CERITA GURU: Pengabdian Guru Swasta atau Semata Mesin Produksi?
Masih banyak sekolah swasta yang menaruh prioritas hanya pada saving (penghematan) bukan welfare (kesejahteraan guru).

Nurul Maria Sisilia
pegiat literasi di Rumah Baca Kali Atas yang tergabung dalam komunitas Lingkar Literasi Cicalengka, bisa dihubungi di [email protected]
26 November 2025
BandungBergerak.id – Pada Minggu, 9 November 2025, seorang ibu mengunggah keluh kesahnya di media sosial Tiktok. Keluhannya perihal gaji sang suami yang merupakan guru honorer di sebuah sekolah menengah kejuruan swasta di Cicalengka yang tak kunjung dibayar selama tiga bulan. Seraya menangis, terdengar sang ibu menceritakan kesulitan ekonomi yang dihadapi akibat keterlambatan gaji tersebut. Ternyata, unggahan tersebut mendapat perhatian yang sangat luas. Tak hanya di Tiktok, unggahan sang ibu lalu diunggah ulang beberapa akun media lokal di Instagram. Puncaknya, pada Senin, 10 November 2035, unggahan sang ibu di Tiktok mencapai lebih dari 100 ribu tayangan dan juga viral di Instagram. Komentar empatik membanjiri terkait keadaan sang ibu dan suaminya. Selain itu, tak sedikit pula yang mengutuk lembaga sekolah yang dinilai lalai mengapresiasi kinerja guru. Anehnya, tak berselang lama, sebuah unggahan klarifikasi muncul dari akun sang ibu. Unggahan tersebut menjelaskan bahwa semua telah diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak sekolah pun telah menunaikan kewajiban membayar gaji sang bapak guru. Unggahannya ditutup dengan pernyataan bahwa unggahan sebelumnya akan diturunkan (take down). Sang ibu pun meminta warganet yang mengunggah ulang videonya turut menurunkannya. Klarifikasi tersebut kemudian diunggah ulang oleh akun media lokal IG Cicalengka (@igcicalengka).
Menjelang Hari Guru, kasus yang dialami suami sang ibu menjadi pecutan keras tentang lemahnya sistem pendidikan di negeri ini dalam melindungi guru. Sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, pilu rasanya menyaksikan para guru harus memohon di media sosial agar mendapatkan haknya atas upah layak. Terlebih, sang bapak guru adalah pendidik honorer di sebuah sekolah swasta. Artinya, lembaga tersebut mesti berdikari secara finansial. Namun yang terjadi sungguhlah jauh panggang dari api. Di dalam lingkup pendidikan swasta, keharusan tersebut justru membuat lembaga pendidikan lebih mengutamakan keuntungan tanpa mengedepankan kesejahteraan pendidiknya. Lembaga pendidikan tersebut terjebak dalam lingkaran setan komersialisasi pendidikan. Dengan demikian, saya menjadi mempertanyakan posisi guru dalam hal ini. Apakah guru berada dalam posisi selayaknya pendidik atau sekadar mesin produksi yang bisa diupah murah?
Baca Juga: CERITA GURU: Menerbitkan Buku
CERITA GURU: Rapor Pendidikan yang Tak Pernah Dibahas
CERITA GURU: Siapa yang Memilih Buku untuk Anak Kita?
Kontradiksi Status Hukum dan Kewajiban
Pada dasarnya, guru memiliki payung hukum negara yakni undang-undang tentang guru dan dosen serta undang-undang mengenai tenaga kerja. Namun demikian, keberadaan dua payung hukum ini seolah dipakai semata untuk menuntut kewajiban namun melanggar hak.
Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen mengatur aspek-aspek profesi pendidik meliputi hak, kewajiban, kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional), serta perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan kerja. Pada pasal 20, dijelaskan mengenai kewajiban profesi meliputi merencanakan pembelajaran, mengembangkan potensi akademik, hingga menjunjung kode etik guru. Tak hanya kewajiban, pasal 14 dan 15 menjelaskan mengenai hak yang mesti didapatkan guru. Salah satunya adalah terkait upah atau penghasilan. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan layak berupa gaji pokok, tunjangan, dan penghasilan tambahan lainnya.
Dalam kasus yang dijelaskan di awal tulisan, tampak bahwa telah terjadi pelanggaran atas pasal tersebut. Kita dapat bercermin bahwa masih banyak guru yang belum mendapat haknya dengan baik namun terus ditekan untuk melaksanakan kewajiban. Ketika gaji guru ditahan, sekolah bersembunyi di balik narasi "pengabdian" dan "kekeluargaan” semata.
