CERITA GURU: Siapa yang Memilih Buku untuk Anak Kita?
Melibatkan anak-anak dalam pemilihan buku memberikan mereka rasa kepemilikan dan mengakui mereka sebagai peserta aktif dalam pendidikan.

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
19 November 2025
BandungBergerak.id – “Ummi (sebuah panggilan untuk guru perempuan), lagi apa?” seorang anak perempuan menghampiriku dengan komputer jinjing yang terbuka. Saya sedang mencari buku di katalog daring.
“Lagi cari buku” jawabku singkat karena khawatir fokusku terbagi dengan menyelesaikan tentang beberapa urusan mendesak.
“Buat siapa?” dia bertanya lalu teman-temannya malah ikut datang menghampiriku. Tadinya tak ingin diganggu. Apa boleh buat, namanya juga di sekolah yang penuh anak-anak.
“Buat kalian” akhirnya, saya perlu melihat wajah mereka satu persatu agar mereka senang.
“Wah aku mau dong Mi! mana-mana bukunya?” Ternyata jawaban mereka mengejutkan saya. Tak menyangka reaksinya akan seheboh itu yang hanya bercerita tentang buku.
Sedari tadi saya memang sedang menelaah katalog dan toko daring untuk pembelanjaan buku. Terlanjur anak-anak ini berkumpul, maka mempresentasikan hasil pencarian menjadi satu hal baik untuk mendengar pendapat mereka. Gambar-gambar yang telah ditandai, dibuka dan diperlihatkan kepada mereka.
“Waaaahhhh. Aku mau! Aku mau!” Mata mereka terbuka lebar dan mulut mereka membulat. Melihat berbagai desain cover buku yang dipilihkan untuk mereka.
Dari belahan bumi mana, perasaan menyenangkan itu kembali datang. Raut wajah itu sumringah mendengar rencana pembelian dan kedatangan buku baru. Saya hanya tertawa dan tersenyum-senyum saja membiarkan mereka semakin mendekat. Dan bergumam dalam hati “Ah, ternyata kalian sudah mulai menyukainya!”.
Baca Juga: CERITA GURU: Rapor Pendidikan yang Tak Pernah Dibahas
CERITA GURU: Menerbitkan Buku
CERITA GURU: Data Pendidikan yang Menganggur
Suara Anak yang Jarang Didengar
Mumpung anak-anak ini sedang berkumpul, sekalian diadakan jajak pendapat. Seperti apa yang dikatakan UNICEF, partisipasi anak dalam pengambilan keputusan adalah hal mendasar. Bagaimana tidak? Keputusan yang diambil oleh orang dewasa di sekitarnya, seperti guru dan orang tua bahkan pemerintah, akan berdampak secara langsung kepada anak. Maka, sebagai orang dewasa yang baik, saya mulai bertanya
“Kalian mau buku apa buat di sekolah ?”
“Aku pengen buku kendaraan Mi!” Ucap Aysha.
“Aku pengen buku apa aja yang penting seru!” Kata Alma
“Aku ingin buku yang ini!” Chacha menunjuk buku yang ada di layar komputer.
“Baik, kita cari yaaa…”
Jajak pendapat anak-anak usia TK untuk pengadaan pembelian buku. Memang jarang terpikirkan oleh saya sebagai orang dewasa. Di pikiran kami, sudah banyak kriteria buku anak yang sudah sesuai selera kami, bukan selera anak. Padahal, penelitian Professor Teresa Cremin menunjukkan pentingnya memiliki pemahaman mendalam tentang kebiasaan membaca anak-anak. Melibatkan anak-anak dalam pemilihan buku memberikan mereka rasa kepemilikan dan mengakui mereka sebagai peserta aktif dalam pendidikan.
Dalam dunia perpustakaan, memang seharusnya pemustaka alias anak-anak inilah yang perlu ditanya apa yang mereka sukai dan bagaimana preferensinya. Agar mereka senang berlama-lama membacanya karena itu adalah hasil pemikiran dan permintaannya.
