TERJERAT RENTENIR (2): Utang Tetangga Membawa Petaka

Sindikat rentenir beraksi di permukiman-permukiman padat berpenduduk miskin. Mereka menjarah korban yang tak mampu membayar dan mengambil apa saja.

Dampak pandemi Covid-19 di Bandung terutama dirasakan warga kelas bawah, termasuk pedagang kecil yang berjualan keliling di kawasan Jalan Braga, Bandung, 25 Januari 2021. (Foto: Iqbal Kusumadirezza/BandungBergerak.id)

Penulis Sarah Ashilah27 Desember 2021


BandungBergerak.idSore itu, Y (60), seorang wanita keturunan Tionghoa yang akrab disapa Cece, sedang menyapu halaman rumah kontrakannya yang terletak di dalam sebuah gang di wilayah Jalan Pagarsih. Di tengah kegiatan bebersihnya, lewatlah segerombolan pemuda dengan suara lantang dan saling sahut memanggil temannya yang sudah jauh berada di depannya.

Mendengar suara ribut dan gerombolan orang, jantung Y berdegup kencang dan kepalanya mendadak pening. Suara rusuh itu itu mengingatkan Y akan apa yang menimpa pada dirinya pada tahun 2018. Tak mampu menguasai diri, Y terjatuh di depan rumahnya. Beruntung keponakannya tiba dan langsung membopong Y masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di kasur.

Kondisi itu berulangkali terjadi ketika emosinya memuncak atau sedang banyak pikiran. Hipertensi atau tekanan darah tingginya akan kambuh jika emosinya tak stabil. Beruntung, setelah ia jatuh tidak ada luka atau pecah pembuluh darah. Namun, Y harus memulihkan dirinya selama dua hari dengan meminum obat hipertensi yang diresepkan dokter, untuk dapat kembali berfungsi normal.

Ketika pertama kali dikunjungi BandungBergerak.id, perempuan yang hanya tinggal dengan seekor kucing bernama Son ini masih belum pulih dari serangan hipertensinya. Tim BandungBergerak.id sudah berniat undur diri karena takut mengganggu istirahatnya.

Namun di tengah kondisi sakitnya, Y bersikeras ingin menceritakan pengalamannya berurusan dengan rentenir. Menurut Y, sindikat rentenir yang membuat hidupnya menderita, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan menceritakan ini, Y berharap ada pihak yang dapat mengusut tuntas praktik rentenir keliling yang biasa mengunjungi rumah-rumah di kawasan penduduk dengan status ekonomi menengah ke bawah.

Gak apa-apa. Ayo kita ngobrol. Sebarkan saja kisah saya, biar orang-orang tahu jahatnya rentenir-rentenir itu. Tuman atuh da lamun diantepkeun (keterlaluan kalau didiamkan saja),” kata Y dengan nada tinggi.

Gang-gang sempit yang banyak dihuni oleh penduduk dengan kondisi perekonomian tidak stabil, memang menjadi lahan panen bagi sindikat rentenir. Mereka sengaja mengincar orang-orang yang rentan mengalami masalah keuangan. Para rentenir keliling itu akan mendatangi korban secara terus-menerus dan membujuk korban untuk menggunakan ‘jasa keuangan’ yang mereka tawarkan, sampai korban berada di titik terlemahnya, lalu bersedia untuk meminjam uang.

Baca Juga: Pajak Sembako akan semakin Menyengsarakan Rakyat Miskin
Ratusan Ribu Warga Jabar Mengalami Kemiskinan Ekstrem

Niat Baik Berbuah Petaka

Y adalah salah satu korban dari praktik rentenir semacam itu. Tidak pernah ia bayangkan bahwa di satu titik hidupnya, ia akan berurusan dengan rentenir. Bagaimana tidak? Usaha warung di kawasan Jalan Pagarsih, Kecamatan Astananyar, yang ia rintis bersama adik perempuannya sejak tahun 1990, bisa dikatakan sukses. Namun, sejumlah kejadian mengantarkannya pada situasi sulit, hingga kehabisan uang, bahkan sekadar untuk makan.

Di masa-masa kejayaannya, warung milik Y sekomplet minimarket. Bukan hanya sembako dan jajanan anak-anak dari berbagai merek industri makanan, Cece juga menjual peralatan rumah tangga hingga mainan anak-anak. Macam-macam merek rokok juga apik berderet di dalam etalasenya. Aneka es krim dan minuman segar juga tersedia di warungnya.

