• Opini
  • Refleksi Kebudayaan, Museum Sri Baduga, Etalase, dan Siasat Melawan Sepi

Refleksi Kebudayaan, Museum Sri Baduga, Etalase, dan Siasat Melawan Sepi

Jika kita membiarkan museum tetap berdebu, sepi, dan tidak terurus, maka kita sedang membiarkan wajah kita sendiri terlihat kusam di hadapan dunia.

Garbi Cipta Perdana

Bapaknya Lir. Ngebantuin wali kota ngurusin kebudayaan Bandung.

Berbagai macam alat kesenian juga budaya yang ada di Jawa Barat dipajang di Museum Sri Baduga, Bandung, Selasa (11/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

21 November 2025


BandungBergerak.id – Mari kita mulai dengan sebuah premis sederhana: “Museum adalah etalase budaya kita. Jika museumnya sepi dan tidak terurus, artinya budaya kita tidak penting.”

Sewaktu kuliah dulu dan juga berdasarkan doktrin dari buku-buku tentang sejarah dan kebudayaan, museum adalah etalase peradaban sebuah bangsa. Logikanya sederhana: jika etalasenya terurus, wangi, dan canggih, publik akan percaya bahwa "barang dagangan" (baca: kebudayaan) di dalamnya adalah sesuatu yang mahal dan penting. Sebaliknya, jika museumnya sepi, bau apek, dan narasinya membosankan, pesan yang kita kirimkan ke publik sangat jelas: kebudayaan kita tidak penting. Sejarah kita tidak berharga. Dan saya agak lapar saat menulis esai ini!

Di Bandung, kota yang merayakan dirinya dengan segala kebisingan kreatif, museum-museum sering kali berdiri sebagai paradoks. Di luar pagar museum, kendaraan lalu lalang dan kadang bermacet ria memperlihatkan bahwa kota ini begitu hidup walau kadang penuh amarah, mencoba "ngigelan zaman", dan penuh warna. Namun, melangkah masuk ke dalam museum-museum kita –baik itu museum negeri provinsi, museum kota, hingga museum-museum lainnya– waktu seolah membeku. Walau saya sendiri mengamini bahwa terkadang kita membutuhkan tempat di mana waktu berhenti untuk menyepi, untuk mencari arti, tapi rasanya masih ada yang dapat diupayakan lagi, deh.

Tulisan ini lahir berkat dipicu dari kegiatan Seminar Kajian Koleksi Arkeologika Museum Sri Baduga tahun 2025 di mana saya hadir menjadi salah satu narasumbernya. Namun, saya tidak ingin mengekang pembahasan ini hanya pada museum yang ada di daerah Tegallega itu. Pengalaman dari Museum Sri Baduga hanyalah potret awal yang saya rasa merupakan hal lumrah di hampir seluruh ekosistem permuseuman di Kota Bandung dan mungkin Indonesia.

Pada tanggal 13 November 2025, saya mempresentasikan “Museum Sri Baduga dalam Pemajuan Kebudayaan dan Pelestarian Cagar Budaya Kota Bandung”. Judulnya sangat teknokratis, khas paparan pegawai negeri. Saya juga membahas peraturan-peraturan yang menaungi Pemajuan Kebudayaan dan Pelestarian Cagar Budaya di Kota Bandung. Kalau kata Mardiansyah, hal tersebut sudah jadi prosedur operasional standar bagi pegawai negeri dalam mengemukakan pendapat. Tapi saya tidak berhenti di situ, saya coba memacu pemajuan kebudayaan kota agar melaju lebih cepat. Serupa Whoosh yang menyisakan hutang. Apa yang coba saya sampaikan saat itu dan juga saat ini adalah perkara relevansi. Tentang bagaimana alat batu, arca, batu prasasti, naskah kuno, diorama kaku, dan berbagai koleksi yang ada di museum-museum bisa "berbunyi" bagi generasi yang hari ini lebih akrab dengan layar gawai dalam genggaman ketimbang vitrine (lemari kaca). Oh, iya, perlu disadari, sebagaimana mana saya sadar diri, saya cuma satu sekrup di rangkaian Whoosh. Jadi, walau saya mencoba memacu agar laju pemajuan kebudayaan bergerak lebih cepat, tentu tidak mungkin, Ferguso!

