• Kolom
  • KISAH CIKOLE #1: Antara Pisang Kole dan Kopi Kental

KISAH CIKOLE #1: Antara Pisang Kole dan Kopi Kental

Nama Desa Cikole di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, terkait dengan pisang kole khas daerah tersebut dan kebiasaan warganya menyeduh kopi yang kental.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Dulu rumah kediaman Tuan De Rooth, salah satu ahli inseminasi buatan masa kolonial. Sekarang menjadi balai penelitian tanaman dan sayuran, Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. (Foto: Sherly 2024)

15 November 2025


BandungBergerak.id – Cikole adalah salah satu desa di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Luas wilayah desa Cikole adalah 8, 06 kilometer persegi dan 8,43 persen dari luas Kecamatan Lembang. Jarak dari Alun-alun Lembang ke Cikole adalah 5,1 kilometer. Jumlah penduduk di Cikole kurang lebih adalah 879 jiwa/kilometer persegi. Mayoritas penduduk Cikole adalah petani, peternak, dan bekerja pada sektor pariwisata. 

Ketika melakukan riset lapangan, hal pertama yang saya cari adalah arti dari Cikole itu sendiri. Lalu saya mulai bertanya  secara acak kepada setiap warga yang saya temui dan menuntun saya pada beberapa narasumber yang datanya dapat dipertanggungjawabkan.

Ada dua arti dari Cikole yang saya peroleh. Pertama, diambil dari satu jenis buah pisang yang bernama pisang kole. Pisang kole ini tidak dapat dikonsumsi secara umum seperti jenis pisang lainnya, namun pisang kole ini adalah makanan khusus untuk primata di hutan Gunung Tangkuban Parahu. Hingga saat ini jenis pisang kole masih dapat kita temui di hutan Gunung Tangkuban Parahu.

Arti kedua dari Cikole saya dapatkan dari hampir semua narasumber di lapangan dalam rentan waktu 2012 hingga 2013. Arti Cikole yang satu ini agak unik dan “nyeleneh” karena merupakan kepanjangan dari ci kopi lekoh (air kopi yang kental).

Ternyata arti kedua ini dilatarbelakangi oleh kisah ketika kawasan Cikole ini menjadi perkebunan kopi luas yang dibuka oleh pemerintah kolonial. Bahkan di pekarangan rumah warga, tanaman kopi bisa dengan mudah ditemui, hingga warga Cikole apabila menyeduh kopi terlihat selalu lebih kental dari kawasan lainnya di Lembang. Hal inilah yang melahirkan istilah Cikole.

Lalu apa saja kisah-kisah sarat sejarah di kawasan Cikole ini? Bukankah sekarang stigma Cikole adalah lekat sekali dengan kawasan wisata kekinian karena menjamurnya kafe-kafe dan vila. Padahal banyak sekali kisah masa lalu yang sangat menarik dari kawasan Cikole.

Tulisan saya minggu ini dan beberapa minggu ke depan akan mendeskripsikan kisah masa lalu kawasan Cikole  hingga para pembaca semuanya tidak hanya terpaku pada stigma Cikole masa kini.

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Yang Tersisa di Lembang
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kamsuy dan Djarkasih
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Pasir Pahlawan

Bagian dari NV Baroe Adjak

Kita akan mulai dari sebuah tempat paling selatan terlebih dahulu. Di kawasan paling selatan Cikole, kita akan melihat sebuah balai pertanian luas dengan beberapa gedung tua yang masih tersisa. Balai tersebut dahulu bernama Balai Penelitian Tanaman dan sayuran atau Balitsa, namun sekarang disebut dengan Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Sayuran.

Saya memperoleh data tentang ini semua secara bertahap melalui serangkaian riset lapangan. Terlebih lagi almarhum ibu saya sejak 1981 adalah seorang peneliti sayuran balai pertanian ini sehingga proses wawancara pada pihak Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran dapat dengan intens saya lakukan.

