• Liputan Khusus
  • ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #4: Setelah Lagu Pengantar Tidur

ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #4: Setelah Lagu Pengantar Tidur

Terlepas dari semua pengalaman yang telah dilewatinya, setiap ibu tunggal memiliki kisahnya masing-masing.

Warga mengurus berbagai perkara di Pengadilan Agama Bandung, Jawa Barat, termasuk gugatan cerai, Rabu (19/5/2021). Tren gugatan cerai meningkat saat masuki masa pandemi Covid-19 dengan faktor penyebab paling tinggi berupa perselisihan dan pertengkaran. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Andi Firmansyah15 Desember 2023


BandungBergerak.id – Fani Maesa* (37 tahun) bercerai tujuh tahun lalu. Hal yang berat, meskipun semuanya perlahan membaik. Sebagai seorang ibu tunggal (single mother), ia menghabiskan hampir 24 jam sehari sendirian—selain bersama anak laki-lakinya yang sedang menempuh kelas 4 SD, tentu saja. Pada hari kerja, ia biasanya melakukan berbagai hal yang meditatif untuk jiwa-raganya, seperti menulis, dan pada akhir pekan, ia mengikuti apa pun yang anaknya ingin lakukan.

“Yup, kalau di awal ngerasa trauma,” tutur Fani tentang kondisinya pasca perceraian.

Kala itu, hidupnya tak berjalan baik, awut-awutan. Ia dilanda badai stres, dihantui bayangan kesedihan yang terus-menerus, dan bahkan dibebani depresi. Hal ini membuat tugas sehari-harinya terasa bagaikan gunung yang harus didaki, dan kesepian menggema di ruang-ruang kosong rumahnya. Ia telah “menyeret kakinya” untuk menormalkan keadaan seperti dahulu sambil menyembunyikan setiap pilu dari anaknya. Ia berhasil, tapi traumanya membekas.

“Akhirnya saya lebih cenderung menarik diri karena ada hal-hal yang saya hindari,” ujar Fani ketika menceritakan kehidupan sosialnya setahun usai perceraian, “karena terkadang orang-orang berkomentar tentang hidup saya melebihi ekspektasi dan standar norma dan saya tak nyaman.”

Penarikan dan isolasi diri seperti itu, paling tidak pada awalnya, bukanlah pilihan, melainkan tuntutan keadaan. Fani telah mencoba mengatur pertemuan dengan beberapa temannya. Ia punya sejumlah teman lama yang sangat baik, bahkan menemaninya bertahun-tahun dalam suka dan duka. Tapi, ia mendapati sedikit sekali—kalaupun ada—yang bisa ia paksakan pada mereka ketika mereka sibuk dengan suami, anak-anak, dan kehidupan mereka sendiri.

Fani sepenuhnya sadar bahwa mereka tak bertanggung jawab untuk menghiburnya, apalagi sampai menghentikan kehidupan mereka untuknya, tapi acapkali ia merasa sulit menerima kenyataan ini. Ketika teman-temannya mengatakan bahwa mereka sibuk, perasaannya jadi lebih buruk daripada sebelumnya, marah karena merasa tak ada yang menginginkannya. Ini semua mencambuknya untuk terus meringkuk dan menyendiri sekian lama.

Dan sebenarnya ia khawatir bahwa siklus buruk itu bakal memengaruhi kehidupan anaknya. Kekhawatiran itulah yang kemudian menjadi motivasinya untuk memperbaiki diri, sebab apa dan siapa ia merupakan representasi untuk apa dan siapa anaknya nanti—maksudnya dalam hal parenting. Nilai kehidupannya perlahan mulai bergeser dari yang awalnya karier menjadi anak semata wayangnya.

“Anak prioritas untuk saya,” ucap Fani, “jadi saya sengaja bekerja paruh waktu karena anak, supaya bisa menghabiskan waktu sesering mungkin… Sekitar dua tahun ini saya menjadikan pekerjaan sebagai sampingan, tidak ada pekerjaan tetap, sengaja tak menerima dan mencari pekerjaan ‘nine to five’… (Setiap akhir pekan) saya melakukan apa pun yang membentuk file berkualitas dalam folder memori keluarga, terutama memori anak saya.”

Baca Juga: ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #1: Terpuruk dan Terisolasi di Tengah Keramaian Kampus
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #2: yang Terasing dalam Keheningan Kata
ARSIP KESEPIAN DI BANDUNG #3: Bekerja Delapan Jam untuk Uang Kertas Seratus Ribu

Tahanan Rumah

Setiap single mom memiliki cerita yang unik. Beberapa dari mereka bercerai, beberapa dari mereka bahkan tak pernah menikah sama sekali. Sebagian tak memiliki kontak dengan ayah dari anak mereka, sementara yang lain berbagi hak asuh. Ada yang didukung secara finansial dan ada pula yang hampir tak bisa bertahan hidup. Namun, terlepas dari semua perbedaan itu, kesepian merupakan faktor umum yang mereka alami bersama.