Baca Juga: Sebuah Kamar, Sebuah Museum Kecil untuk Hafidin Royan
Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia
Menyimak Pameran Kuasa Kata Konferensi Asia Afrika 1955 di Museum KAA

Bercermin dari Sri Baduga: Sebuah Kritik Otokritik

Oke. Saya memanfaatkan kesempatan menjadi narasumber di kegiatan Museum Sri Baduga untuk memahami kondisi umum museum kita. Museum Sri Baduga masuk dalam kategori museum umum dan merupakan museum negeri yang dikelola oleh pemerintah provinsi. Sebagai museum level provinsi, ia seharusnya menjadi barometer. Secara jumlah koleksi dan variasi koleksinya, Museum Sri Baduga memang jadi pusat kebudayaan Tatar Sunda. Secara penyajian data, menurut saya museum ini masih kalah jika dibandingkan dengan Museum Geologi yang sama-sama berada di Kota Bandung. Namun, sebagian orang mungkin akan menganggap perbandingan itu tidak apple to apple –atau karena sekarang lagi usum mangga jadi mango to mango– karena beda level; yang satu level provinsi sedangkan satunya lagi nasional, yang satu sejak masa kolonial sedangkan satunya lagi sejak Orde Baru. Tapi, apa salahnya membandingkan agar tercipta “persaingan” yang sengit dan sehat demi terwujudnya pemajuan kebudayaan?

Oke, saya mulai dari koleksi terlebih dahulu. Berdasarkan data dari Pokok Pikiran Kebudayaan Kota Bandung Tahun 2025, Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) Manuskrip yang jadi rekaman intelektual karuhun yang berada di Museum Sri Baduga berjumlah 178 manuskrip. Jumlah tersebut menunjukkan 18 persen manuskrip yang terdata di Kota Bandung berada di Museum Sri Baduga. Dari 178 manuskrip yang terdata, sebagian besar bukan berasal dari wilayah Kota Bandung. Artinya, manuskrip tersebut didatangkan ke Kota Bandung dari seantero wilayah Jawa Barat. Yang cukup memilukan adalah kenyataan bahwa berdasarkan kondisi fisiknya, dari 178 naskah itu, 43 dalam kondisi kurang terpelihara, dan 30 dalam kondisi tidak terpelihara.

Bayangkan ini. Hampir separuh dari memori tertulis kota ini yang tersimpan di sana sedang perlahan menuju kepunahan. Jika ini terjadi di museum pelat merah dengan dukungan APBD provinsi, bagaimana nasib koleksi di museum-museum yang lebih kecil dengan anggaran seupil? Ini bukan sekadar statistik administrasi di satu museum; ini adalah cerminan dari kegagalan kolektif kita dalam merawat ingatan. Atau, apakah kita perlu mengamini perkataan Leo Tolstoy bahwa “orang yang bahagia tidak memiliki sejarah”?

Terkait Cagar Budaya, berdasarkan data yang dimiliki Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung yang bersumber dari Sistem Register Nasional Cagar Budaya dan Data Pokok Kebudayaan, menunjukkan baru 59 benda koleksi Museum Sri Baduga yang terdaftar sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Angka ini sangat kecil, hanya 12 persen dari jumlah Benda ODCB Kota Bandung yang 88 persen sisanya merupakan koleksi Museum Geologi. Belum lagi 59 benda tersebut didominasi oleh narasi yang random –senjata kolonial, wadah payung, hingga benda replika.

Memang sampai kini tidak ada satu pun Cagar Budaya berupa benda yang sudah ditetapkan di Kota Bandung. Hanya saja, minimnya pendaftaran ODCB khususnya benda yang menjadi koleksi museum ini juga menjangkiti banyak museum lain di Bandung. Padahal, koleksi museum berpotensi kuat untuk menjadi Cagar Budaya. Persoalannya, sering kali museum memajang benda tanpa data informasi, narasi, dan konteks yang kuat. Akibatnya, proses pendaftaran ODCB yang dilakukan oleh kurator menjadi tidak sesuai standar pendaftaran. Akibatnya, proses penetapan menjadi mandek.

Selain itu, dalam konteks pameran, museum pun mengalami krisis representasi. Mereka –museum yang menyajikan koleksi– berada di Bandung, di Jawa Barat, di Tatar Sunda, tapi terasa berjarak. Tata pamer tidak dekat dan nyaring, pengunjung dihadapkan pada pengalaman yang bukan melihat cermin identitas mereka sendiri. Benda-benda mati disajikan tanpa narasi yang hidup. Alhasil, sebagian besar tidak repeat order karena tidak nikmat.

Seperti tulisan saya soal arsitek Albert Aalbers, mungkin bendanya "biasa saja". Tapi "tafsiran"-nyalah yang harus hebat. Sayangnya, di banyak museum kita, tafsiran itu absen. Tanpa tafsiran, museum hanyalah gudang ber-AC, atau bahkan tidak ber-AC?

Pergeseran Paradigma: Dari Gudang ke mana?

Dunia berubah, sejalan dengan itu definisi museum pun ikut berubah. Tahun 2022, rapat ICOM (International Council of Museums) di Praha telah meruntuhkan menara gading permuseuman. Definisi baru yang dihasilkan tiga tahun lalu itu menuntut museum untuk "inklusif," "mendorong keberagaman," dan "memberikan beragam pengalaman."

