PELAJAR BERSUARA: Surat untuk Ibu Dewi Sartika
Ibu mengajari dan memberi aku inspirasi untuk sekolah tinggi, untuk berani menghentikan diskriminasi, dan mengajak kaum perempuan mewujudkan impian masing-masing.

Syaffira Diva Febriani
Siswa SMA Bina Dharma 2 Bandung
25 November 2025
BandungBergerak.id – Perkenalkan, Bu. Namaku Dipa, usiaku kini 17 tahun, dan aku sedang duduk di kelas XII di SMA Bina Dharma 2 Bandung. Surat ini aku tulis untuk menunjukkan rasa kagumku pada Ibu. Aku menulis surat ini di malam hari, Bu. Demi terciptanya suasana tenang yang bisa membantuku menelusuri dan merenungkan kiprahmu di masa lalu.
Aku juga baru menyelesaikan proyek besar dan tugas-tugas harian yang diberikan bapak/ibu guru di sekolah. Ditemani Dimsum Mentai, kuliner kekinian yang jadi kegemaranku. Makanan ini tentu saja belum ada di zamanmu, tetapi aku menduga kalau ibu juga punya cara sederhana memanjakan diri di tengah perjuangan yang begitu berat.
Kata orang-orang, aku sedang memasuki fase hidup yang cukup krusial. Aku punya cita-cita untuk melanjutkan kuliah. Tetapi, Bu, di sini aku merasa cemas. Tak ada yang mempercayaiku. Aku berdiam diri di kamar yang sepi. Di tengah kesunyian itu, aku menemukan kisah hidupmu. Kisah yang berliku bagi perempuan zaman dahulu.
Aku bangga, Bu. Sungguh bangga. Menelaah pikiranmu yang jauh melintasi waktu. Aku merasa dibela, seolah kau berbicara langsung kepadaku. Aku juga kagum karena kau tetap peduli pada pendidikan perempuan. Padahal hidupmu sebagai menak Sunda relatif nyaman.
Sekarang, ibu lagi apa? Aku ingin tahu, apa yang kini ibu rasakan di sana, di tempatmu.
Aku ingin memberi kabar gembira, Bu. Kalau gagasan yang ibu pikirkan tentang pendidikan perempuan perlahan mulai terwujud. Norma, nilai, dan pandangan masyarakat sedang melaju ke arah yang benar, sebagaimana dulu ibu usahakan.
Tapi aku juga sadar kalau semua itu tak mudah dilakukan. Aku membaca berbagai situs berita tentang bagaimana ibu menghadapi ketatnya adat priayi. Membujuk Bupati Bandung, Martanagara, meminta izin mendirikan sekolah untuk perempuan remaja, yang akhirnya disetujui.
Pada 16 Januari 1904, Sakola Istri berdiri. Saat itu, usiamu baru 20 tahun. Ibu sendiri turun langsung sebagai pengajar untuk angkatan pertama, sebanyak dua kelas dengan 20 murid, diisi anak-anak pegawai rendah Kabupaten Bandung. Aku kagum.
Kurikulum sekolah itu begitu maju untuk zamannya. Ibu mengajar keterampilan rumah tangga, memberi pelajaran agama dan bahasa Belanda. Ibu bahkan menggandeng beberapa pakar seperti Zuster van Arkel dari Rumah Sakit Imanuel untuk mengajar keperawatan. Dukungan suami, Raden Agah Suriawinata, membuat Sakola Istri berkembang pesat.
Pada 1912, sekolah itu telah memiliki cabang di sembilan kabupaten di Priangan. Usaha keras ibu membuahkan hasil. Pemerintah kolonial menimbang pendapat tentang perbaikan kondisi perempuan. Ibu juga menegaskan pentingnya pendidikan kejuruan bagi perempuan sebagai bekal di dunia kerja. Bahkan menjadi salah satu yang pertama bicara tentang upah bagi pekerja perempuan dan mengecam poligami.
“Perkawinan di bawah umur dan poligami adalah bentuk kemunduran suatu masyarakat,” katamu, sebagaimana aku petik dari tulisan berjudul Dewi Sartika: Pendidik dari Priangan, Melawan Adat Kolot & Poligami, di media daring Tirto.id.
Kalimat itu merangsek ke kepalaku, Bu. Aku juga meresapi kutipanmu yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Sunda:
“Ieuh barudak, ari jadi awewe kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup!” Kira-kira artinya, "Hey anak-anak, sebagai perempuan, kita harus punya banyak keterampilan agar bisa hidup."
Kata-kata itu begitu kuat, seolah menyemangati aku untuk terus melangkah. Menggapai mimpi.
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Masuk Sekolah Jam 06.30 Pagi dan Ilusi Disiplin
PELAJAR BERSUARA: Kaburnya Batas antara Pakar dan Pemengaruh
PELAJAR BERSUARA: Kritik Seksis pada Politisi Perempuan dan Pelanggengan Budaya Patriarki
Bu, aku ingin menjadi psikolog. Menurutku, itu salah satu profesi yang masih diperlukan di era serba cepat seperti saat ini. Aku ingin membantu remaja seusiaku mengatasi tekanan mental. Aku juga ingin menulis puisi setiap hari, bisa tumbuh menjadi anak perempuan yang lebih baik dari diriku yang telah lalu.
Bu, menginjak usia 17 tahun ternyata tak seindah yang kubayangkan sebelumnya. Orang tuaku terus bertengkar perkara ekonomi. Di sekolah, guru-guru tak henti membahas persiapan TKA (Tes Kemampuan Akademik), US (Ujian Sekolah), sementara pertemanan yang seharusnya suportif justru berubah jadi toxic, seperti ular yang diam-diam menggigit. Perlahan, aku merasa, beragam warna dalam diriku mulai meredup. Menyisakan hitam, putih, dan kelabu.
Di luar sana, dunia berjalan semakin kacau. Sebagian anak Indonesia tumbuh tanpa ayah atau fatherless. Menurut data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Maret 2024, jumlahnya setara 20,1 persen dari total 79,4 juta anak di bawah usia 18 tahun. Menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Astaghfirullah.
Bu, kita tahu kalau kehilangan sosok ayah saja sudah menguras mental. Belum lagi ada kerusuhan massal yang terjadi di beberapa daerah. Bahkan ada juga kabar bayi meninggal karena gizi yang buruk. Banyak orang seakan kehilangan akal sehat. Aku takut, Bu.
Pandangan lama di sekitarku masih ada. Aku pernah mendengar ucapan bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi karena ujung-ujungnya kembali ke dapur. Itu menyakitkan, merendahkan perempuan. Tapi, kisahmu, Bu, memberiku kekuatan. Pemikiranmu menjadi jembatan untukku mengabaikan pola pikir kuno itu. Ibu membuktikan bahwa perempuan bisa bersuara, bisa bekerja, dan bisa setara.
Kisah hidupmu juga menjadi pelita, Bu. Setidaknya buatku sekarang. Ibu mengajari dan memberi aku inspirasi untuk sekolah tinggi, untuk berani menghentikan diskriminasi, dan mengajak kaum perempuan tetap berikhtiar demi mewujudkan impian masing-masing.
Bu Dewi Sartika, sekarang aku ingin mengucapkan terima kasih atas nyali dan pemikiranmu yang sangat berguna untuk kaum perempuan. Aku akan terus berusaha meraih cita-citaku: menjadi psikolog dan penyair yang membuat bahagia banyak orang. Aku harap surat ini bisa menjadi pengingat bahwa usaha ibu tak pernah sia-sia.
Dengan rasa kagumku,
Dipa
***
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara

