• Opini
  • Hari Guru: Antara Pengabdian dan Kesejahteraan yang Tak Seimbang

Hari Guru: Antara Pengabdian dan Kesejahteraan yang Tak Seimbang

Hari Guru harus menjadi momentum untuk menuntut perubahan. Ketika kesejahteraan guru diperbaiki, barulah pengabdian mereka benar-benar berarti.

Fathan Muslimin Alhaq

Penulis konten lepas asal Jakarta

Guru dan pegawai honorer pendidikan melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, 13 Januari 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

25 November 2025


BandungBergerak.id – Setiap tahun, Hari Guru datang seperti ritual nasional: upacara, karangan bunga, tarian seremonial, dan kata-kata manis tentang “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tapi di balik panggung penuh apresiasi itu, ada realitas yang jauh lebih rumit di mana realitas tentang profesi yang terus dituntut untuk mengabdi, namun sering tak diberi ruang untuk hidup layak. Judul ini tidak dibuat untuk mendramatisasi keadaan, melainkan untuk menyingkap kontradiksi paling klasik dalam dunia pendidikan yaitu antara pengabdian dan kesejahteraan yang terus berjalan di rel yang berbeda.

Guru hari ini hidup di era yang bergerak cepat, di mana murid tumbuh dengan algoritma, dan kelas tidak lagi sesederhana kapur dan papan tulis. Beban mereka bertambah banyak: mengajar, memotivasi, menjadi konselor dadakan, bahkan menjadi kreator konten edukatif demi menyesuaikan gaya belajar generasi digital. Namun kenyataan di lapangan tak selalu secantik narasi inspiratif yang sering kita lihat di media sosial. Banyak dari mereka bekerja dengan fasilitas seadanya, ruang kelas yang bocor, dan akses teknologi yang angin-anginan. Ketika tuntutan naik, dukungan justru tidak selalu ikut berlari.

Ada ironi yang sudah terlalu lama dibiarkan: guru diminta membentuk generasi unggul, sementara banyak dari mereka hidup dalam kondisi yang jauh dari kata layak. Guru honorer, misalnya, sering kali digaji kurang dari standar minimum, tetapi tetap diminta menunjukkan “semangat mengabdi”. Apakah ini adil? Apakah ini bentuk apresiasi? Pada titik ini, Hari Guru seharusnya menjadi ruang kritik, bukan hanya ruang selebrasi. Karena memuji tanpa memperbaiki hanyalah cara paling elegan untuk menutupi masalah.

Dalam diskusi soal masa depan pendidikan, guru selalu ditempatkan sebagai aktor utama. Tetapi ketika bicara soal peningkatan kesejahteraan, posisi mereka tiba-tiba bergeser ke pinggir meja. Birokrasi pengangkatan yang berbelit, administrasi yang menumpuk seperti gunung, hingga pelatihan yang sering hanya formalitas, semuanya menambah beban mental yang tak terlihat. Banyak guru muda masuk dengan idealisme besar, tetapi perlahan kehilangan tenaga ketika berhadapan dengan sistem yang kaku dan jarang memberi ruang bernafas. Mereka ingin berinovasi, tetapi realitas kadang lebih cepat mematahkan daripada memfasilitasi.

Yang lebih ironis lagi, sering kali guru yang dipersalahkan ketika hasil belajar murid menurun, ketika kurikulum berubah, atau ketika sekolah tidak mencapai target. Padahal mereka tidak selalu diberi pelatihan memadai untuk menghadapi dinamika ini. Mereka berada di garis depan, tapi tidak selalu dibekali senjata yang memadai. Pada akhirnya, publik menuntut kualitas, tetapi lupa bahwa kualitas itu lahir dari kesejahteraan, bukan sekadar semangat.

Baca Juga: Arah Pendidikan Indonesia di antara Kebijakan, Kurikulum, dan Guru
Hari Kemerdekaan, Kata Sejahtera, dan Guru Honorer
Deepfake Gaji Guru Beban Negara: Bahasa Resmi vs Sentimen Masyarakat

Harapan pada Hari Guru

Meski begitu, di tengah berbagai ketimpangan itu, banyak guru tetap menjadi cahaya kecil yang menerangi ruang kelas. Mereka berdiri setiap pagi, membawa harapan yang tidak pernah habis. Mereka mengubah kebingungan menjadi keberanian, dan kegagalan menjadi peluang. Pengabdian mereka nyata, tetapi pengabdian itu tidak boleh terus-menerus dijadikan alasan untuk menunda kesejahteraan. Tidak ada profesi yang boleh bergantung pada “keikhlasan” saja. Ikhlas tanpa dukungan hanya akan melahirkan keletihan yang disembunyikan.

Hari Guru seharusnya tidak hanya diisi dengan kata-kata manis, tetapi juga desakan untuk perubahan struktural. Pendidikan tidak bisa berkembang jika gurunya dibiarkan berjalan sendirian. Kita butuh sistem yang lebih manusiawi, kebijakan yang tidak hanya berbicara tentang idealisme, tetapi juga realitas finansial dan emosional para pendidik. Menghargai guru bukan hanya soal memberikan ucapan terima kasih, tetapi memastikan mereka hidup layak, aman, dan didukung secara profesional.

Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa, dan guru adalah pilar utamanya. Tetapi pilar tidak bisa berdiri tegak jika terus dibebani tanpa diperkuat. Hari Guru harus menjadi momentum untuk menuntut perubahan, bukan sekadar merayakan jasa. Ketika kesejahteraan guru diperbaiki, barulah pengabdian mereka benar-benar berarti –bukan sebagai simbol, tetapi sebagai kekuatan yang mampu mengubah masa depan. Karena di balik setiap murid yang berhasil, ada guru yang mengorbankan banyak hal. Sudah waktunya pengorbanan itu tidak lagi berjalan tanpa imbalan yang sepadan.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//