• Opini
  • Rentenir, Eksklusi Orang-orang dekat, dan Geliat Baru Koperasi

Rentenir, Eksklusi Orang-orang dekat, dan Geliat Baru Koperasi

Kehadiran rentenir memunculkan sejumlah paradoks. Kemandirian dan kepercayaan diri masyarakat, serta praktik solidaritas akar rumput, kian memudar.

Rusman Nurjaman

Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Ilustrasi. Kapitalisme membuat kelas pemodal berkuasa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

25 November 2025


BandungBergerak.id – Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih menjadi salah satu program unggulan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Melalui layanan simpan-pinjamnya, ketergantungan masyarakat terhadap rentenir diharapkan dapat diminimalisir. Lantas, sejauh mana kehadiran koperasi –yang pembentukannya dikomando dari atas itu– mampu membebaskan masyarakat dari relasi eksploitatif karena jerat utang rentenir?

Selama ini, kehadiran rentenir memunculkan dilema moral. Perannya dalam membantu menyediakan akses pinjaman bagi warga memang tak bisa dipungkiri. Namun, ketentuan imbal hasil yang tinggi, bahkan tidak realistis, serta budaya ketergantungan yang diciptakannya, membuat kehadirannya kerap mengundang tanya. Bagaimana selayaknya kehadiran rentenir disikapi: dikutuk atau justru dirayakan?

Baca Juga: TERJERAT RENTENIR (1): Mimih dalam Ancaman Bunga Tinggi dan Teror Pinjol
TERJERAT RENTENIR (2): Utang Tetangga Membawa Petaka
TERJERAT RENTENIR (3): Hidup Hariman dalam Cengkeraman 20 Layanan Pinjol

Eksklusi Orang-orang Dekat

Kehadiran rentenir dalam masyarakat bukan fenomena baru. Berbagai studi sejarah sosial dan sosiologi ekonomi mengungkapkan kemunculan rentenir sebagai fenomena sosial-ekonomi di masyarakat sudah eksis sekian lama. Dalam konteks masyarakat Jawa, studi Heru Nugroho, The Embeddedness of Money, Moneylenders and Moneylending in a Javanese Town (1994), memberikan gambaran komprehensif ihwal sepak terjang rentenir. Menepis pandangan lama tentang citra negatif rentenir, studi ini menunjukkan posisi vital dan keunggulan rentenir dibanding institusi kredit lainnya, baik yang formal maupun informal. Melalui pendekatannya yang lebih personal dan tidak birokratis, pelayanan mereka dianggap lebih atraktif dan menarik simpati sehingga mendapat tempat khusus di masyarakat. Maka, alih-alih melihatnya sebagai “lintah darat”, studi ini melihat sisi lain dari kehadiran rentenir sebagai “agen pembangunan”.

Sebaliknya, beberapa studi lain justru menyebut eksistensi rentenir berkontribusi dalam melanggengkan kemiskinan di pedesaan, alih-alih menguranginya (Pincus, 1994). Peminjaman uang berbunga tinggi sehingga utang gagal terlunasi juga merupakan salah satu praktik yang memungkinkan sebagian orang desa mengakumulasi tanah dan modal dengan menyingkirkan tetangga dan kerabat. Inilah yang disebut “eksklusi orang-orang dekat” (intimate exclusion) yang menjadi jantung dari proses akumulasi dan perampasan sehari-hari (Hall, Hirsch, Li, 2011). Kemunculan Revolusi Hijau, selain mengintensifkan produksi budidaya komoditas juga di saat yang sama meningkatkan bentuk relasi utang antara kreditor dan petani (untuk membeli benih dan pupuk). Rendahnya harga panen diiringi tingginya harga input, membuat petani rentan akan “himpitan reproduksi sederhana” (simple reproduction squeeze). Mereka terseret arus penurunan kualitas hidup yang lambat laun menggerus kemandirian. Saat itulah kehadiran pemberi kredit uang tunai dibutuhkan.  

Hingga kini, kemiskinan masih menjadi momok di negeri ini. Tingkat kemiskinan di pedesaan relatif lebih buruk dibanding di perkotaan. Fenomena deagrarianisasi dan proletarisasi, seiring dengan masifnya akuisisi dan konversi lahan skala besar di pedesaan, sebagaimana ditengarai sejumlah studi agraria, mereproduksi ketimpangan dan melanggengkan kondisi kemiskinan tersebut.

Selain itu, penetrasi kekuatan pasar juga berdampak pada menguatnya berbagai bentuk relasi kapitalis di pedesaan, seperti kompetisi dan relasi-relasi yang berorientasi laba (Li, 2015). Meski bentuk-bentuk resiprositas dan praktik solidaritas tidak sepenuhnya luntur, masyarakat menjadi lebih individualistik. Itulah mengapa setiap upaya membangun mekanisme atau sistem jaminan sosial dengan memobilisasi potensi dan sumber daya bersama dari bawah selalu terbentur kenyataan rajutan kohesi sosial yang koyak. Upaya membaliknya tidak mudah.

Paradoks Pembangunan Desa

Tingginya tuntutan gaya hidup konsumtif ala kaum urban di satu sisi, dan sulitnya mendapatkan kredit tunai baik untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif di sisi lain, menambah kompleksitas dinamika ketimpangan. Di sinilah kemudian para “pelepas uang” itu hadir dengan memanfaatkan minimnya akses permodalan atau pinjaman lunak lainnya di kalangan penduduk pedesaan.