Fani sendiri awalnya merasa jarang kesepian. Ia sangat sibuk menghabiskan waktu bersama putranya, menekuni pekerjaan paruh waktunya, mengerjakan berbagai tugas rumah tangga, dan mengelola semua kegilaan lain dalam hidupnya. Singkatnya, ia sibuk menyeimbangkan waktu antara mengasuh anak, pekerjaan, dan (terkadang) ekspektasi masyarakat. Ia sangat yakin bahwa ia terlalu sibuk untuk merasa kesepian.

Tapi belakangan ia mulai menyadari bahwa kebutuhannya yang konstan untuk menyibukkan diri adalah gejala utama dari kesepian itu. Dalam arti lain, ia menyempitkan waktu senggang karena tubuh dan pikirannya berusaha mengalihkan diri dari hantu kesepian yang selama ini menggentayanginya. Aktivitas yang tak ada habisnya—mengasuh anak, agenda kerja, tugas-tugas rumah tangga—adalah caranya untuk mengabaikan rasa kekosongannya.

“Ada malam-malam ketika saya merasa sangat kosong, biasanya setelah menyanyikan lagu pengantar tidur buat anak saya. Saat itu rumah begitu hening, kadang terasa menenangkan, tapi kadang bikin saya takut dan cemas. Saya ngerasa pengen dipeluk, dan memang kadang anak saya memeluk saya, tapi tetep aja perasaan buruk itu masih ada. Ini jarang terjadi, tapi sangat menyakitkan ketika itu terjadi,” ungkap Fani tentang momen kesepiannya.

Selain kesendirian secara fisik, kesepian Fani juga kerap bersumber dari keharusannya untuk membuat berbagai keputusan sendirian, seperti sekolah mana yang akan dimasuki anaknya atau apakah putranya harus diperiksa dokter setelah kepalanya terbentur di taman bermain. Pada saat-saat inilah ia merasa paling takut sendirian, tak seorang pun yang bisa membantu pikirannya dan mengosongkan keraguan atau kecemasannya.

Fani sebenarnya tak mengharapkan orang lain untuk mengetahui semua jawaban, terutama jika ia bisa melakukannya sendiri. Pada banyak kesempatan, keinginannya adalah seseorang mendengarkan dan memberitahunya bahwa apa yang ia putuskan terdengar bagus, bahkan sangat baik untuk masa depan anaknya. Dengan cara itulah ia bisa menyadari bahwa ia tahu apa yang dilakukannya dan bahwa ia tak sendirian.

Bagaimanapun, kesendirian telah menjadi bayangan yang terus membuntutinya.

Sekarang ia sudah terbiasa sendirian sepanjang waktu, sehingga ketika ia keluar dan melihat teman-temannya, ia hanya akan menonton mereka seperti film dokumenter satwa liar yang menampilkan spesies-spesies tak dikenal, mencoba mengingat bagaimana rasanya menjadi bagian dari sesuatu seperti itu. Mereka tak mengerti bahwa, meskipun dikelilingi oleh orang tua dan anak-anak lain, ia masih bisa merasa kesepian.

“Ada sesuatu yang kosong aja dalam diri kita,” jelas Fani saat melukiskan seperti apa rasanya kesepian itu, “tapi kita tak bisa menjelaskan itu dengan sebuah kalimat yang mutlak. Intinya, kesepian bisa mengubah cara saya memandang diri saya sendiri.”

Kendati sulit digambarkan secara gamblang, menurutnya, sensasi kesepian adalah salah satu pengalaman terburuk manusia. Ia menggambarkannya sebagai rasa kelelahan dan badmood yang begitu awet, terutama ketika berhubungan dengan urusan anak dan pekerjaan rumah tangga yang tak ada habisnya. Itu seperti lubang hitam yang menyedotnya habis dan sangat sulit untuk mencari jalan keluar.

Para psikolog sering membandingkan kesepian dengan rasa lapar. Maksudnya, sama seperti tubuh kita menggunakan rasa lapar untuk memberitahu bahwa kita memerlukan makanan, kesepian adalah cara tubuh kita memberitahu bahwa kita memerlukan lebih banyak kontak sosial. Kedengarannya sangat sederhana; ini mungkin semacam “rasa lapar mental”, tinggal bagaimana kita memenuhi rasa lapar tersebut.

Tapi bagi Fani, dan mungkin semua single mom lainnya, maka analoginya adalah ada banyak makanan di depannya, tapi ia tak bisa mengonsumsinya karena ia terkunci di dalam ruangan kosong, jadi ia hanya perlu mengabaikan rasa lapar itu. Memang terdengar terlalu dramatis, tapi jika kita punya anak yang tertidur di kamar dan kita adalah satu-satunya orang dewasa di rumah, kita tampaknya akan menjadi tahanan rumah, kelaparan atau tidak.