Dari tahun 1990-an sampai tahun 2000-an, warung semacam ini belum memiliki banyak saingan karena minimarket belum menjamur seperti sekarang. Warung ini bukan hanya mampu menghidupi diri dan keluarganya, tetapi juga mampu membantu warga sekitar yang kekurangan.

“Saya dan keluarga saya ini warga minoritas. Ayah saya selalu mengajarkan kebaikan pada sesama manusia apapun latar belakang etnisnya. Dengan berbaik hati terhadap sesama, kita juga akan mudah diterima dan berbaur dengan warga non-Chinese,” tutur Y.

Para tetangga yang berkekurangan di sekitar rumah Y sudah tidak rikuh lagi untuk meminta pertolongan keluarga Y. Ia akan mengizinkan tetangganya itu untuk berutang di warungnya. Bahkan Y sanggup meminjamkan uangnya.

Namun, siapa yang mengira kebaikan hati Y terhadap warga sekitar rupanya akan menjadi nasib buruk bagi dirinya di masa mendatang? Sebagian tetangganya yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kebaikan hatinya itu. Lama-kelamaan, mereka mulai menyepelekan utang-utangnya di warung Y. Bahkan ada juga orang-orang yang menghindari tanggung jawabnya untuk membayar pinjaman dari Y.

“Iya gitu, ada yang ambil rokok, kopi, sabun cuci, pasta gigi, banyak lah. Bilangnya akan dibayar nanti. Tapi semakin sini, makin banyak juga yang jadinya tidak membayar sama sekali. Saya sudah pusing menagihnya,” keluh Y.

Perputaran roda perekonomian di warung Y menjadi semakin tidak sehat. Menjelang tahun 2017, usahanya kekurangan modal. Ditambah kondisi adik perempuannya yang mulai sakit-sakitan akibat penyakit jantung. Situasi itu menambah beban keuangan keluarga Y.

Uang hasil usaha warung yang dikumpulkan bertahun-tahun oleh Y akhirnya habis dipakai untuk biaya berobat, demi kesembuhan adik perempuannya. Sayangnya seluruh pengobatan itu tidak membuahkan hasil, Y harus merelakan kepergian adiknya yang sekaligus adalah rekannya berdagang.

Itulah awal Y berurusan dengan sindikat rentenir. Di tengah duka akibat kehilangan sang adik, dan di tengah kondisi ekonominya yang semakin tidak stabil, Y mulai didatangi oleh orang-orang tidak dikenal yang menawarkan ‘jasa keuangan’.

Entah bagaimana sindikat rentenir ini dapat mencium kondisi keuangan Y yang sedang ambruk. Usut punya usut, berkat sedikit penyelidikan yang dilakukan keponakan laki-lakinya, ada beberapa anggota sindikat rentenir yang menjalin hubungan dekat dengan warga. Dari situlah, sindikat rentenir seolah menebar mata dan telinganya terhadap situasi kehidupan orang-orang di wilayah Pagarsih.

Awalnya Y enggan meminjam uang pada rentenir. Namun, sindikat ini gigih mengejarnya. Mereka datang secara bergantian hampir setiap harinya untuk membujuk Y. Hingga di suatu titik, karena uangnya juga masih banyak berada di luar (piutang), Y seolah tidak punya lagi pilihan. Ketika itu dia amat membutuhkan uang untuk makan sehari-hari. Y akhirnya meminjam uang sebesar Rp1.000.000,00 pada rentenir.

Jumlah pinjaman Y memang tidak terlampau banyak, toh ini hanya untuk kebutuhan sementara. Ia juga berencana akan mengembalikan uang itu lusa, karena orang yang berutang pada Y berjanji akan membayar utangnya dua hari lagi.

Sesuai dengan janji, orang yang memiliki utang pada Y pun mengembalikan uangnya tepat waktu. Y merasa tenang dan berniat untuk secepatnya melunasi pinjamannya yang tidak seberapa itu. Toh baru terpakai 100 ribu rupiah. Namun, kenyataan lain ditemuinya. 

“Jadi si rentenir ini seenaknya membuat peraturan sendiri. Katanya uang sejumlah satu juta yang dipinjam tidak bisa dikembalikan jika belum 10 hari. Ternyata mereka itu modusnya rentenir harian. Mereka akan menagih setiap hari, misalkan seharinya 50-100 ribu (rupiah) sudah dengan bunga,” ujar Y.

