• Kolom
  • MALIPIR #43: Risalah buat Pencari Nafkah

MALIPIR #43: Risalah buat Pencari Nafkah

Risalah Campaka di Laga menerangkan perihal kewajiban berusaha untuk diri pribadi dan keluarga.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Kerja mengalihaksarakan teks pegon Campaka di Laga ke dalam aksara Latin. (Ilustrasi: Hawe Setiawan)

24 November 2025


BandungBergerak – Saya ikut berziarah ke makam K.H. Tubagus Ahmad Bakri di Sempur, Plered, Purwakarta. Sang kiai dikenal umum dengan julukan Mama Sempur, pertanda kiai dan tempatnya berbakti bersenyawa. Kunjungan kami, rombongan kecil dari Negla, Kelurahan Isola, Bandung, dilakukan pada 23 Februari 2025. 

Seusai ikut memanjatkan doa untuk Nabi, orang-orang suci, para wali, ulama, dan para leluhur, saya singgah di sebuah kedai kitab dan cenderamata yang letaknya tidak jauh dari gerbang makam. Dari situlah saya mendapatkan 15 jilid kopi foto risalah peninggalan almarhum. Semuanya ditulis dalam bahasa Sunda dengan aksara pégon, yakni aksara Arab untuk bahasa vernakular. Semuanya pernah dicetak dan diterbitkan pada masanya. 

Salah satu di antara risalah-risalah itu sangat menarik perhatian saya. Judulnya, Campaka di Laga. Risalah 24 halaman ini dicetak dan diterbitkan oleh Majlis Ta'lim Al-'Idrus Jaya, di Jakarta, pada 1960-an. Jika risalah-risalah lainnya memakai judul berbahasa Arab, risalah yang satu ini memakai judul berbahasa Sunda. 

Hal yang tak kalah menariknya adalah pokok bahasannya yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Perhatikan saja keterangan di bawah judulnya: "mertélakeun perihal wajib usaha pikeun pirbadina jeung kulawarga (menerangkan perihal kewajiban berusaha untuk diri pribadi dan keluarga)".

Meski bukunya tipis, saya tidak cepat tamat membacanya. Setelah selesai membaca, saya ulangi membacanya di lain kesempatan, sambil membuat catatan. Lagi pula, sebagaimana sebagian besar pembaca buku di Indonesia kini, saya tidak terbiasa membaca teks pégon. Saya pun tidak datang dari lingkungan literasi yang membaca atau membacakan teks dengan kehadiran seorang mentor sebagai jangkar pembacaan dan penafsiran. Moga-moga tidak terlalu keliru jika saya memperlakukan teks pégon ini seperti membaca buku pada umumnya.

Untuk memudahkan saya membacanya lebih lanjut, saya mengalihaksarakan teks tersebut ke dalam aksara Latin. Saya pun memilah pokok-pokok argumen dari teks itu ke dalam sekian paragraf. Mohon ampun, karena keterbatasan ruangan, hasil transliterasi itu tidak mungkin saya sertakan di sini. Kalaupun dimungkinkan, saya cenderung tidak menyertakannya di sini, karena saya khawatir publikasi alih aksara itu malah ikut mematikan tradisi pégon itu sendiri. Saya yakin, di lingkungan tertentu seperti pesantren, literasi pégon merupakan tradisi yang terus hidup.   

Baca Juga: MALIPIR #42: Dari mana Datangnya Trisilas?
MALIPIR #41: Mencari Ucu Ruba'ah, Dokter Pertama Putri Sunda

Penalaran Keagamaan

Uraian dalam buku ini terbagi ke dalam lima pokok bahasan yang disebut fasal ditambah satu uraian pamungkas yang disebut paédah. Uraian pada tiap-tiap fasal berpijak pada dalil-dalil yang otoritasnya berhierarki, dimulai dari hadits, yakni riwayat atau catatan mengenai sabda atau perbuatan Nabi dengan rangkaian perawi yang terperinci, hingga temuan atau pendapat ulama terdahulu seperti yang tertuang dalam kitab-kitab klasik. 

Di antara ulama terdahulu yang pendapatnya dikutip atau isi kitabnya dinukil dalam risalah ini, terdapat nama-nama yang berasal dari Nusantara, seperti Syekh Nawawi dari Banten, Ma'mun Nawawi dari Cibarusah, Sayid Usman dari Jakarta, Raden Muhtar yang bermukim di Mekah, dan Arsyad Banjar dari Palembang.