Namun demikian, kehadiran rentenir berwajah ganda. Mereka hadir layaknya “malaikat penolong” masyarakat yang membutuhkan uang tunai untuk berbagai keperluan dan hajat hidupnya. Kemudahan layanan yang tidak birokratis dan langsung dari pintu ke pintu, memudahkan mereka untuk menarik simpati masyarakat. Hal ini kontras sekali dengan berbagai bantuan pemerintah melalui lembaga perbankan resmi yang selama ini tidak mudah diakses oleh masyarakat kecil di pedesaan. Selain membutuhkan dokumen pendukung, berbagai tawaran akses pinjaman itu juga mensyaratkan agunan yang tidak semua orang mampu memenuhinya.

Sebaliknya, dengan tingkat bunga tinggi (rerata lebih dari 30  persen), berhutang pada rentenir justru tak jarang memunculkan drama dalam kehidupan rumah tangga. Terlebih saat tidak mampu melunasi utang menjelang jatuh tempo. Hal ini acapkali berujung  pada lepasnya aset yang dimiliki dan drama keluarga, atau bahkan berujung perpecahan.

Secara sosial budaya, kehadiran rentenir memunculkan sejumlah paradoks. Kemandirian dan kepercayaan diri masyarakat, serta praktik solidaritas akar rumput, kian memudar. Kemandirian masyarakat luntur karena tingginya ketergantungan masyarakat terhadap rentenir menyebabkan inisiatif dari bawah tidak berkembang. Sementara sebagai masalah sosial-ekonomi, rentenir menghisap surplus ekonomi pedesaan dan melanggengkan kemiskinan. Dominasi rentenir menyebabkan surplus ekonomi lebih banyak dinikmati oleh segelintir pihak.

Sebagai potret paradoks pembangunan desa, penetrasi rentenir yang semakin intensif dalam beberapa dekade terakhir, menarik untuk dicermati lebih jauh. Euforia UU Desa untuk mengakselerasi pembangunan yang mengubah wajah pedesaan, ternyata belum secara signifikan memandirikan perekonomian masyarakat desa, alih-alih menyejahterakannya. Ketergantungan terhadap bantuan rentenir, menegaskan masih minimnya akses kredit lunak dan dana tunai yang dialami oleh masyarakat desa.

Menghalau Rentenir

Pengalaman berikut menunjukkan bahwa cerita tentang orang desa tidak selalu tentang “kekalahan” dan ketersingkiran. Terlebih jika dikaitkan dengan keberadaan rentenir. Orang desa sesungguhnya mampu membalik relasi kuasa yang selama ini selalu memojokkannya saat berhadapan dengan rentenir. Pengalaman serupa ini datang dari Desa Panggungharjo, Bantul.

Bermula dari laporan warga yang kesulitan hutang, Desa Panggungharjo melakukan serangkaian langkah untuk membebaskan mereka dari jeratan rentenir. Pertama, pemerintah desa membuatkan surat jaminan untuk warga yang terlilit hutang. Strategi ini memaksa rentenir untuk berhadapan dengan Pemerintah Desa (Pemdes). Memanfaatkan situasi ini, Pemdes bernegosiasi dengan rentenir agar membebaskan warga dari bunga utang yang tinggi. Jika negosiasi mentok, Pemdes menyatakan siap membawanya ke pengadilan. Ketegasan Pemdes ini membuat para rentenir menjadi ciut nyali karena banyak dari status mereka yang ilegal. Akhirnya, mereka menerima tawaran Pemdes yang menanggung pelunasan sisa hutang warga dengan hanya membayar sisa cicilan pokoknya.

Upaya di atas menjadi semacam inovasi perdata Pemdes yang juga disertai dua langkah penting: 1) memberikan ultimatum agar rentenir tidak masuk lagi ke desa mereka; 2) mengedukasi literasi keuangan warga dan menyediakan pinjaman lunak yang dialokasikan dari anggaran desa. 

Pengalaman Panggungharjo di atas menunjukkan bahwa orang desa mampu menghalau ketergantungan pada rentenir. Praktik rentenir tumbuh subur bukan semata karena kebiasaan buruk masyarakat, melainkan karena minimnya akses kredit formal, meluruhnya penghidupan agraris, dan absennya kelembagaan ekonomi desa yang memadai. Di sinilah ruang bagi Kopdes yang diharapkan hadir tidak hanya sebagai solusi moral, melainkan juga sebagai solusi struktural. Melalui layanan simpan pinjam, Kopdes berfungsi sebagai infrastruktur sosial ekonomi alternatif yang dapat berperan sentral dalam pengorganisasian warga, penguatan literasi keuangan, pengelolaan modal bersama, dan penguatan posisi tawar ekonomi rumah tangga desa. Hanya dengan cara itulah geliat baru koperasi menjadi relevan dalam menjawab kebutuhan skema kredit yang minim risiko dan sejalan dengan corak produksi masyarakat pedesaan. Namun, akankah Kopdes “mampu” dan “mau” mengambil peran tersebut? Kiranya pertanyaan ini layak diajukan kembali.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//