RESENSI BUKU: Wabi Sabi, Izin untuk Tidak Sempurna
Wabi Sabi: Japanese Wisdom for a Perfectly Imperfect Life karya Beth Kempton mengingatkan bahwa hidup tidak perlu sempurna untuk menjadi indah.
Penulis Joel Roberto Dos Santos24 November 2025
BandungBergerak.id – Di tengah dilematis tuntutan kesempurnaan hidup yang melelahkan inilah, Beth Kempton menghadirkan sebuah oase pemikiran melalui bukunya yang atraktif, Wabi Sabi: Japanese Wisdom for a Perfectly Imperfect Life. Kempton membawa pembaca masuk dalam perjalanan spiritual filosofis yang menjelajahi salah satu konsep estetika Jepang yang paling mendalam namun sulit didefinisikan yaitu wabi sabi.
Wabi Sabi adalah dua kata yang terpisah, namun keduanya memiliki nilai estetika yang tinggi, berakar pada sastra, budaya, dan agama. “Wabi is about finding beauty in simplicity, and a spiritual richness and serenity in detaching from the material world. Sabi is more concerned with the passage of time, with the way that all things grow and decay and how aging alters the visual nature of those things”.
Kempton membuka buku ini dengan pengakuan yang jujur bahwa wabi sabi adalah konsep yang tidak mudah dijelaskan, bahkan bagi orang Jepang sekalipun. Istilah ini secara mendasar telah menjadi bagian integral dari kesadaran kultural Jepang, meresap dalam seni, arsitektur, upacara minum teh, dan kehidupan sehari-hari mereka. Lewat pengalaman pribadi dan penelitian mendalamnya selama tinggal di Jepang, Kempton berhasil menerjemahkan esensi wabi sabi ke dalam bahasa yang dipahami bahkan diterapkan oleh pembaca Barat.
Dengan pemahamannya Kempton juga mampu mengkontekstualisasikan wabi sabi dalam kehidupan kontemporer yang penuh tuntutan. Ia tidak hanya menyajikan penjelasan teoritis, tetapi juga menawarkan jalan praktis tentang mengintegrasikan prinsip-prinsip wabi sabi ke dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Mulai dari cara kita memandang diri sendiri, hubungan dengan orang lain, pekerjaan, hingga rumah kita.
Kempton mengundang kesadaran pembaca untuk melepaskan obsesi atas kesempurnaan hidup yang sering kali menjadi sumber kecemasan, kegelisahan, kestresan, dan ketidakbahagiaan. Melalui wabi sabi, kita semakin belajar bahwa retakan cangkir teh, kegagalan dalam karier, atau kerutan di wajah bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan atau diperbaiki dengan keputusasaan, melainkan tanda hidup yang dijalani sebuah keautentikan yang bermakna.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Setelah Boombox, Musik sebagai Hiburan dan Perlawanan
RESENSI BUKU: Paul Scholten, Arsitek Pendidikan Hukum di Hindia Belanda
RESENSI BUKU: Menolak Sejarah yang Disunting Kekuasaan
Ikatan Wabi Sabi di Dunia Kontemporer
Salah satu aspek paling menarik dari buku Kempton adalah bagaimana ia menunjukkan relevansi wabi sabi di tengah kehidupan kontemporer yang serba cepat dan penuh tuntutan. Kita hidup di era algoritma yang mengatur konten apa yang kita lihat, propaganda iklan yang terus-menerus membombardir kita, dan arus informasi tanpa henti yang memberitahu kita bagaimana seharusnya kita menempatkan diri, berpakaian, makan, berbelanja, bahkan berpikir. Dari setiap sudut, kita didikte tentang siapa yang harus kita kagumi, apa yang harus kita cintai, dan bagaimana kita seharusnya menjalani hidup. Ironisnya, semakin banyak pilihan dan informasi yang kita terima, semakin banyak pula dari kita yang kehilangan sentuhan dengan diri sendiri dengan apa yang benar-benar kita inginkan, nilai, dan butuhkan.