Selain itu, dalam uraian di bagian paédah, dipetik pula wejangan berbentuk puisi karya pujangga klasik yang disebut nadhim. Kalau saya tidak gagal paham, uraian paédah berisi tuntunan peribadatan bagi siapa saja yang telah menempuh "usaha anu halal (usaha yang halal)", misalnya tuntunan do'a yang patut dipanjatkan seusai mendirikan salat.

Di halaman akhir terdapat pula keterangan mengenai titimangsa tamatnya proses penulisan risalah, yakni tahun 1382 Hijiriyah atau 1963 Masehi. Di situ juga terdapat pernyataan izin untuk mencetak risalah ini yang dialamatkan kepada Ajengan Cibogo. 

Buat pembaca awam seperti saya, prosedur penalaran keagamaan seperti ini menimbulkan daya tarik tersendiri. Setiap argumen di dalamnya didasarkan atas dalil-dalil yang sumbernya dapat ditelusuri. 

Wejangan Pencaharian

Dalam uraiannya, risalah ini menekankan bahwa mencari nafkah buat diri sendiri dan keluarga adalah perbuatan wajib. Adapun usaha yang patut ditempuh adalah usaha anu halal, dan jangan sampai kegiatan kita mencari nafkah malah menghasilkan "arta haram (kekayaan yang haram)". 

Usaha di bidang pertanian mendapat tempat tersendiri dalam wejangan. Sebagai gambaran, baik kita petik uraian dari fasal awal: 

"Hiji, kudu usaha anu pangafdolna. Ari usaha anu pangafdolna éta nyaéta usaha tani. Kadua, kudu cacawis tanah pikeun pepelakan téa, karana usaha tani loba manpaatna ka sakabéh mahluk, karana saban-saban ('afiyah) ngalap manpaat kana pepelakan jalma-jalma. Hartina, sakabéh sato-sato, manuk-manuk, atawa hileud-hileud, atawa lianna anu ngadahar tina éta pepelakan jalma, balik ganjaranana di ahirat ka jalma anu melak téa."

(Pertama, orang harus menemupuh usaha yang paling utama. Adapun usaha yang paling utama adalah usaha tani. Kedua, harus menyediakan tanah untuk tanam-tanaman, karena usaha tani menghasilkan banyak manfaat buat semua makhluk, karena tiap-tiap makhluk mendapat manfaat dari apa yang ditanam oleh manusia. Artinya, semua hewan, burung-burung, atau ulat-ulat, atau hewan lainnya yang makan dari tanaman manusia, pahala di akhirat akan kembali kepada orang yang menanamnya.)  

Jika orang yang tidak mau bekerja atau hanya mengandalkan kebaikan orang lain, jika orang maunya enak sendiri dan tidak mau bersusah payah, maka harkat kemanusiaannya merosot jadi hina. Jajaluk (mengemis) harus dihindari sebab merupakan perbuatan hina, apalagi mencuri atau memakan makanan haram. 

Uraian selengkapnya, tentu, jauh lebih terperinci. Di sini saya hanya sanggup memetiknya serba sedikit. 

Daya Tarik Cempaka

Lama saya bertanya-tanya seputar ungkapan yang dijadikan judul risalah ini. Hingga saat catatan singkat ini saya buat, belum juga saya dapatkan kepastian mengenai kandungan artinya. Saya baru bisa menduga-duga, dan mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan diri saya dari jurang permainan kirata. 

Nama campaka–konon, dari bahasa Sanskerta–menggugah ingatan pribadi. Saya teringat ibu yang menanamnya di pekarangan dan memetik bunganya yang kuning lagi wangi. Ada pula padanannya dalam bahasa Sunda yang konon diserap dari bahasa Kawi dan sama-sama menggugah perasaan menyenangkan: sumarsana. Adapun kata laga menggugah gambaran kejadian yang mestinya jauh dari bunga-bungaan. Kita tahu, istilah itu secara harfiah berarti "perang". Isyarat apakah gerangan yang hendak disampaikan sang kiai dengan pasangan kata yang sangat menarik itu: campaka di laga?

Saya tidak tahu. Saya hanya beranggapan bahwa jerih payah mencari nafkah buat diri sendiri dan anak istri, di jalan yang baik, merupakan perjuangan tersendiri. Moga-moga, di hadapan Tuhan, setiap tetesan peluh kaum pekerja tak ubahnya dengan kuntum-kuntum cempaka yang indah dan wangi. Setidaknya, itulah anggapan yang terasa diteguhkan setelah saya membaca risalah peninggalan Mama Sempur.

 

 

 

  

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//