. Tapi ternyata gak bisa karena katanya darah tinggi. Iya, belum rezeki aja itu mah,” tambahnya sambil tertawa kecil.
Baca Juga: ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #2: yang Terasing dalam Keheningan Kata
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #3: Bekerja Delapan Jam untuk Uang Kertas Seratus Ribu
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #4: Setelah Lagu Pengantar Tidur
Dari Isolasi ke Kesepian
Siapa pun dapat merasa kesepian, tapi seseorang yang sedang mengalami penuaan memiliki risiko tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa lansia amat rentan mengalami kesepian dan isolasi sosial. Jika itu sulit dibayangkan, cobalah ingat kembali masa-masa saat kita menjalani karantina akibat pandemi Covid-19. Kita semua terkurung di rumah untuk waktu yang cukup lama, dan kita tahu itu sangat menyedihkan.
Para lansia telah menjalani “kehidupan Covid-19” sebelum pandemi datang.
“Ya gitu aja. Bangun pas azan Subuh, di situ (sambil menunjuk ke arah utara) kebetulan ada masjid, jadi kalo azan jelas (terdengar),” tutur Maryam mengenai rutinitas kesehariannya. “Salat, terus naheur cai (masak air). Dulu kalo masak teh kan pake hawu (tungku), jadi harus nyari kayu bakar… Siang biasanya ngobrol sama tetangga, tapi ya kadang cuman nonton TV atau ngelamun aja di depan (rumah).”
Hal tersebut bukan untuk menyamakan antara kesendirian (atau isolasi sosial) dan kesepian. Meskipun yang satu dapat menyebabkan yang lain, keduanya tak sama. Isolasi sosial adalah kondisi sedikitnya kontak yang dimiliki seseorang; ini bisa diukur dengan menghitung berapa banyak interaksi sosial yang dilakukan seseorang dalam sehari. Bagi beberapa orang, isolasi sosial merupakan sebuah pilihan, dan karenanya belum tentu menyedihkan.
Sebaliknya, kesepian bukanlah sebuah pilihan. Ini lebih berkaitan dengan kualitas hubungan, alih-alih kuantitas hubungan seperti isolasi sosial. Lebih tepatnya, kesepian adalah perasaan sedih ketika hubungan sosial yang kita harapkan tak terpenuhi. Sejumlah ahli mengibaratkan kesepian sebagai “rasa lapar mental”; makanannya adalah keintiman, bukan banyak kontak sosial. Inilah mengapa kita bisa merasa kesepian di tengah keramaian.
Bagaimanapun, sementara orang dapat merasa kesepian tanpa harus terisolasi secara sosial, mereka yang terisolasi memiliki kemungkinan lebih besar untuk merasa kesepian, terutama jika kesendirian tersebut telah berkepanjangan. Dan persis keadaan inilah yang menjelaskan mengapa lansia rentan mengalami kesepian: kebanyakan dari mereka memikul beban berat kesendirian dan, menurut penelitian, sepertiga di antaranya akan mengalami kesepian.
Siklus demikian juga dialami oleh Maryam. Beberapa tahun lalu, ia biasanya membenamkan diri di antara orang-orang. “Tipayun mah seeur batur teh,” katanya yang berarti, suatu masa, ia memiliki banyak orang di sekelilingnya. Tapi, kota sebesar Bandung bisa mengikis jaringan sosial seseorang. Teman-temannya perlahan terkubur dalam urusan rumah tangga, kerjaan, pindah, atau menemukan teman baru.
Kini, dengan kondisi kesehatan yang terus menurun, kehidupannya hanya berkisar pada TV dan perawatan medis.
“Kadang bingung kalo sakit teh, soalnya gak ada uang buat diperiksa,” keluhnya. “Jadi suka dibayarin anak-anak, cucu. Ya Emak juga ngerasa gak enak kalo harus dibayarin terus. Kalo lagi sakit, Emak bilang ke tetangga—saleresna mah wargi-wargi keneh (sebenarnya masih se-saudara). Terus nanti mereka yang bilang ke anak-anak Emak, ditelepon. Emak mah gak ngerti telepon-telepon gitu teh.”
Biarpun Maryam masih bisa sesekali menikmati kehangatan sosial ketika mengobrol dengan tetangga atau bermain dengan cucu-cucunya, ia tetap merindukan hubungan bermakna dan berarti, seperti yang dulu ia dapatkan dari mendiang suaminya. Selama kebutuhan ini belum terpuaskan, kesepiannya terus mengkristal dalam dirinya. Perasaannya sering kali membaik pada hari-hari besar, misalnya lebaran, ketika keluarga besarnya berkumpul di rumahnya.
Serangkaian Nostalgia
Pikiran Maryam, sewaktu hanya sendirian, mengungkit banyak kehilangan yang telah berlalu di sepanjang hidupnya. Kendati memorinya sudah agak memudar, ia ingat betul bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang tak tergantikan, seperti suami, saudara, serta sahabat. Waktu memang telah berlalu, tapi terkadang ia masih merasakan betapa sulitnya menerima semua itu. Ia hanya bisa berharap bahwa segalanya menjadi lebih baik.