Bagi saya, kata kunci museum sekarang adalah pengalaman.

Masalahnya, sebagian besar museum di Bandung masih terjebak paradigma lama: museum sebagai gudang. Fungsinya dianggap selesai ketika benda sudah masuk inventaris dan ditaruh di etalase. Mentalitas ini yang membuat museum menjadi sepi. Walau tak bisa dipungkiri juga bahwa ada upaya untuk beranjak dari konsep kolonial yang usang tersebut, namun sumber daya –pendanaan dan manusia– yang ada masih minim, dan kata minim itu pun masih terlampau halus untuk memperlihatkan kondisi di lapangannya.

Padahal, kita punya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mencoba mengakselerasikan bahwa tujuan bernegara ini adalah untuk memajukan kebudayaan bangsa. Undang-undang tersebut juga mencoba memberikan paradigma baru bagi kita dalam melihat kebudayaan; bahwa budaya adalah keseharian, bukan hanya tentang masa lalu, tapi berfokus pada masa depan untuk menjawab tanya tentang budaya apa yang ingin kita ciptakan ke depannya tanpa kehilangan identitas. Kita juga punya visi kota "Bandung Utama" dan visi provinsi "Jabar Istimewa". Realitanya, Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Jawa Barat yang masih di bawah rerata nasional adalah "rapor merah" bagi semua institusi dalam ekosistem kebudayaan, bukan cuma satu-dua museum, apalagi hanya Museum Sri Baduga. Ini bukti bahwa infrastruktur budaya kita belum berhasil membangun manusia. Wabilkhusus, museum belum sukses menjadi katalis dalam pembangunan kebudayaan.

Kita butuh museum-museum yang berfungsi sebagai hub, sebagai "ruang tamu kota" sekaligus “kamar tidur atau kamar mandi warga”. Tempat di mana arsip kolonial bisa dibaca ulang untuk mengkritisi tata kota hari ini. Tempat di mana naskah kuno tidak hanya dibaca filolog, tapi dialihwahanakan menjadi komik atau film pendek. Tempat di mana anak muda merasa relate. Tempat di mana warga bermimpi, berimajinasi, dan menyusun strategi dalam menghadapi berbagai persoalan sehari-hari; baik yang sekadar kerikil di coffee shop yang diinjak sepatu Salomon mahal, atau sebesar Gunung Batu Lembang yang kerap dipanjat muda mudi.

Siasat Melawan: Peta Jalan agar Relevan

Lantas, apa yang harus dilakukan oleh museum-museum di Bandung? Diam meratapi nasib, atau menaikkan bendera putih untuk membubarkan diri? Tentu tidak. Berangkat dari kasus Museum Sri Baduga, saya menawarkan sebuah tawaran "siasat". Siasat menyiratkan kecerdikan dalam keterbatasan. Siasat ini juga yang saya sampaikan dalam kegiatan seminar kemarin.

Siasat Pertama: Implementasi Regulasi sebagai "Senjata".

Museum-museum harus berhenti pasif. Kita punya UU Pemajuan Kebudayaan, Perda Bandung 7/2023, dan berbagai instrumen hukum lainnya. Museum Sri Baduga –dan museum lainnya– harus aktif mendaftarkan koleksinya untuk dapat diproses sebagai Cagar Budaya.

Kenapa ini penting bagi semua museum? Karena status hukum membawa konsekuensi perlindungan dan anggaran. Jika benda sudah berstatus CB, negara wajib membiayainya. Ini cara teknis untuk menyelamatkan naskah-naskah yang rusak tadi. Ingat kasus pencurian koleksi museum? Dengan status CB, pencurian koleksi tidak lagi menggunakan dasar hukum KUHP sebagai tindak pidana pencurian sebagaimana pada umumnya saja, melainkan menggunakan pidana khusus yang diatur oleh UU CB dengan ganjaran yang lebih berat, Bos! Walau, memang, agak jarang juga sanksi pidana CB ini ditegakan. Hehe. Tapi, intinya kita perlu berupaya untuk tidak membiarkan koleksi museum berada dalam status administrasi yang mengambang.

Siasat Kedua: Kolaborasi Ekosistem.

Penyakit para birokrat selain sakit pantat dan nyeri punggung adalah silo mentality. Hal tersebut juga menjangkiti para birokrat yang ada di museum-museum negeri. Keyakinan untuk merasa bisa mengerjakan semuanya sendiri. Padahal, Bandung punya segalanya. Kita punya kampus-kampus top, komunitas sejarah militan seperti Komunitas Aleut, kolektif seni yang progresif, hingga jelema-jelema anying edan. Sagala aya di dieu mah, lah!

