KISAH CIKOLE #2: Cerita Pasangan De Rooth dan Maritje, serta Polemik Data Keluarga Dozij
Desa Cikole di Lembang menyimpan kisah pasangan De Rooth dan Maritje dan perkebunan stroberi milik keluarga Dozij.

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
22 November 2025
BandungBergerak.id – Kawasan inseminasi buatan Baru Ajak yang sekarang menjadi Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) adalah sebuah kawasan pertama yang membangun persentuhan pertama saya dengan Lembang, karena sejak usia 5 tahun. Hampir setiap hari kerja saya ikut ibu untuk ngantor blusukan ke kebun-kebun percobaan, ikut panen bersama para pegawai kebun, hingga mencicipi serunya menaiki traktor ditengah kebun percobaan Cikole.
Saya mengetahui kisah sang empunya kawasan pun sejak kecil, hingga saya sangat familiar dengan kisah pasangan sejoli yang bernama Tuan De Rooth dan Maritje. Tuan De Rooth, masih tidak diketahui nama depannya, adalah seorang ahli inseminasi buatan yang didatangkan dari Sukabumi. Sebelumnya ia bekerja di Bogor dan Sukabumi. De Rooth adalah pria keturunan Yahudi yang didatangkan oleh Giuseppe Ursone untuk membantu perkembangan peternakan Baru Ajak di tahun 1902.
De Rooth menikah dengan perempuan bernama Maritje. Awalnya saya pikir sosok Maritje ini adalah wanita Belanda, berkulit pucat, dan berambut pirang. Ternyata setelah diriset lebih jauh, Maritje ini adalah seorang wanita pribumi asal Sukabumi yang memiliki nama asli Suhaya. Namun setelah menikah dengan De Rooth, ia dikenal dengan nama Marie Suhaya atau yang akrab dengan panggilan Maritje.
De Rooth dan Maritje terkenal dengan kedermawanannya. Para pekerja sangat hormat, namun sayangnya mereka tidak memiliki keturunan.
Lama berselang dalam masa riset di tahun 2013, ternyata saya menemukan kabar baik tentang sosok Maritje ini. Saat itu pengurus kantin di Balitsa mengalami pergantian. Ibu sering memesan masakan dari sang ibu kantin Balitsa untuk lauk pauk di rumah. Suatu hari ibu harus ke kawasan Subang untuk survei lahan, saya disuruh ibu untuk memesan makanan di kantin tersebut. Setelah berkenalan dengan ibu kantin yang baru, saya kembali “iseng” bertanya kisah sejarah Balitsa dan saya terkejut bahwa sang ibu kantin tersebut masih kerabat dekat Maritje.
Ketika pasukan Jepang memasuki Lembang pada 6-8 Maret 1942, kawasan inseminasi buatan Baru Ajak tersebut harus berhenti beroperasi. Bahkan kantor, lab, dan rumah tinggal De Rooth pun diambil alih petinggi militer Jepang. De Rooth dibawa ke Kamp Interniran yang entah di mana hingga ia pun tidak pernah kembali ke kawasan Lembang. Sedangkan nasib Maritje tersiar dua kabar. Pertama, ia meninggal beberapa tahun sebelum Jepang memasuki Cikole. Namun ada kabar kedua yang mengatakan bahwa Maritje dibawa mengungsi ke kawasan Subang.
Entah mana yang benar dari dua cerita tersebut, namun makam dari Maritje berada di timur kebun percobaan Balitsa, terurus rapi, karena berada dekat dengan para kerabat. Bahkan sebagian dari kerabat Maritje masih tinggal di kawasan Pasar Ahad, Cikole.

Baca Juga: POLEMIK DATA RISET SEJARAH LEMBANG #4: Mencari Lokasi Toko Marmer Carara Ursone dan Loji Giriloyo
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Pasir Pahlawan
KISAH CIKOLE #1: Antara Pisang Kole dan Kopi Kental
Polemik Data Keluarga Dozij.
Sekarang mari kita beranjak ke objek kedua dari kawasan Cikole, kawasan penuh polemik dari keluarga Dozij. Kisah ini saya dapat ketika meriset kawasan Cikole di 2012 hingga 2013. Saat itu saya memperoleh data bahwa di kawasan Lembang terdapat perkebunan stroberi tua. Di tengah perkebunannya terdapat rumah cantik yang tidak kalah indah dari kapel Deetje di Baru Ajak.
Tentu saja saya sangat penasaran. Ketika saya meriset salah satu narasumber mengatakan bahwa, nama perkebunan stroberi tersebut adalah Buni Hayu yang dikembangkan keluarga Dozij. Setelah saya riset kembali, keluarga Dozij adalah mantan pegawai dari perkebunan kopi di Cikole.
Namun saya sangat kebingungan mengenai letak tepatnya perkebunan stroberi ini. Saya hanya mendapat petunjuk bahwa nama perkebunannya Buni Hayu, didirikan oleh keluarga bekas pekerja perkebunan kopi dan letaknya tidak jauh dari Balitsa. Kebingungan saya semakin menjadi ketika saya melihat peta bahwa Buni Hayu berada di kawasan Subang, lebih dekat dengan Jalan Cagak ketimbang Balitsa. Namun semua narasumber saya mengatakan lokasinya ada di dekat Balitsa, apakah ada dua Buni Hayu?
Saya sempat memasukan data ini kedalam data ngambang dan sempat saya peti es kan untuk beberapa lama. Saat itu satu tahun menjelang pandemi dan saya sedang hamil muda. Entah mengapa saya ngidam sekali makan stroberi dan akhirnya saya bertandang ke tetangga terdekat saya yang menanam stroberi, mereka adalah sepasang suami istri parubaya menanam beri-berian di sebelah rumah orang tua saya di Cibogo.
Hampir setiap pagi di masa ngidam saya, saya menyambangi kebun beri milik pasangan suami istri tersebut (sekarang menjadi Villa Rasberry, Cibogo, Lembang ), hingga saya pun bertanya tentang perkebunan strawberry tua bernama Buni Hayu. Saya ceritakan ciri-cirinya, dan sang bapak berkata, “Sanes Buni Hayu neng, tapi Boemi Hajoe (bukan Buni Hayu neng, tapi Boemi Hajoe).”
Terjawablah polemik data ini, ternyata selama ini saya salah mengartikan nama perkebunan tersebut. Setelah saya riset kembali dan mengecek situs Delpher betul saja bahwa di utara Lembang, tepatnya di selatan Cikole terdapat perkebunan stroberi tua yang didirikan oleh keluarg Dozij yang merupakan mantan pekerja dari perkebunan kopi di Cikole.
Letak pastinya ternyata berada di kawasan yang sekarang menjadi Balai Latihan Kerja Cikole hingga jajaran jongko-jongko jagung di sebrang gerbang Balitsa. Perkebunan stroberi tersebut memanjang hingga ke kawasan kompleks BTN Balitsa.
Sebuah perjalanan data yang sangat unik dari perkebunan stroberi Boemi Hajoe ini. Bagaimana kisah lengkap tentang Dozij bersaudara hingga dapat mengembangkan perkebunan stroberi satu-satunya di kawasan Utara Bandung, kita simak kisahnya minggu depan ya!
***
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