Selain UU nomor 14 tentang guru dan dosen, terdapat pula UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang turut mengatur hak dan kewajiban sebagai pekerja. Dalam undang-undang ini, pekerja pun dilindungi haknya terkait upah. Bahkan, pada pasal 95 diterangkan bahwa keterlambatan memberi gaji dikategorikan pelanggaran. Pasal tersebut berbunyi “Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.”
Dalam kasus ini, tampak bahwa saat guru tidak mendapat hak profesinya dengan baik, ia perlu terlebih dahulu mengadu kepada media sosial. Artinya, perlindungan terhadap upah layak terhadap guru dianggap terlalu berisiko dan lama.
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa di lapangan, keberadaan payung hukum ini sering digunakan secara pincang. Guru dituntut untuk memenuhi output dan etos kerja atas nama kerja profesi tetapi mengabaikan UU Ketenagakerjaan untuk menghindari input finansial yang layak.
Komersialisasi dan Efisiensi Upah Guru
Sekolah swasta lahir sebagai respons terhadap keterbatasan sekolah negeri yang dikelola pemerintah. Namun demikian, sekolah swasta yang dituntut mesti mandiri secara finansial cenderung menjadikan sekolah sebagai bisnis. Dalam model bisnis sekolah swasta, sekolah berfokus pada pendapatan dari biaya pendidikan dan beragam layanan tambahan. Lewat fleksibilitas yang dimiliki yayasan, sekolah swasta dapat mengatur kurikulum yang unik dan berdiferensiasi, fasilitas yang unggul, dan nilai-nilai tertentu yang dimiliki. Hal-hal tersebut dirancang sebagai harga jual yang menjanjikan bagi masyarakat. Dengan demikian, penurunan angka siswa yang mendaftar akan dinilai sebagai kurangnya daya tarik sekolah dan kinerja guru.
Saat terjadi masalah finansial terkait teknis penyelenggaraan sekolah, ironisnya, gaji guru menjadi unsur biaya yang harus diminimalkan. Guru tak ubahnya sebagai aset yang nilainya (gaji) harus ditekan agar sekolah tetap kompetitif atau profit yayasan tetap meningkat. Hal tersebut tentu tak sebanding dengan SPP yang dibayar orang tua siswa. Fakta ini mengingatkan saya pada sebuah data yang dipublikasikan di laman Antara. Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) pada tahun 2024 menyebutkan bahwa guru berstatus honorer di Indonesia sebesar 56 persen atau sekitar 2,6 juta orang dibandingkan total guru ASN. Dari data tersebut, dijelaskan bahwa 74 persen guru honorer di Indonesia gajinya masih di bawah UMK. Fakta ini makin kuat mengindikasikan bahwa masih banyak sekolah swasta yang menaruh prioritas hanya pada saving (penghematan) bukan welfare (kesejahteraan guru).
Jika sekolah swasta menganggap sekolah sebagai bisnis, semestinya pula menganggap guru adalah bagian dari inti produksi. Masalah ini bukan bermuara pada ketiadaan uang SPP yang rutin dibayarkan siswa kepada sekolah atau besarnya dana BOS melainkan pada alokasi prioritas oleh yayasan. Institusi pendidikan seharusnya memprioritaskan kesejahteraan inti produksinya: para guru.
Menuntut Rasa Keadilan untuk Pendidik
Dengan beban kerja tanggung jawab moral yang besar, sudah semestinya para pendidik diberi apresiasi yang layak dan manusiawi oleh penyelenggara pendidikan. Tak adil rasanya mengharapkan adanya pendidik profesional namun pikiran dan energi para guru dihabiskan untuk memikirkan gaji yang tertunda atau bahkan tidak layak.
Kisah sang guru yang gajinya tertunda selama tiga bulan di atas adalah kisah pilu yang sayangnya masih terjadi sampai saat ini. Rasanya sudah saatnya menyerukan bahwa pengabdian tidak boleh menjadi alasan untuk pemiskinan. Lantas, menggunakan moto "pahlawan tanpa tanda jasa" atau “diupah surga” sebagai tameng demi menekan biaya operasional sekolah adalah pengkhianatan besar terhadap cita-cita pendidikan itu sendiri. Selama guru masih diperlakukan sebagai mesin produksi yang upahnya bisa dinegosiasi atau bahkan ditunda berbulan-bulan, selama itu pula kita belum bisa bicara tentang kualitas pendidikan yang seutuhnya.
Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah berpihak dengan lebih bijak dan berkeadilan. Audit dana dan struktur gaji perlu dilakukan dengan lebih tegas dan berkala. Tak lain, untuk dapat mengawasi jalannya proses pencerdasan anak bangsa sekaligus melindungi hak para guru. Ironis rasanya jika lembaga dengan tujuan mulia mencerdaskan generasi muda dibangun di atas fondasi yang mengerdilkan martabat pendidiknya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