Ketika peternakan Baroe Adjak sedang merintis usahanya di tahun 1902, Giuseppe Ursone menggandeng beberapa ahli untuk membentuk inseminasi buatan. Inseminasi buatan adalah teknik reproduksi yang memasukkan sperma dari pejantan unggulan ke dalam saluran reproduksi betina secara manual dengan alat khusus. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu genetik hewan ternak, mempercepat peningkatan populasi, menghemat penggunaan pejantan, mencegah penularan penyakit kelamin dan memungkinkan perkawinan silang antar jenis.

Lalu dibuatlah balai inseminasi buatan milik NV Baroe Adjak di utara Lembang menempati lahan seluas 10 hektare. Saat itu didatangkanlah beberapa ahli, salah satunya adalah Tuan De Rooth.  De Rooth adalah salah satu kawan dari Giussepe. Diboyonglah beliau dari Sukabumi dan ditempatkan di sebuah rumah mungil di tengah-tengah kebun balai inseminasi buatan tersebut. Rumah tersebut hingga kini masih ada, sebuah rumah indah dengan perapian yang cantik. Rumah tersebut kini menjadi tempat jasa penelitian dan kerja sama Balitsa.

Seperti yang sudah saya jelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa NV Baroe Adjak pada tahun 1933 menjadi peternakan terbesar di Asia Tenggara. Salah satu faktor pendukungnya adalah balai inseminasi buatan ini. Sapi-sapi pejantan unggulan di kumpulkan di balai inseminasi ini dan membantu menghasilkan kembali sapi-sapi unggulan.

Salah satu ahli inseminasi buatan lainnya yang di datangkan oleh Giussepe adalah Frans Xavier Stutz yang didatangkan pada tahun 1904. Namun ia terkena serangan jantung saat bertugas dan dimakamkan di selatan balai pada tahun yang sama.  Kisah ini pernah saya bahas dalam tulisan yang berjudul Polemik Data Riset Sejarah Lembang #3: Misteri Makam di Tengah Kebun Percobaan.

Balai inseminasi buatan Baroe Adjak ini dapat membantu peternakan-peternakan lainnya untuk mengembangkan bibit sapi perah unggulan hingga akhirnya peternakan General De Wet pun membuat balai kecil-kecilan di barat Lembang (di kawasan peternakan General De Wet yang lokasinya sekarang menjadi RSJ Cisarua). Dan dampak terhebatnya adalah sapi-sapi perah di kawasan Lembang ini adalah sapi-sapi berkualitas terbaik karena pihak NV Baroe Adjak tidak segan untuk berbagi ilmu kepada peternakan lainnya di Lembang, terutama kepada peternakan-peternakan kecil yang dikelola bangsa Boer.

Pasca kemerdekaan, balai inseminasi buatan ini  harus ditukar lokasinya hingga harus pindah ke lokasi barunya di jalan Kayu Ambon nomor 78 Lembang, tepat berada di depan pacuan kuda Lembang. Kawasan balai inseminasi buatan yang lama berubah fungsi menjadi Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran hingga kini.

Yang masih tersisa dari kawasan Inseminasi Buatan lama (masa kolonial) adalah adanya Dinas Peternakan Jawa Barat, Sekolah Peternakan Menengah Atas (Snakma), dan Rumah Sakit Hewan Jawa Barat. Ketiganya menempati bekas balai inseminasi buatan yang dahulu pada masa kolonial dirintis oleh NV Baroe Adjak.

Lalu seperti apakah kisah lainnya tentang kawasan balai inseminasi  buatan ini? Bagaimanakah kisah Tuan De Rooth dan istrinya Maritje, apa kiprahnya bagi Lembang? Dan benarkah kawasan ini menjadi salah satu kawasan pertempuran besar saat masa  perang kemerdekaan? Benarkah terdapat pemakaman masal di barat balai? Semua akan saya bahas dalam tulisan lanjutan minggu depan ya.

 

***

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//