Maka, wabi sabi menawarkan jalan keluar dari siklus kelelahan ini. Alih-alih terus-menerus mengejar standar kesempurnaan yang tidak realistis dan terus berubah, wabi sabi mengajak kita untuk berhenti sejenak dan menghargai apa yang sudah ada. Selain itu mengajarkan kita untuk menemukan keindahan dalam kesederhanaan bukan dalam akumulasi barang atau pengalaman yang dipamerkan di media sosial, tetapi dalam momen-momen tenang yang sering kita lewatkan dan terlupakan oleh egosentris manusiawi.
Lebih jauh lagi, wabi sabi tidak hanya tentang estetika atau dekorasi rumah, tetapi tentang cara fundamental dalam memandang kehidupan realistis. Dalam konteks tekanan untuk selalu produktif, selalu on fire, dan selalu mencapai lebih banyak, wabi sabi mengingatkan kita bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian alamiah dari kondisi manusia. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bukti bahwa kita telah hidup dan mengalami. Kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan kebebasan dari beban ekspektasi.
Jalan Baru
Maka, wabi sabi adalah konsep yang datang di waktu yang tepat. Era modern yang penuh dengan citra yang dipoles sempurna dan tekanan untuk selalu tampil terbaik, Kempton berpesan tentang merangkul ketidaksempurnaan terasa seperti udara segar yang terisap dari setiap pori-pori tubuh. Konsep ini bukan sekadar tentang estetika Jepang, tetapi tentang cara hidup yang autentik, penuh kasih, dan bermakna.
Kempton telah menciptakan sebuah karya yang accessible namun mendalam, praktis namun filosofis, personal namun universal. Buku ini sangat diharapkan bagi mereka yang merasa terjebak dalam pengejaran kesempurnaan yang melelahkan, atau bagi mereka yang ingin menemukan kedamaian dengan menerima kehidupan apa adanya, indah justru karena ketidaksempurnaannya.
Dengan konsep yang terasa asing di telinga, kita diajak untuk melihat dunia dengan mata yang baru, di mana retak bukan berarti rusak, tua bukan berarti usang, dan sederhana bukan berarti kurang. Wabi sabi mengajarkan bahwa kehidupan yang sempurna adalah kehidupan yang merangkul ketidaksempurnaannya dengan penuh keanggunan, keharuan, dan rasa syukur.
Pada intinya, wabi sabi memberikan izin kepada kita untuk menjadi diri sendiri. Filosofi ini mendorong kita untuk melepaskan topeng kesempurnaan yang melelahkan, membebaskan diri dari standar yang mustahil dicapai, dan dengan kelembutan mengingatkan bahwa hidup tidak perlu sempurna untuk menjadi indah. Kita harus melangkah dengan lebih ringan, memperlambat langkah ketika dunia mendorong kita untuk terus berlari, dan menemukan makna dalam hal-hal sederhana yang sering kali paling berharga.
Wabi sabi menunjukkan bahwa keindahan sejati justru terletak di tempat-tempat yang paling tidak terduga dalam retakan hidup, dalam waktu yang berlalu, dalam kesederhanaan, dan dalam keberanian. Setiap hari menjadi pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih bermakna, bukan karena kita telah mencapai kesempurnaan, tetapi justru karena kita telah belajar merangkul ketidaksempurnaan kita dengan penuh kasih.
Dengan demikian, buku ini menjadi semacam manifesto untuk hidup lebih autentik di tengah dunia yang terus mendorong kita untuk menjadi versi yang tidak realistis dari diri kita sendiri.
Informasi Buku
Judul: Wabi Sabi: Japanese Wisdom for a Perfectly Imperfect Life
Penulis: Beth Kempton
Penerbit: Piatkus
Tahun Terbit: 2018
Jumlah Halaman: 288 halaman
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