Dalam jangka waktu sepuluh hari inilah, setiap hari rumahnya didatangi oleh rentenir yang menagih utang. Di titik ini, Y masih belum menyadari permainan licik rentenir karena Y selalu menyicil utang hariannya dengan lancar.

Dari Teror Verbal hingga Penjarahan

Beberapa orang tetangga Y akhirnya mengetahui keberadaan rentenir yang datang ke rumahnya. Tiga orang dari mereka memohon agar Y meminjamkan uang pada rentenir yang berurusan dengannya. Orang-orang ini juga berjanji bahwa mereka akan bertanggung jawab soal utang-utang mereka.

Merasa iba, Y menyanggupi permintaan mereka dan meminjam sejumlah 12 juta rupiah pada rentenir itu. Hitungannya adalah lima juta untuk tetangganya yang berinisial A, enam juta lagi untuk si I.

“Ce tolong pinjamkan uang, nanti saya yang akan bayar. Janjinya sih begitu, tapi ternyata tidak dibayar. Mana banyak utangnya, ada yang lima juta sampai enam juta. Sampai sekarang orangnya tidak bayar, jadi saya yang harus menanggungnya,” ujar Y sambil memeragakan ucapan tetangga-tetangganya itu.

Lagi-lagi rasa kasihan Y dipermainkan oleh tetangganya. Utang pribadi Y terhadap rentenir memang sudah lunas. Namun utang-utang tetangganya ternyata tidak pernah mereka bayarkan hingga tenggat waktu terlewat.

Karena pinjaman utang tersebut atas nama Y, maka sindikat rentenir ini mulai mendatanginya dan menagih sejumlah uang yang belum dibayar. Jumlah utang yang tidak sedikit itu membuat Y mulai kesulitan menyicil utang-utang tetangganya hingga akhirnya mengalami keterlambatan bayar. Saat itulah teror dari para sindikat rentenir mulai menghantui dirinya.

Tidak tanggung-tanggung, rumah Y didatangi oleh 20 orang dari sindikat rentenir ini, hampir setiap harinya. Cara mereka keroyokan dan bersikap seperti preman. Mereka masuk ke dalam rumah Y tanpa permisi dan menjarah barang-barang berharga miliknya, mulai dari barang elektronik sampai perhiasan emas yang sedang ia pakai. Dagangan warungnya juga ikut dijarah, sebagian ada yang diacak-acak.

Salah satu dari sindikat rentenir yang ia ingat sering dipanggil Asep oleh rekan-rekannya ini, tenyata menjual barang hasil jarahan dari rumah Y. Menurut informasi yang didapatnya, Asep akan berfoya-foya setelah menjual barang jarahannya dari rumah Y.

Kan sakit ya hati teh, siangnya dia dan kawan-kawannya meneror saya, malamnya dia bersenang-senang,” nada suara perempuan paruh baya ini terdengar geram.

Para pelaku juga kerap mengancam Y. Mereka mengatakan tidak sungkan untuk menyiksa Y hingga mati jika utang-utangnya tidak dilunasi secepatnya. Ancaman dan teror-teror yang terus-menerus menghantui Y membuat kondisi mentalnya patah. Dampak trauma psikologis itu juga ia rasakan hingga sekarang.

Kondisi tubuh Y melemah. Trauma psikologis mengantarnya pada penyakit hipertensi dan diabetes. Karena itulah saat menyapu tempo hari dan mendengar ada segerombolan orang lewat di depan rumahnya, kondisi kesehatannya tiba-tiba memburuk. Kondisi fisiknya yang semakin lemah juga membuat Y menghentikan usaha warungnya.

Berkat bantuan teman baiknya, Y akhirnya melunasi utang tetangganya kepada rentenir. Namun, demi menutup utang pada temannya ini, Y terpaksa menjual rumahnya pada tahun 2019. 

Kini Y tak lagi berlimpah uang seperti dulu. Ia mengontrak sebuah rumah, tidak jauh dari rumahnya yang lama. Trauma pada sindikat rentenir masih sulit hilang.

Y hanya berharap kesehatannya kembali pulih. Jika kembali sehat, dia ingin beribadah di Gereja Utusan Pentakosta yang berada di Jalan Kalipah Apo, Kota Bandung. Hanya saat berada di gereja-lah dirinya akan merasa damai, tidak peduli akan permasalahan hidup yang menimpa.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//