Tak jarang, dalam pengadaan barang seperti buku tidak mempertimbangkan kemauan dan kebutuhan anak-anak. Alih-alih mendengarkan kemauan kebutuhan anak, para perumus barang malah lebih banyak mendengarkan saran rekomendasi “atasan”. Tanpa mempertimbangkan keperluan anak-anak. Jangankan anak, gurunya yang akan melakukan pembelajaran pun, lebih sering tidak dilibatkan dalam pengadaannya.
Peristiwa macam itu, tak hanya terjadi sekali dua kali. Karena banyak di antara orang dewasa yang berdalih atas nama suara anak. Ya, suara anak yang mana? Apakah suaranya pernah didengar?

Program Satu Anak pinjam Satu Buku
Di sekolah kami diadakan program agar masing-masing anak bisa meminjam buku sekolah ke rumah. Selain untuk menunjang pembelajaran, hal ini adalah untuk memperkuat anak untuk bersuara dan meniadakan alasan untuk tidak membaca di rumah.
Masalah yang klasik terjadi di rumah-rumah dengan anak TK adalah tidak memiliki buku. Dalih klasik orang tua yang tidak terhindarkan dan tidak bisa kami elakkan. Meskipun anaknya mau dibacakan buku oleh orang tuanya. Untuk meniadakan alasan itu, sekolah memberikan fasilitas peminjaman buku anak di sekolah agar bisa dibawa ke rumah dan orang tua bisa membacakannya. Alasan membeli buku anak yang mahal sudah tereliminasi dengan cara ini.
Di semester ini, kepala sekolah menggalakkan kembali untuk meminjam buku lebih sering. Mengingat koleksi perpustakaan yang mulai bertambah baik membeli sendiri maupun dari berbagai donatur.
Kurang lebih satu semester berjalan, ternyata program tersebut menjadikan anak-anak lebih mengakrabi buku. Di setiap pulang sekolah, perbincangan menjadi ramai tentang buku yang dipinjam temannya. Melihat gambar-gambarnya, hingga berebut buku yang disukainya. Tak perlu kita memikirkan bagaimana jika buku ini rusak? Sebab kerusakan adalah keniscayaan. Buku-buku bagus yang kami miliki, lalu sobek. Memang menyayat hati. Tapi, biarlah yang copot adalah kertasnya dan masih bisa diperbaiki. Dan masih mengingat bahwa anak-anak sedang belajar.
Ada sebuah kisah dari orang tua yang tiap hari membacakan buku dari sekolah. Bundanya bercerita kepada saya, tentang anaknya yang menunjukkan serapan pengetahuan yang tidak terduga. Suatu hari, tubuh anak ini terluka hingga berdarah. Bundanya panik. Lalu, anak ini berkomentar
“Bunda, kalau Arul terluka gak apa-apa. Nanti darahnya bakal berhenti soalnya ada sel yang berfungsi untuk pembekuan darah. Jadi bunda tenang aja.”
Tentu saja, bundanya kaget dan saya pun terkesima mendengar ceritanya. Hal itu membuat kami bersemangat menyediakan bahan-bahan bacaan yang baik untuk anak-anak. Dia menyerap apa yang disajikan dan anak juga mengolah apa yang ia terima. Kadang dia mengajukan argumen dari dirinya masing-masing.
Meskipun telah banyak jargon “pendidikan berpihak pada anak”, pada kenyataannya suara anak masih belum sepenuhnya didengarkan. Mungkin saat ini, orang tua dan guru sedang belajar untuk mendengarkan suara-suara mereka.
Anak-anak itu mengembalikan lagi kesadaran tentang suara anak yang perlu didengar. Ketika keinginan mereka didengar dan diberikan ruang, mereka tumbuh menjadi anak yang lebih baik dan percaya diri.
***
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