Museum-museum di Bandung harus membuka pintu untuk pendayagunaan bersama. Tolong, jadilah simpul. Bayangkan jika museum-museum dapat mengundang seniman kontemporer untuk merespons koleksi "Wadah Payung VOC" atau arca Polinesia. Bayangkan jika mahasiswa sejarah dilibatkan untuk meneliti arsip yang menumpuk. Mahasiswa sastra atau filologi dilibatkan untuk meneliti naskah atau manuskrip. Mahasiswa teknik kimia dilibatkan untuk konservasi koleksi. Ah, indahnya kerja sama jika bukan sekadar jargon. Artinya, sama-sama kerja, sama-sama capek, dan yang terpenting sama-sama percaya, tidak saling curiga!

Konsep pengelolaan kebudayaan di mana museum salah satu ruang kebudayaan yang patut diterapkan adalah co-curation atau kurasi bersama. Dengan begitu, museum sebagai ruang secara “pengelolaan” dikembalikan kepada pemilik aslinya: masyarakat. Konsep tersebut sejalan dengan semangat pemajuan kebudayaan yang menempatkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator. Penerapan konsep tersebut juga membuat museum menjadi ruang inklusif yang hidup dan menghidupi.

Siasat Ketiga: Reaktualisasi.

Ini bagian yang paling krusial. Reaktualisasi budaya. Dalam bahasa sederhananya: bikin apa yang dianggap sebagai warisan budaya menjadi relevan di masa kini.

Kita sering terjebak pada pelestarian bentuk. Padahal esensi pelestarian berada pada tataran nilai. Seperti film Aftersun (2022) yang mengajarkan kita merekonstruksi ingatan lewat potongan video, museum harus membantu kita merekonstruksi identitas lewat potongan artefak yang jadi koleksi. Editor filmnya adalah kurator yang menjahit kepingan koleksi dengan narasi, pencahayaan, tata letak, alur pamer, dan aturan kunjungan.

Saya membayangkan museum-museum di Bandung mulai berani melakukan alih wahana. Manuskrip coba dijadikan podcast sandiwara radio bergenre horor/misteri. Prasasti dijelaskan lewat Augmented Reality. Senjata kolonial dipamerkan dengan narasi kritis tentang kekerasan struktural, bukan sekadar spek teknis; bahwa ini adalah alat kekuasaan yang melanggengkan kolonialisme di Nusantara.

Hanya dengan tafsiran yang berani dan media yang segar, museum bisa bersaing dengan mal atau kafe instagramable dalam memperebutkan atensi warga kota. Hanya saja, perlu kita sadari bahwa yang dimaksud dengan “segar” di sini bukan berarti fardu ain harus menggunakan teknologi digital. Saya menangkap adanya kesalahan memaknai kebaruan di museum. Semua museum seakan latah berlomba menjadi si-paling-digital, menyajikan teknologi immersive yang mahal, dan sebagainya. Perlu disadari, teknologi digital hanyalah salah satu media dalam metode menyampaikan narasi. Sehingga fokusnya adalah pada menyiapkan narasi yang matang. Sebab, museum bukan sekedar Timezone atau Game Master. Sangat jauh, lebih dari itu!

Epilog: Etalase untuk Masa Depan

Menutup esai ini, ada dua hal yang perlu saya tegaskan. Pertama, ini pengulangan: saya cuma satu sekrup di rangkaian Whoosh. Jadi, walau saya mencoba memacu agar laju pemajuan kebudayaan bergerak lebih cepat, tentu tidak mungkin, Ferguso!

Kedua, saya ingin kembali ke metafora etalase tadi. Jika kita membiarkan museum-museum kita –Museum Sri Baduga, Museum Mandala Wangsit, Museum Sejarah Kota Bandung dan lainnya– tetap berdebu, sepi, dan tidak terurus, maka kita sedang membiarkan wajah kita sendiri terlihat kusam di hadapan dunia. Lebih parah lagi, kita sedang mewariskan kebingungan pada generasi selanjutnya.

Anak saya, Lir Bumi Niskala, atau generasi setelahnya, kelak akan bertanya tentang asal-usul dirinya, juga kaitannya dengan kota ini. Ke mana mereka harus mencari jawabannya jika "etalase"-nya kosong atau berantakan atau gagu karena bahasa yang asing? Mana saya tahu! Saya kan Pamong Budaya Ahli Pertama, jadi, hayu, ah, implementasikan amanat peraturan, rangkul komunitas, dan hidupkan kembali cerita dengan cara baru. Buat sejarah dan jadi bagian dari sejarah! Mari jadikan museum sebagai ruang di mana kita merayakan hidup dan ingatan.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//