Nggak ada,” hemat Fani tentang adakah orang yang bisa dihubungi saat merasa kesepian. “Bahkan saya menghabiskan waktu dengan orang lain gak nyampe 2 jam dalam seminggu… Ada masa ketika saya ngerasa gak punya siapa pun untuk diajak ngobrol, dan ada juga masa ketika saya ngerasa semacam diabaikan oleh orang lain. Dan dari situlah saya paham bahwa kita memang sendirian di dunia ini.”

Dari Kesepian ke Menyepi

Akhirnya, sebagai seorang single mom, ia lelah dengan betapa sepinya perjalanannya dan ia letih karena harus melakukan semuanya sendirian. Segalanya terasa seperti berputar di luar kendali dan ia tak memiliki siapa pun di dunia ini untuk bersandar—dan begitu banyak orang tua yang merasakan hal serupa. Suatu malam, ia menatap putranya yang terlelap, kemudian bergumam pada dirinya sendiri bahwa hidupnya harus menjadi lebih baik.

Di situlah ia mulai beralih dari kesepian ke “menyepi”.

“Ada perbedaan antara menyepi dan kesepian,” tuturnya yang diikuti senyum ramah. “Saya (sekarang) lebih cenderung menyepi, (terutama) jika tidak ada anak—entah dia sekolah atau menginap di rumah sepupunya, tapi (saya) tidak merasa kesepian. Dengan memahami rasa kesepian hanya sebuah perasaan sementara, maka kita lebih cenderung bisa kontrol dengan efek sementara yang timbul karena perasaan itu.”

“Paling diem bentar,” tambahnya tentang apa yang dilakukan ketika merasa kesepian, “puk-puk diri aja sih… Saya mulai paham bahwa kita memang sendirian di dunia ini, oleh sebab itu kita harus selesai dengan diri kita sendiri supaya bisa melakukan kegiatan.”

Dari kesadaran dan pemahaman itulah, lambat laun beban di pundaknya mulai terangkat. Ia belajar menghadapi kesepian—sesuatu yang mulanya muncul begitu saja dan menyakitkan, kini menjadi sesuatu yang ia pilih secara sengaja sebagai momentum untuk bermain dengan putranya dan melakukan aktivitas-aktivitas meditatif lainnya. Dengan menyepi, ia jadi lebih nyaman dengan dirinya sendiri.

Meski banyak menghabiskan waktu di rumah, Fani tak terlalu sering membuka media sosial.

“Medsos itu kayak kanker,” jelasnya ketika menyangkal media sosial sebagai obat kesepian. “Justru itu yang bikin kita merasa kesepian, karena adanya demokratisasi informasi sehingga kita cenderung memahami segala hal, termasuk relationship, dengan kacamata orang lain. Konsep relationship yang digambarkan oleh medsos yang membuat kita terjatuh pada circle yang  terkadang dipaksakan—dan kita cenderung FOMO (Fear of Missing Out).”

Pada intinya, terlepas dari perceraian, memiliki putra yang luar biasa ini adalah pengalaman terbaik dalam hidup Fani. Putranya itu, yang sering kali vulnerable kepadanya, memeluknya dengan antusiasme yang lebih besar ketimbang rangkulan pria mana pun. Ia menggenggam tangannya, dan itu membanjiri perasaannya dengan sukacita. Sekarang Fani benar-benar tak menginginkan satu hal pun, kecuali bahwa putranya ada di sisinya, setiap hari.

Kegembiraan yang putranya berikan kepadanya saat mereka tertawa dan bermain agak sulit untuk ditandingi. Alih-alih kekayaan harta atau status sosial, itulah kemewahannya saat ini—dan mungkin akan selalu begitu. Jadi, kalaulah seseorang mendapatinya menangis saat larut malam dalam kesunyian karena kesepian yang begitu pelik untuk diakuinya, ia meminta agar ia tak dikasihani.

Baginya, berkat kesadaran dan kebijaksanaan yang terus berkembang, itu jauh lebih mudah dilalui dan diserap ketimbang patah hati yang lain. “Menyepilah agar tak merasa kesepian,” ucap Fani untuk single mom lainnya yang saat ini sedang dirundung kesepian.

“Perbanyaklah membuat momen dalam sepi supaya kita bisa mencerna informasi yang baik untuk bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Ingatlah bahwa keluarga, tetangga, teman, bahkan pemerintah bisa punya andil dalam mengecewakanmu, jadi belajarlah tegak dengan kakimu sendiri. Kamu adalah hal terbaik yang Allah ciptakan… Ada zat Maha Baik yang kini menantimu melakukan banyak hal baik. Be brave,” tutupnya.

*Nama telah diubah untuk melindungi identitas.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//