Maryam adalah salah satu dari para lansia yang tak bisa menahan diri untuk tak memikirkan masa lalu tanpa kesedihan. Selain merindukan orang-orang kesayangannya yang telah lama meninggal, ia juga sesekali meringis atas begitu banyaknya tradisi dari zamannya yang telah hilang. Dunia menjadi semakin modern, dan ia merasa seperti berasal dari zaman yang amat berbeda—seolah sekarang bukan lagi zaman yang seharusnya ia tempati.
Nostalgia semacam itu bisa membuatnya mencucurkan air mata.
“Ngelamun, gak mau makan, gak nafsu. Palingan tidur,” ujarnya singkat sambil terkekeh.
Kesepian, bagi Maryam, membuatnya kehilangan nafsu makan. Ia menjadi apatis dan terlalu letih untuk melakukan apa pun. Ia mengatakan tak ada gunanya berpakaian rapi atau makan makanan enak saat kesepian. Ia terkadang punya banyak hidangan lezat yang tinggal dilahap tanpa pikir panjang, tapi, ketika kesepian, ia tak berselera untuk makan. Itu merebut hampir semua motivasinya dalam hidup.
“Biasanya Emak main ke rumah tetangga aja, ngobrol,” ucapnya tentang apa yang dilakukan ketika merasa kesepian. “Kalo misalnya mereka lagi masak atau apa, Emak bantuin—nya ge (biarpun) cuman motong bawang atau apa, soalna upami (soalnya kalau) kerja-kerja berat mah Emak udah gak kuat. Kadang juga mereka yang dateng ke rumah, masak kanggo (buat) Emak.”
Ia tahu bahwa, seperti sebagian besar lansia lainnya, umur panjang dan segala sesuatu yang masih dimilikinya patut disyukuri. Tapi, ia hanya berharap bahwa hari-hari ketika ia memiliki keluarga di dekatnya bakal terulang lagi—dan begitu seterusnya. Ia merindukan orang-orang yang dulu sangat mengenalnya dan tempat berbagi cerita. Hari ini ia merasa lebih kesepian daripada kemarin, dan ia takut akan lebih kesepian besok daripada hari ini.
Kesepian kronis, yaitu mengakar dan berkepanjangan, berbahaya bagi siapa pun, tapi lansia, karena fisiknya mulai ringkih dan kesehatan mentalnya melemah, berisiko lebih besar untuk memperoleh bahayanya. Penelitian menunjukkan bahwa kesepian kronis pada lansia dapat berdampak pada penurunan kekuatan ingatan, kesehatan fisik, kesehatan mental, termasuk harapan hidup mereka. Kesepian mengurangi usia harapan hidup lebih dari kelebihan berat badan atau kurang gerak, dan sama halnya dengan merokok 15 batang sehari.
Meneropong Jalan Keluar
Solusi memang ada. Meskipun tak ada solusi cepat atau kebijakan tunggal untuk mengakhiri kesepian, terutama pada kaum lansia, ada alasan untuk berharap bahwa kita bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Dan menyelesaikan masalah kesepian di kalangan lansia sering kali tak sesederhana mempertemukan mereka dengan orang lain atau membiarkan mereka tinggal dengan anak-anak atau cucu-cucu mereka.
Cara membalikkan situasi ini benar-benar tergantung pada alasan mengapa mereka merasa kesepian atau terisolasi. Dengan kata lain, penting bagi kita—khususnya, decision makers—untuk memahami hal yang mendasari kesepian setiap lansia, apakah itu kematian pasangan, masalah medis yang membuatnya sulit bersosialisasi atau keluar rumah, atau, sebagaimana Maryam, merindukan anak dan cucu.
Intinya adalah kebutuhan untuk melihat lansia sebagai individu, tak disamaratakan.
Pada saat yang sama, meskipun (sebagian) solusi kesepian bersifat sangat pribadi, penelitian menunjukkan bahwa intervensi terbaik lainnya adalah solusi yang bersifat struktural: senam mingguan yang memungkinkan para lansia bertemu dan mengobrol, organisasi sukarelawan yang menemani para lansia (terkadang hanya duduk bersama mereka, tak harus mengobrol atau melakukan sesuatu), dan/atau acara tertentu yang membuat mereka merasa berharga.
Di samping itu, kita perlu berbuat lebih banyak untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi usia lanjut dan kondisi ringkih. Banyak orang yang jarang berolahraga terkejut ketika mereka bertambah tua dan mobilitas mereka memburuk. Jadi, mendidik kaum muda untuk mengubah kebiasaan mereka akan membuat perbedaan besar di kemudian hari. Cita-cita serupa juga diharapkan Maryam.
Ia berharap generasi muda hari ini, terutama anak-anak dan cucu-cucunya, akan mengalami masa tua yang memuaskan, dan ini dimulai dari gaya hidup yang sehat dan membahagiakan. Ia mengenalnya betul.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyah.